Senin, 19 Oktober 2009

Tentang Rapat-rapat Gelap… dan Panas…. dan Bergoyang-goyang

Dua hari di bulan September, Selasa dan Rabu, tanggal 29 dan 30 September 2009 adalah hari-hari dimana rapat-rapat di kantorku berubah menjadi rapat gelap dan berlangsung dalam suasana yang paannaasss… , dalam arti sebenarnya. Hal yang menyebabkannya tak lain adalah terbakarnya gardu induk PLN di Cawang sehingga pasokan listrik ke beberapa bagian ibukota (termasuk di jalan Gatot Subroto, lokasi kantorku) terhenti, sementara “genset” di kantorku ini enggak cukup kuat untuk menggantikan pasokan listrik ke seluruh gedung sehingga hanya beberapa lift dan beberapa lampu di “gang” saja yang menyala, selebihnya mati. AC alias pendingin ruangan pun mati sehingga dapat dibayangkan betapa ‘sumuk’nya kami di dalam gedung yang dikelilingi kaca tertutup. Terasa deh… efek rumah kacanya. Rasanya lebih panas di dalam gedung ketimbang di luar. Apalagi pasokan oksigen juga berkurang sehingga kami harus membatasi gerak (memangnya mo lari2 apa… di kantor ? Heheheh…).

Masih untung… kamarku mempunya dua dinding kaca di antara keempat dindingnya (dua dinding lainnya tentu berbatasan dengan dinding kamar teman2ku) sehingga enggak gelap, masih mendapatkan cahaya matahari. Pun ruangannya cukup luas dan sendirian sehingga aku gak perlu bersesak-sesak, membagi oksigen dengan yang lain. Hanya saja aku gak bisa membuka komputer, enggak bisa nge-print karena kedua perangkat itu meninggal dunia, mati suri, tidak mendapatkan pasokan tenaga listrik. Namun aku sih masih bisa nge-“net” karena HP Nokia E90-ku itu bisa terhubung jaringan internet.

Repotnya, ruangan rapat di kantorku, sebagian besar tidak berada pada sisi terluar gedung melainkan di bagian dalam sehingga tidak mendapatkan sinar matahari. Saat kejadian listrik padam itu, aku sedang memimpin rapat dengan suatu KKKS (Kontraktor kontrak kerja sama / perusahaan migas), dan untuk menghentikan rapat kayaknya kok tanggung (dan yang namanya ‘tanggung’ itu enggak enak toh…) sehingga aku memutuskan untuk melanjutkan rapat bergelap-gelap (pintu ruang rapat kami buka sih … soalnya kan serem juga kalo cuman denger suaranya aja, orangnya enggak keliatan) dan presentasi dilanjutkan dengan menggunakan laptop bertenaga batere. Namun apa daya, si laptop rupanya belum mendapatkan energi penuh sebelumnya, sehingga baru berjalan sekitar setengah jam, dia pun padam. AKu menyerah, rapat kami tutup, namun untungnya semua pokok bahasan sudah selesai didiskusikan, hanya tinggal notulen rapat (minutes of meeting) saja yang akan dibuat kemudian.

Satu “keuntungan” lagi…. Karena enggak bisa melanjutkan kerjaan, dalam arti tidak bisa menggunakan komputer, dan suasana kantor yang gerah/sumuk, maka kami memutuskan untuk pulang saja. AKu masih ingat, saat itu baru jam 3.50 sore. Sejujurnya, aku sudah lupa lagi… kapan terakhir aku bisa pulang sebelum jam 4 sore seperti ini. Supirku sempet berkomentar : ‘”kayaknya ibu enggak setahun sekali deh… pulang sore gini…”. Sampai di rumah, hampir jam 5 sore, anakku pun yang sedang di luar rumah, bermain bola dengan teman2nya di jalanan depan rumah, berlari-lari meninggalkan teman2nya sebentar…. Keheranan.. karena enggak biasanya ibunya sampe rumah sebelum gelap. Kucium pipi dan keningnya yang berlepotan keringat, hhmmmm sedap sekali. Rasanya nyaman… masih bisa melihat anak yang belon mandi dan melihat sinar matahari di saat tiba di rumah. Itulah salah satu resiko bekerja di Jakarta dan tinggal di pinggiran Jakarta. Setiap hari harus AKAP, antar kota antar provinsi.

Keesokan harinya, pasokan listrik masih belum pulih, namun pihak gedung udah berupaya menambah genset sehingga beberapa ruangan bisa terang meskipun tetap aja AC kantor enggak jalan. Rapat-rapat yang terlanjur dijadwal pada hari itu tetap berjalan dan kami menggunakan ruang kerja (para bos) yang cukup luas dan berjendela dan menggunakan komputer dengan bahan bakar yang cukup setidaknya selama 2 jam. Alhamdulillah sore harinya, listrik sudah mengalir kembali, seperti semula.

Kita, yang tinggal di kota besar, harus mengakui bahwa listrik adalah salah satu dari kebutuhan pokok. Kita harus mengganti salah satu dari sembilan bahan pokok itu (apa aja sih sembilan bahan pokok itu … beras, gula, minyak goreng…. Apa lagi ya ?) dengan listrik, karena sungguh… gak terbayangkan kita hidup tanpa listrik. Contoh sederhana adalah air. Air musti kita ambil dengan menggunakan pompa yang digerakkan oleh tenaga listrik. Berapa hari kita bisa bertahan tanpa (pompa) air ? Contoh lainnya adalah di kantor seperti saya alami dalam dua hari kemarin : kita tidak bisa ‘kerja’ tanpa listrik, juga tanpa komputer. Betapa listrik adalah salah satu dari kebutuhan pokok kita, kebutuhan primer kita yang tinggal di kota besar.

Awal bulan September, tepatnya tanggal 2 September sekitar jam 14.55, aku sedang memimpin rapat di kantorku, di lantai 22 gedung Patra Jasa ketika terasa layar proyektor bergoyang… kemudian kursi terasa bergeser… cangkir2 di atas meja bergerak… lantai bergoyang-goyang. Perlu beberapa detik sebelum kami semua menyadari dan kemudian serempak berteriak : gempa… gempa… ! Secara insting, kami semua berlari menuju tangga, gak sempet membawa apapun kecuali handphone dan kacamata (kedua benda itu memang selalu kubawa saat rapat dimanapun), kami bersama-sama menurunu tangga menuju ke lantai yang lebih bawah. Saat di tangga, gempa masih berlangsung sehingga kami harus berpegangan pada pinggiran tangga supaya tidak terjatuh. Di setiap lantai kami berjumpa dengan penghuni lantai lainnya sehingga tangga terasa penuh sesak.

Akhirnya aku menyerah, aku berhenti di lantai 13. Aku merasa agak berkunang-kunang, terasa agak pusing dan lemas dan kemudian teringat bahwa hari itu aku sedang berpuasa. Lantai tak lagi bergoyang dan aku memutuskan memencet lift, naik kembali ke lantai 22. Beberapa satpam yang bertugas di lantai 13 waktu itu meminta agar aku tetap turun (melalui tangga), tapi aku bilang bahwa aku agak pusing dan toh udah gak gempa lagi. Waktu itu aku berpikir : apabila aku teruskan turun melalui tangga, aku mungkin akan pingsan, bila turun pake lift maka nanti akan susah dan mengantri lama untuk ke atas (kan tas dan laptop-ku masih di atas, tetap harus kuambil sebelum pulang) dan bila aku naik ke lantai 22 juga melalui tangga aku juga akan pingsan, jadi aku putuskan naik lift saja, toh gempa sudah reda. Sampai di lantai 22, aku masuk ke wing 1…. Kamarku ada di pojokan, aku melangkah ke kamarku, melewati deretan kursi dan kamar yang kosong. Saat itu aku merasa sepi (alangkah sepinya), sendirian, galau dan gak nyaman. AKu duduk di kamarku, beristirahat sejenak, dan kemudian aku melongok ke jendela, tampak di halaman gedung2 di sekitar jalan Gatot Subroto dipenuhi orang. Ada banyak orang yang berkerumun di halaman gedung dan di pinggir jalan. Rupa2nya sama saja…. Semua orang langsung turun melalui tangga begitu ada gempa. Sepertinya itu adalah tindakan yang paling benar : saat terjadi gempa… turunlah segera melalui tangga, jangan gunakan lift ! Semua pengumuman (untuk menggunakan tangga dan jangan menggunakan lift) di gedung manapun tampaknya dibuat untuk kasus kebakaran, tidak ada satupun tampilan pengumuman… apa yang harus kita lakukan saat terjadi gempa dan kita sedang berada di gedung2 tinggi ?

Beberapa saat kemudian, ada suara2 dari teman2 yang kembali ke lantai 22 (duh… leganya… ), kemudian komputer aku buka.. dan diperoleh kabar bahwa terjadi gempa (dilaporkan oleh USGS) dengan pusat di Lautan Hindia di sebelah selatan pantai Sindangbarang, Tasikmalaya, Jawa Barat berkekuatan 7.4 SR dengan kedalaman hiposentrum 62 km. Telepon selular tidak bisa digunakan beberapa waktu. Rupa2nya pada saat yang sama semua orang berusaha menelpon / mengirim sms sehingga terjadi ‘hang’. Handphone-ku baru bisa kugunakan beberapa waktu kemudian dan aku terharu mendapati banyaknya sms dan ‘misscall’ yang menanyakan kabarku saat itu baik dari keluarga maupun kenalan/teman2.

Ada beberapa cerita saat terjadinya gempa :
- Sebagian besar orang langsung turun melalui tangga menuju lantai dasar (mungkin ini ‘insting dasar’ ya… merasa lega apabila menginjak tanah).
- Sebagian kecil, tidak memilih menuruni tangga. Beberapa temen2 ku juga sedang rapat di ruangan lain, ternyata memilih tetap di lantai 22. Rapat itu dipimpin oleh pak Awang, rekan kerjaku yang memang ‘geologist sejati’ dan dia meminta peserta untuk duduk merunduk di kolong meja rapat yang memang tampak kokoh, menunggu goncangan mereda (sembari berdoa, katanya) dan kemudian…… melanjutkan rapat ! Jadi ada dua tipe rapat saat gempa kemarin : rapat yang langsung bubar saat lantai bergoncang-goncang (ini sebagian besar, termasuk rapatku) dan rapat yang cuman berhenti sementara (ini satu2nya) dengan duduk berimpitan di kolong meja dan kemudian dilanjutkan lagi rapatnya, sampai selesai. Aku bisa membayangkan betapa peristiwa itu amat berkesan buat para temen2 dari KKKS (ada beberapa expatriat) yang sedang rapat di kantorku, saat itu.
- Saat menuruni tangga adalah saat yang krusial, rawan kecelakaan. Ada cukup banyak kaki yang keseleo, orang2 terluka akibat terjatuh di tangga, sandal dan sepatu berserakan di sepanjang tangga, dan lain2nya. Ada beberapa yang cukup histeris sampai hampir pingsan atau pingsan beneran karena kekurangan oksigen akibat berdesakan, dan dengan penuh duka cita, ada satu orang dari suatu perusahaan (bukan dari kantorku), di lantai 10, yang meninggal dunia karena serangan jantung akibat kejadian gempa di awal September tersebut.

Kita semua tau bahwa kita di Indonesia…. “we are living and sleeping with earthquakes” … tapi ternyata tidak ada petunjuk tentang apa yang perlu kita lakukan saat gempa. Umumnya kami, termasuk para petugas keamanan gedung (satpam) hanya tau satu hal saja : segera berlari menuruni tangga. Padahal, cara terbaik untuk menghindari kerusakan akibat gempa sebetulnya bergantung dimana kita berada. Bila berada di rumah atau gedung yang cuman satu atau dua tingkat, yang terbaik adalah berlari menuju tempat yang lapang, jauh dari bangunan ataupun pohon. Pintu harus segera dibuka karena bisa jadi meja dan kursi bergeser menutupi pintu/jalan keluar. Namun bila kita berada di gedung tinggi (seperti aku yang di lantai 22) maka berlari ke tangga bukanlah tindakan yang bijaksana. Segera saja cari tempat berlindung di kolong meja yang kokoh atau tiang yang kokoh, lindungi kepala dan jangan berdiri dekat jendela yang rawan pecah. Saat gempa di pantai maka lebih baik berlari ke arah bukit, menjauhi pantai karena bisa jadi gempa diikuti oleh tsunami. Bila sedang di mobil, di jalanan, maka segeralah menepi atau memperlambat jalan dan hindari jalan layang karena kuatir (bisa aja) ambruk.


Gempa terjadi lagi di Sumatera Barat, kembali kita berduka dengan banyaknya korban jiwa, terutama diakibatkan oleh gedung2 yang runtuh, tanggal 30 September 2009. Gempa berkekuatan 7.6 SR dan kedalaman 57 km di baratdaya Pariaman, Sumatera Barat.

Musim gempa belum berakhir…. Dan kemarin tanggal 16 Oktober 2009 kembali gempa mengguncang Jakarta dan sekitarnya, kali ini pusat gempa di Ujung Kulon, selatan Pulau Panaitan, Banten, dengan kekuatan 6,3 SR dan kedalaman gempa sekitar 45 km. Belum dikabarkan banyaknya kerusakan dan korban jiwa di Provinsi Banten (dan Lampung) akibat gempa ini.

Bayangan hotel Ambacang di kota Padang yang runtuh total akibat gempa masih terbayang jelas, saat aku berada di gedung tinggi dan lantai bergoyang-goyang… karena gempa Ujung Kulon kemarin. Namun kali ini rapat baru saja usai dan aku hanya berpegang pada tiang….. menikmati goyangannya…. dan berdoa banyak2 di dalam hati. Untungnya, gempa tidak berlangsung lama, tidak separah gempa Tasikmalaya.

Para ahli geosaintis bilang bahwa gempa yang terjadi beruntun ini boleh dibilang lebih baik karena “mengurangi tekanan” dengan cara mencicil, sedikit-sedikit energinya dilepaskan, sehingga kita dapat terhindari dari gempa dengan skala besar. Wallahualam.

Kita tidak bisa atau belum mampu mendeteksi kapan persisnya gempa terjadi (baik dalam ukuran tahun, bulan, apalagi hari) dan yang paling penting adalah bagaimana cara kita menghindari terjadinya banyak korban jiwa. Memasyarakatkan petunjuk (atau mitigasi) saat gempa musti dilakukan di sekolah2, di rumah2, di tivi, koran, dan di kantor2 terutama yang berada di gedung2 tinggi. Memang dari segi posisinya, yang di utara pulau Jawa, kota Jakarta tidaklah berada pada zona gempa besar, hanya akan terkena gempa yang menjalar dari pusat gempa di Selatan Jawa atau barat pulau Sumatera, namun tetap saja harus waspada gempa. Kita mesti sering2 memasyarakatkan petunjuk2 perlindungan saat terjadi gempa karena kita hidup bahkan tidur bersama gempa. Kita musti paham tabiat dari teman tidur kita itu, kan !


Jakarta, 19 Oktober 2009
Salam,
Nuning

Dimuat di :
mimbar-list@yahoogroups.com
Sent: 19 Oktober 2009 18:24
Subject: rapat gelap yang panas dan bergoyang

Senin, 27 Juli 2009

Tentang Suramadu

Saat liburan anak sekolah di awal Juli kemarin, aku dan suami mengambil cuti, dan kami pun melancong ke bagian timur pulau Jawa : Surabaya, Malang, Bromo dan sekitarnya. Tiket Surabaya-Jakarta pp sudah dipesan sejak dua-tiga minggu sebelumnya, hotel di Surabaya dan di Malang juga sudah dipesan melalui telpon. Hotel-hotel tersebut (aku peroleh infonya melalui internet) meski mencantumkan alamat e-mail untuk pemesanan kamar namun e-mail alias surel (surat elektronik) dariku belum juga dibalas hingga mendekati hari “H” sehingga terpaksa aku susulin dengan menelponnya untuk memesan kamar. Ya sudahlah…. Yang penting kami mendapatkan hotel bintang tiga, yang cukup bagus, bersih dan tidak terlalu mahal.


Kami terbang menggunakan pesawat berlogo singa pada Jum’at pagi dan sesampainya di Surabaya, setelah check in di hotel, kami mengunjungi kerabat dekat yang tinggal di Surabaya, yang kemudian mengajak kami berkeliling kota pahlawan dan….. melintasi jembatan Suramadu… menyeberang ke Pulau Madura. Ceritaku yang ini hanya soal si Suramadu saja, untuk yang Bromo dan sekitarnya, aku ceritain lain kali.


Ini adalah jembatan pertama yang menghubungi pulau ke pulau di Indonesia, pulau Jawa dan pulau Madura, namun dinamai Suramadu, singkatan Surabaya-Madura, bukan Jawamadu atau Surabangkal (kota terdekat di Madura, di ujung jembatan, adalah kota Bangkalan). Mungkin karena Suramadu terdengar lebih manis, ya ! Suramadu belum lama diresmikan pemakaiannya oleh Presiden SBY, sekitar pertengahan Juni (yang “diprotes” oleh Megawati, katanya yang memulai pembangunan jembatan adalah dia – saat jadi presiden – namun yang meresmikannya adalah SBY. Ya … apa mo dikata… masa’ diresmikan sekarang oleh Ibu Mega, yang bukan lagi presiden, pun bukan gubernur ?), jadi saat kami melintasinya, umur si jembatan baru 2 mingguan. Walau belum “seumur jagung” (umur jagung itu sekitar 3-4 bulan) bahkan baru seumur “aqiqah”, si jembatan ini sudah mengalami vandalisme dan pencurian baut dan mur. Kasian sekali ya… ! kabarnya pihak PU memutuskan untuk mengelas semua baut dan mur pada jembatan agar tidak mudah dicuri. Heran juga … buat apa sih baut dan mur jembatan sehingga dicuri gitu ? Buat suvenir ? Kalo mo dijual (sebagai besi kiloan ?) kan enggak seberapa, padahal akibat dari pencurian itu kan bisa membahayakan pemakai jembatan. Keterlaluan.


Kami melintasi jembatan Suramadu sekitar jam 4 sore. Sungguh cantik jembatan ini, mengingatkanku pada jembatan Golden Gate di San Fransisco sana. Yah…. Jembatan Ampera yang melintasi sungai Musi juga indah sih, tapi si Suramadu ini sungguh lebih indah. Berikut aku kirim foto2 Suramadu dan “pembanding”nya yaitu Golden Gate. Terpaksa sedikit “narsis” ya… karena ada terlihat aku di foto tersebut, maklum, rasanya rugilah bila tidak sekalian berpose di sana. Sayangnya aku enggak punya foto2 jembatan Ampera di Palembang, atau jembatan Sungai Siak (di Pekan Baru), atau jembatan Sungai Mahakam (yang melalui kota Samarinda) meskipun pernah melintasinya dalam perjalanan dinas ke kota2 tersebut.

Golden Gate sudah berumur seratus tahun (aku gak tau sih persisnya, tapi itu adalah jembatan kuno), mudah2an sih jembatan Suramadu juga terpelihara dengan baik sehingga cucu2ku kelak akan bisa mengunjunginya (dan aku bisa bilang : duluuuu…. Nenek mengunjungi Suramadu saat baru diresmikan….. ini ada foto nenek dengan bapakmu di atas jembatan …dulu kami dimarahin polisi karena berhenti di pinggir jembatan buat berfoto…. dulu belum banyak bangunan di sekitarnya…. duluuuuu baut dan murnya suka dicuri orang, dsbnya).

Kabarnya, yang paling merana dengan adanya jembatan ini adalah para pemilik kapal feri dan para pekerjanya. Tentu saja tak banyak lagi yang menumpang kapal bila sudah ada jembatan untuk menyeberang dari Surabaya ke pulau Madura.


Suramadu itu panjangnya sekitar 5400-an meter, cukup panjang untuk sebuah jembatan (terpanjang di Indoensia ?) dan yang membuatnya menjadi bersejarah adalah tersambungnya pulau Jawa dengan pulau Madura. Satu-satunya jembatan yang menghubungkan pulau ke pulau. Sebelum Suramadu ada, tentu orang harus menumpang kapal (Feri) bila ingin ke Madura. Aku jadi terkenang, saat masih mahasiswa, sekitar tahun 1985-an, aku pernah berkunjung ke Madura. Waktu itu memang cuman jalan2 aja, ikutan pamanku yang sedang punya proyek perbaikan jalan di Madura. Kami (dan juga mobil dinas pamanku) naik Feri yang namanya “Puteri Koneng” (masih ingat karena namanya agak unik) dan kemudian melanjutkan perjalanan darat ke kota Bangkalan, terus ke Sumenep dan nginap sehari di sana, trus besoknya balik lagi ke Surabaya, naik si “Puteri Koneng” itu. Tak ada yang kuingat… apa yang menarik di Pulau Madura, cuman ingat ada banyak pohon salak di ‘base camp’ tempat pamanku kerja. Udara yang sangat panas dan bahasa yang tidak kumengerti sama sekali.


Tarif masuk jembatan Suramadu adalah tiga puluh ribu rupiah. Iya… inilah bedanya Suramadu dengan jembatan2 lainnya, yaitu mempunyai “pintu tol” , kita harus membayar untuk melintasinya. Kalo tidak menengok ke kiri kanan dan melihat ada air (laut) maka rasanya sama saja dengan melintasi jalan tol lingkar luar Jakarta atau jalan tol Cipularang. Tarif tol Cipularang itu “hanya” 37 ribu rupiah padahal jauuuhhh sekali (tol Cipularang itu lebih dari 40 kilometer ?) dan pada beberapa bagian juga merupakan “jembatan” yaitu bila melintasi antara bukit ke bukit atau sungai. Barangkali, bila dihitung per kilometer, maka Suramadu ini adalah yang termahal ?


Menginjak pulau Madura, kami menuju kota Bangkalan dan mencari mesjid untuk sholat Ashar. Mesjid agung Bangkalan cukup megah. Gak lama kami di Bangkalan, menjelang magrib kami menuju Suramadu lagi dengan harapan bisa melihat kerlap kerlip lampu di Suramadu, seperti kami saksikan di tivi dan di koran/majalah saat peresmian jembatan ini. Namun sayang sekali, sebagian besar lampu dimatikan sehingga suasananya gak begitu terang, dan enggak sebagus yang kami bayangkan. Mungkin untuk penghematan ya… sehingga lampu hanya dinyalakan khusus untuk presiden dan beberapa hari setelah peresmian saja. Kecewa deh.


Para penglaju sepeda motor dan mobil, yang bolak-balik Surabaya-Madura adalah yang paling bahagia dengan adanya jembatan ini. Bayangkan mereka bisa tetap tinggal di Madura dan bekerja di Surabaya dan sekitarnya, atau sebaliknya.

Berikut adalah cerita tentang seorang pengendara motor yang melintasi Suramadu :

Malam itu sepulang dari Surabaya, di rumahnya di Bangkalan, Busairi dengan bangga bercerita tentang pengalamannya yang dicegat polisi di Surabaya karena tak mengenakan helm tapi kemudian berhasil lolos.

SEPEKAN setelah jembatan Suramadu diresmikan, Busairi dengan sepeda motornya menyeberangi Selat Madura. Sendiri dia berangkat dari Bangkalan, Madura, menjelang magrib. Sore itu, selain hanya ingin mencoba jembatan baru itu, Busairi juga ingin tahu, berapa lama waktu tempuh dari Bangkalan ke Surabaya jika bersepeda motor. Dia karena itu tak menghiraukan lampu-lampu jembatan Suramadu yang menyala terang yang tampak indah dari kejauhan. Sepeda motornya terus dikebut, hingga sekitar 20 menit kemudian dia sudah tiba di ujung Suramadu di Surabaya.

Dia berhenti. Busairi menoleh ke belakang memandangi Suramadu dan berdecak kagum sembari membetulkan rambut pendeknya yang berantakan diterpa angin. Dia memang tak mengenakan helm. Sejurus kemudian, dia sudah terlihat mengarahkan sepeda motornya ke Kenjeran tapi Busairi tak sadar seorang polisi lalu lintas telah membututinya.

Singkat cerita, polisi itu menyetop sepeda motor yang ditumpangi Busairi. “Selamat malam mas,”sapa polisi itu.
“Malam Pak,”sahut Busairi.
“Bisa lihat SIM dan STNK?”tanya si polisi.
“Lo ada apa ini?”Busairi balas bertanya.
“Anda tidak mengenakan helm,”kata polisi.
“Sampean ini gimana, mosok ndak tahu saya.”
“La Bapak siapa?
“Lo ndak tahu sampean? Saya ini anggota dik,”kata Busairi. Matanya melotot.
“Waduh kalau begitu maaf Pak, lain kali tolong kenakan helm,”jawab si polisi.
“Ya sudah, kali ini saya kasih maaf sampean.”

Malam itu sepulang dari Surabaya, di rumahnya di Bangkalan, Busairi dengan bangga bercerita tentang pengalamannya yang dicegat polisi di Surabaya karena tak mengenakan helm tapi kemudian berhasil lolos. Arifin yang juga anggota Anshor dan ikut mendengarkan cerita Busairi lalu bertanya, “Kok bisa?”
Busairi menjawab, “Gampang Pin, jawab saja anggota. Pasti beres.”

Malam minggu berikutnya, giliran Arifin ingin yang mencoba menyeberangi Suramadu. Dia juga mengendarai sepeda motor dan berdasarkan cerita Busairi, Arifin pun tidak mengenakan helm. Tiba di Kenjeran, Arifin dan sepeda motornya mengalami nasib yang sama dengan yang dialami oleh Busairi: dicegat polisi.

“Malam mas,”kata polisi.
“Malam Pak, ada apa kira-kira ya?”tanya Arifin.
“Coba lihat SIM dan STNK,”pinta polisi.
“Sampean jangan macam-macam, saya juga anggota,”jawab Arifin.
Mendengar jawaban Arifin, polisi itu tak mau digertak. “Maaf Pak, anggota dari kesatuan mana?”tanya polisi.
“Lo saya ini anggota Anshor,”jawab Arifin lantang.

====================

Jakarta, 24 Juli 2009

Salam,

Nuning

Dimuat di :

From: mimbar-list@yahoogroups.com [mailto:mimbar-list@yahoogroups.com] On Behalf Of Nugrahani
Sent: 24 Juli 2009 16:57
To: mimbar-list@yahoogroups.com
Subject: [mimbar-list] FW: Suramadu

Tentang Mahesa Jenar

Sudah bertahun-tahun aku jadi anggota mimbar-list yang dulu menggunakan alamat “gajahsora.net” sembari aku gak tau… siapa sih Gajah Sora itu. Norak banget ya…. hehehehe. Aku kan enggak pernah tinggal di Yogya, enggak pernah baca harian Kedaulatan Rakyat, dan enggak pernah baca karya2 S.H. Mintardja, meski tau bahwa beliau menulis Api di Bukit Menoreh dan tau juga ada website-nya. Aku dulu malas membacanya karena mengira itu cuman cerita silat yang enggak habis2 dan udah kuno dan enggak menarik. Ketidaktahuanku (atau kebodohanku) berakhir ketika sekitar 2-3 minggu yang lalu suamiku membawakan aku tiga buku tebal @ 5 cm, berjudul “Naga Sasra dan Sabuk Inten” karya S.H. Mintardja terbitan Kedaulatan Rakyat, cetakan ke-4 (disebutkan cetakan pertama adalah pada tahun 1966). Buku klasik ini diperoleh suamiku dari seorang temannya yang tinggal di Yogyakarta.

Langsung saja…. Aku terbenam dalam pesona cerita itu…. meski hanya sempat kubaca saat malam hari dan Sabtu-Minggu saja, dalam waktu sekitar dua minggu, habislah ketiga jilid itu. Hari Minggu kemarin adalah lembar terakhir yang aku baca dimana sepasang keris itu, Naga Sasra dan Sabuk Inten, bersama dengan kyai Sangkelat, diserahkan kepada yang “mendapatkan wahyu” yaitu Mas Karebet alias Jaka Tingkir alias Putut Karang Tunggal, yang kemudian terbukti menggantikan Sultan Trenggana dan memindahkan ibukota kerajaan dari Demak ke Pajang. Sang tokoh utama, Mahesa Jenar, akhirnya menikah dengan idaman hatinya yaitu Rara Wilis alias Pudak Wangi, cucu dari Ki Ageng Pandan Alas alias Ki Sentanu, danyang Gunung Kidul yang terkenal dengan ilmu pedang tipisnya dan nyanyian Dandhang Gula.

Aku kesengsem berat pada Mahesa Jenar (Rangga Tohjaya) terbayang kerennya… betapa tegap badannya, ngganteng, dengan pakaian jawa (jaman dulu) yang sederhana, berwarna hijau dan sekuntum melati di telinganya. Dia sakti meskipun masih muda dan punya senjata rahasia yang dasyat yang terpusat pada telapak tangannya yaitu Sasra Birawa. Terbayang : memusatkan segenap indra, mengatur pernafasan …. satu tangan ke atas bagai hendak menggapai langit, satu tangan menyilang di dada, satu kaki ditekuk dan …. dilepaskanlah telapak tangan itu… dan hancurlah batu sebesar gajah atau dinding tebing karang (apalagi badan manusia, kecuali lawannya itu juga memiliki ajian sakti lainnya sebangsa Alas Kobar, Gelap Ngampar, trus apa ya namanya… ajiannya perguruan Ki Ageng Sora Dipayana yang ada Saketi-saketi-nya ? atau ajiannya mas Karebet yaitu Aji Lembu Sekilan).

Tokoh2 lainnya pun tak kalah mempesona seperti Kebo Kanigara (adik dari Kebo Kenanga yang adalah ayahnya Mas Karebet dan putra dari Ki Ageng Pengging alias pangeran Handayaningrat dari Majapahit) dan puterinya Endang Widuri, Arya Salaka dan ayahnya Gajah Sora, kakeknya Ki Ageng Sora Dipayana, pamannya Lembu Sora dan sepupunya Sawung Sariti, Penembahan Ismaya alias Pangeran Buntara alias Pesingsingan (sepuh), Ki Ageng Pandan Alas, Rara Wilis, Sarayuda, Titis Anganten si sakti dari Banyuwangi, Pasingsingan-2 dan -3 (Radite dan Anggara), Wirasaba, Dalang Mantingan, Penjawi, Jaladri, Bantaran, Ki Wanamerta, Wulungan.

Tokoh2 sakti dari dunia hitam pun digambarkan dengan begitu hebat : Sima Rodra (suami istri dan ayah) dari Lodaya, Bugel Kaliki si bongkok gila dari Gunung Cerme, Pasingsingan-1 (Umbaran) dan muridnya Lawa Ijo dan gerombolannya dari Gunung Tidar, Jaka Soka alias ular laut dari Nusakambangan dan gurunya Kyai Nagapasa, Uling Kuning dan Uling Putih dari Rawa Pening dan gurunya Sura Sarunggi.

Mungkin buku itu perlu dilengkapi juga dengan peta supaya kita bisa membayangkan dimana Banyu Biru, Pangrantunan. Pamingit, perbukitan Telamaya, Rawa Pening dan seberapa jaraknya dari Demak, Gunung Kidul (kalo Banyuwangi dan Gunung Cerme udah tau lah posisinya dimana), juga dimana letak Karang Tumaritis. Ataukah nama2 tempat itu hanya fiktif saja ?

Aku tau sih… ini hanya cerita fiksi saja, dengan latar belakang sejarah pada masa kerajaan Demak, pada awal masuknya agama Islam di Jawa dan disisipi beberapa tokoh adalah nyata seperti Sultan Trengana, Jaka Tingkir, Syeh Siti Jenar, dll. Aku gak tau apakah sepasang keris sakti itu, Naga Sasra dan Sabuk Inten, adalah juga sekedar fiksi / dongeng atau bener2 ada ?

Duh…. Sedap sekali rasanya membaca buku ini (ada banyak kata2, ungkapan2 bahasa Indonesia yang sudah jarang dipakai lagi namun tetap enak dibaca) dan betapa naksirnya aku sama Mahesa Jenar.
S.H. Mintardja benar2 penulis hebat, ya !

Jakarta, 26 Mei 2009
Salam,
Nuning
============================================================
Dimuat di :
From: mimbar-list@yahoogroups.com [mailto:mimbar-list@yahoogroups.com] On Behalf Of Nugrahani
Sent: 26 Mei 2009 17:31
To: Mimbar Bambang Saputro; mimbar-list@yahoogroups.com
Subject: [mimbar-list] Mahesa Jenar