Jumat, 05 Desember 2008

Jilid-1 - Tentang Timika dan Babo Camp

Ketika kubuka mata, sejumlah cahaya langsung menyergap, menyilaukan, memaksaku untuk kembali menutup mata. Pelan-pelan, mencoba menyesuaikan diri dengan terang yang tiba-tiba datang, aku coba lagi membuka mata. Jam di tanganku menunjukkan jam 4 lewat 10 menit, tapi ini waktu Indonesia Barat, pikirku, tentu sekarang sudah jam 6 lewat 10 menit. Ternyata barusan aku tertidur sejenak dan ketinggalan subuh. Terakhir kulihat jam adalah lepas tengah malam saat pesawat meninggalkan Denpasar dalam perjalanan Jakarta – Denpasar – Timika – Jayapura.

Terdengar pengumuman bahwa pesawat akan mendarat di Timika pukul 7 pagi WIT. Melalui jendela kulihat daratan Papua bagian selatan …. Hijau, hijau dan hijau diselingi sungai berkelok-kelok yang membesar membentuk delta dalam akhir perjalanannya di pantai. Aku tersenyum sendiri membayangkan betapa puluhan juta tahun yang akan datang diperlukan ‘3D Seismic High Resolution’ untuk menggambarkan ‘sand bars’, ‘meandering’, ‘deltaic system’ yang sekarang terlihat jelas dari udara.

Dari Timika kita akan terbang langsung ke Babo Camp, begitu informasi yang kudapat dari teman2 BP (oil company yang salah satu wilayah kerjanya ada di Papua). Berarti gak ada kesempatan untuk menikmati “Senja di Kaimana”, pikirku. Ini memang bukan perjalanan pertamaku ke provinsi paling timur ini. Pun bukan pengalaman pertama ke wilayah pedalaman karena aku sudah pernah menjelajah Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, juga Salawati Island – pulau kecil di dekat Kepala Burung Papua, dll, tentu dalam ”Perjalanan Dinas”, sebagai geophysicist. Aku kembali melamun, teringat kembali perjalananku beberapa tahun yang lalu, dengan rute yang berbeda : Biak – Kaimana – Sayengga – Tanah Merah – Arguni Camp. Aku pernah juga menelusuri rute lain : dari Sorong langsung ke Fak Fak (nama kota ini harus diucapkan dengan hati2, terutama kalo deket2 bule) trus ke Mumusi Camp, Teluk Bintuni. Yang dimaksud ”camp” adalah basecamp atau markas (sementara, bukan permanen) untuk keperluan crew dan peralatan, selama operasi seismik. Semua perjalanan dinas ke Papua, menurutku, merupakan perjalanan yang melelahkan karena harus berganti-ganti kendaraan, dari pesawat besar ke pesawat kecil ke pesawat lebih kecil lagi atau helicopter, disambung kapal agak besar trus disambung lagi dengan boat. Begitu juga sebaliknya, kalo mo pulang ke Jakarta : dari pesawat/kapal kecil ke kapal besar. Dengan infrastruktur perhubungan seperti ini, di Papua, sulitlah mengembangkan industri kecuali yang benar2 besar. Untuk industri migas tentu harus ditemukan jumlah sumber daya yang cukup besar agar kegiatan tersebut bisa dibilang ekonomis.

Pilot mengumumkan bahwa sebentar lagi pesawat akan tiba di Timika. Di kejauhan tampak pegunungan Jayawijaya, kubayangkan puncak Jaya/Cartenz (meski tak tampak dari pesawat) yang bersalju abadi di lintasan khatulistiwa. Di lereng Jayawijaya juga ada kota Wamena, pertambangan Freeport dan kota Tembagapura. Mendekati Timika terlihat sungai yang tak berair, hanya berisi lumpur coklat abu-abu. Mas Pranoto, temen dari BP bilang bahwa itu adalah sungai tempat pembuangan limbah dari pertambangan Freeport (tailing). Bila Newmont di Minahasa membuang limbahnya ke teluk maka Freeport membuangnya ke sungai dan akhirnya juga ke laut. Mungkin sih limbah itu sudah melalui proses sehingga enggak berbahaya lagi (??) bagi lingkungan di sekitarnya. Aku tersenyum kecut, membayangkan bila jasad organic di sungai, di danau dan di laut berpuluh juta tahun yang lalu bisa berproses menjadi hidrokarbon, apa yang akan dibentuk bumi pada sungai dan laut yang penuh limbah industri ini ? Apa yang akan kita tinggalkan pada anak cucu kita bila sungai penuh dengan limbah industri ?

Timika sudah tampak. Kota kecil, bila dibandingkan dengan kota-kota di Jawa, tentu. Pesawat mendarat dengan mulus. Sayang sekali gak ada kesempatan untuk menjelajahi kota karena kami harus ganti pesawat untuk terbang lagi ke Babo. Bandara Timika kecil saja dan mempunyai 2 terminal ; untuk kedatangan dan untuk keberangkatan. Terminal kedatangan berlantai semen, dengan dinding dari kayu dan jendela2 dari kayu serta beberapa diberi kawat, tanpa kaca (agak seperti kadang ayam, pikirku). Deretan kursi untuk penumpang juga dari kayu, memanjang berderet. Ada juga sih semacam lorong pendeteksi barang seperti umumnya di bandara tapi kayaknya enggak / belum terpakai karena tak ada sepotongpun barang di sana. Suara bising pesawat menerobos masuk dengan leluasa ke dalam bandara. Katanya yang membangun bandara Timika adalah Freeport. Sudah puluhan tahun mengangkuti tambang berharga dari perut bumi Papua… kok cuma membangun bandara sesederhana ini ?

Setelah mengambil barang bagasi kami naik bis kecil menuju ke terminal keberangkatan yang juga gak berbeda dengan terminal satunya ; bangunan sederhana serupa hanggar dengan jendela berkawat (aku sulit membayangkan bangunan apa yang dikasih kawat gini selain kandang ayam. Aduh, mohon maaf deh). Ternyata di terminal keberangkatan lorong pendeteksi digunakan dan seorang tentara dengan pistol menjaga di salah satu sisi. Setelah ‘ticketing’ dan ‘check in’ (dengan cara mengisi lembaran kertas seperti daftar hadir) kami dipersilakan menunggu di ruang tunggu VIP. Wah, yang ini adalah bangunan masa kini, tanpa jendela berkawat, ber-ac, dengan kursi-kursi empuk, pesawat tv, buffet berisi makanan kecil dan minuman panas/dingin dan (ini yang penting) dilengkapi wc yang cukup nyaman dan bersih. Kebiasaan manja, khas orang kota yang hedonis, mo pipis pun liat2 tempatnya dulu. Katanya yang membangun ruang tunggu vip ini adalah Merpati (“adiknya” Garuda) dan BP menyewanya dari Merpati.

Sebelum ‘boarding’, kami diminta untuk mengikuti ‘safety meeting’ lebih dulu. Ini aturan standard. Pesawat yang kami tumpangi kecil saja, ramping, namanya “beechcraft 1900D” berkapasitas 19 orang, 1 kursi di depan untuk pilot dan 9 kursi berderet dua-dua ke belakang. Pilot ditemani oleh seorang awak pesawat, bukan pramugari melainkan cowok keriting berkulit legam namun murah senyum. Dia meminta kami menyerahkan tanda tempat duduk yang dilaminasi itu dan membagikan permen. Perjalanan dari Timika ke Babo memakan waktu satu jam, menelusuri selatan pegunungan Jayawijaya trus menikung ke utara ke arah Teluk Bintuni.

Lapangan terbang Babo cukup mulus. Ada hangar di dekat landasan untuk menyimpan helicopter dan untuk perawatan pesawat. BP (yang berarti BPMIGAS/negara) yang membangun lapangan terbang dan camp di Babo ini Mas Wisnu, orangnya BP yang bertanggungjawab membangun landasan dan camp di Babo ini bercerita bahwa dulu ini adalah bekas lapangan terbang Jepang ketika PD 2 dan karena pernah diserang tentara sekutu ; Amerika dan Inggris (jadi ingat anakku, katanya : tentara apa yang paling kecil, jawabnya : tentara se “kutu”) maka ada banyak sisa2 bom di sekitar landasan. Beliau memperlihatkan peta ‘anomali magnetik’ yang memperlihatkan lokasi2 bom di sekitar Babo Camp dan foto2 bom yang telah ditemukan sebelum bandara dibangun.

Kami juga dikenalkan pada dua orang bule yang menangani bom2 tersebut, yang harus dihancurkan/dimusnahkan dan dipindah dengan berbagai cara. Wah, ini super specialist, pikirku, mengerjakan sesuatu yang sedikit sekali orang yang menanganinya. Kedua bule itu berstruktur tubuh dan berwajah hampir serupa dan mengenakan baju yang sama dan ternyata kakak beradik, semula aku kira mereka kembar (jadi ingat Thompson & Thomson – yang satu pake “p”). Kedua bule penjinak bom tersebut ditemani oleh personel tentara kita.

Kamarku di Babo Camp cukup nyaman, hampir sama ukurannya dengan ‘portacamp’ di lokasi sumur pemboran dan dilengkapi satu kamar mandi untuk dua kamar berdekatan. Sungguh berbeda dengan camp-camp yang di lokasi seismic survey di daerah frontier seperti di Mumusi Camp atau Arguni Camp dulu . Itulah ‘ruginya’ orang eksplorasi, selalu di daerah yang belum ada apa-apa-nya. Babo adalah bagian dari Tangguh Field yang Bloknya sudah berstatus produksi sehingga fasilitasnya lebih baik. Besok aku harus ke kapal survey, namanya Ocean Princess, untuk ikut Pre Survey Test – Seismik 3D/4C Vorwata. Nanti aku cerita2 lagi. Bukan urusan teknis, tentu, karena untuk itu ada laporan khusus yang enggak disiarkan kemana-mana.


Babo Camp, 27 April 2005

Salam,
Nuning.



Pernah dimuat :
-----Original Message-----
From: Nugrahani
Sent: Tuesday, May 10, 2005 11:45 AM
To: M.B.Saputro; mimbar-list@gajahsora.net
Subject: Jilid-1 : Timika dan Babo Camp


Tidak ada komentar: