Jumat, 05 Desember 2008

Tentang Beijing

Jangan membayangkan Beijing (dulu ditulis Peking) seperti di film2 silatnya Jet Lie atau Jacky Chen (di sana terkenal sebagai Chen Lung, bukan Jacky Chen) atau bintang lain karena ternyata Beijing itu hampir gak beda ama Hongkong atau Singapore. Kota ini bersih, banyak gedung2 tinggi, apartemen2 menjulang, jalan2 raya yang lebar dan deretan mobil berikut kemacetannya meski sesekali (bukan di jalan Utama) terlihat juga sepeda dan becak/rickshaw di pinggir jalan di sebelah kanan. Percaya deh, jumlah sepeda di Beijing (sekarang) enggak sebanyak jumlah motor di Jakarta dan enggak keliatan sepotongpun motor merek “Beijing”! (eh, aku tuh ngeri banget deh melihat begitu banyaknya motor yang berkeliaran di Jakarta). Berkunjung ke Beijing saat musim semi (bulan Mei kemarin) juga memberikan pemandangan bunga2 yang indah bermekaran di sepanjang jalan dan taman.

Kota kuno ini – didirikan jauh sebelum Masehi, saat Indonesiapun belum lahir, terbagi dalam 16 distrik, berpenduduk hampir 20 juta jiwa, 2 juta diantaranya adalah penduduk yang bermigrasi setiap hari dari pinggir ke tengah kota. Di sana tanah adalah milik negara (land reform diterapkan dengan sangat ketat) sehingga sangat jarang pekerja yang memiliki rumah berikut tanah. Meski tinggal di pinggir kota mereka umumnya hanya memiliki sepotong apartemen. Peruntukan tanah di sana amat ketat, tanah untuk pertanian, misalnya, gak akan dibeli oleh seseorang untuk jadi rumah pribadi. Diatur jelas dan “keras” yang mana tanah untuk pertanian, perkebunan, pabrik, perumahan, dll. Ya.. kalo gak gitu gimana mereka mampu ngasih makan penduduknya yang lebih dari semilyar itu. Mereka itu udah lama swasembada pangan loh ! Beijing memiliki 7 jalan lingkar luar dengan total panjang hampir 400 kilometer dan jaringan kereta bawah tanah serta bis kota. Kayaknya gak masalah deh dengan angkutan umum di Beijing.

Tentu gak lengkap kalo ke Beijing tanpa mengunjungi sejumlah bangunan kuno namun tetap terawat baik seperti Forbidden City, sejumlah museum di sekitar Lapangan Tian’anmen, Temple of Heaven, tempat minum teh dan menonton opera (aku lupa nama gedungnya), dan bila agak ke luar kota kita bisa mengunjungi Summer Palace, museum/makan Terakota dan tentu saja The Great Wall. Sayang sekali karena terbatasnya waktu, gak semua tempat menarik itu bisa kita kunjungi. Kepengen banget ke sana lagi. Tentu aja aku berusaha difoto di tempat2 menarik itu dan setelah di Indonesia aku print dan kupajang di kamar kantorku. Pak Luthfi, bosku, mengomentari foto2ku itu, katanya kok kayak orang lagi ikut tour bukan lagi kunjungan dinas (kami diundang oleh Petrochina - Oil company, untuk mengunjungi pusat riset mereka : RIPED). Aku jawab : lah... kalo foto2 di ruang meeting atau di laboratorium atau di ruang pengolahan data gitu apa bagusnya, coba ! Kan sama aja dimana-mana. Selama 6 hari itu hanya 1,5 hari saja, yaitu Jum’at-Sabtu (dan setiap sore-malam hari) yang bisa kami manfaatkan untuk melihat hal menarik lainnya di luar jadual agenda rapat yang resmi, karena itu enggak bisa yang jauh2 dari Beijing.

Mendengar nama Lapangan Tian’AnMen pasti deh yang teringat adalah “pembantaian” demonstran (mahasiswa) penentang pemerintah China dengan panser2 angkatan bersenjata. Bayangan kengerian itu masih ada ketika kami menginjakkan kaki di sana. Lapangan ini sangat luas, katanya bisa menampung sekitar 1 juta orang. Aku lupa tanya apa yang 1 juta itu sembari berdiri atau jongkok atau tiduran. Di sekeliling lapangan ada sejumlah museum termasuk museum sang Ketua Mao dengan fotonya yang berukuran raksasa, gedung parlemen dan Forbidden City. Forbidden City itu gak cuma luas dan besar tapi juga indah.Tempat itu disebut forbidden karena terlarang bagi orang biasa (dulu). Sebetulnya ini bukan ‘city’ tapi ‘palace’ alias istana kaisar, namun sangking luasnya dibilang ‘city’. Memasuki istana kuno yang baru dibuka untuk umum tahun 80-an ini serasa kita diajak kembali ke masa lalu dan membayangkan kehidupan para kaisar yang glek-glek-nyam-nyam itu, dan juga kehidupan kaisar terakhir China di film “Pu Yie - The Last Emperor”. Sebagian dari istana indah ini sedang dipugar, saat ini.

Istana musim panas, Summer Palace, terletak agak di luar kota Beijing, di pinggir danau yang juga merupakan salah satu sentra industri mutiara (mutiara dari China berasal dari budidaya kerang air tawar / danau, bukan dari kerang dasar laut seperti di Jepang atau di Indonesia). Di dekat istana ada kuil Budha yang bagus dan megah. Meski Sidharta Gautama itu berasal dari India/Nepal, ternyata kuil2 Budha yang besar dan megah lebih banyak dijumpai di luar India, termasuk di China. Meskipun demikian jangan berpikir orang China itu beragama Budha atau Kong Hu Chu (Confusius) karena umumnya rakyat di China, saat ini, tidak beragama alias atheis dan mereka tidak ragu2 untuk mengakui itu : tidak percaya pada Tuhan. Aku pernah baca artikel yang menerangkan bahwa sebetulnya Laotse, gurunya Kong Hu Chu, itu bukan orang China asli melainkan berasal dari negeri “barat” dan dipercaya beliau adalah Nabi Luth, yang saat itu, sekian ribu tahun sebelum Masehi, diutus Tuhan mengunjungi negeri2 timur (saat Sodom dan Gumorah dihukum oleh Allah) dan orang2 China kesulitan mengeja “Luth” sehingga menjadi “Laotse”. Kan memang pada setiap suku bangsa pasti ada “Utusan” dariNya untuk menyembahNya dan supaya menjalankan perintah2Nya. Pun Sidharta Gautama dipercaya adalah juga salah satu UtusanNya, salah satu nabi, ada yang bilang bahwa beliau adalah Nabi Zulkifli.

Summer palace sekarang ini menjadi tempat berkumpulnya orang tua. Saat kami ke sana, Summer Palace, ada banyak manula yang berkumpul, ada yang berolah raga semacam Taichi, ada yang main lempar2 bola, ada yang nyanyi2. Menyaksikan begitu banyak orang tua yang kumpul2 di Summer Palace ini... aku percaya deh kalo penduduk China itu lebih dari 1 milyar ! Pemandangan semacam ini (orang tua berkumpul sesama mereka dan melakukan kegiatan bersama) adalah hal yang jarang kita liat di Indonesia atau negara lain (kecuali di Jepang). Aku pikir ini bagus juga. Asyik kan... kalo kita bisa tetep kumpul, ngedugem bareng temen2 sebaya ketika kita udah tua nanti. Seorang teman suamiku yang orang Jepang pernah bilang bahwa meskipun dia sekolah dan kerja di manca negara, ketika tua nanti dia ingin menghabiskan waktunya di Jepang karena negara itu amat memeperhatikan kesejahteraan para manulanya (aku sediiihhh... banget ngeliat anak2 Indonesia yang menderita busung lapar. Jangankan mikirin para manula, anak2 penerus bangsa ini menderita kelaparan. Bagaimana pula mo mikir sekolah, wong buat makan aja gak ada). Di salah satu trotoar di pinggir Summer Palace banyak pedagang kaki lima dan salah satu ada yang menjual kuas besar (souvenir) untuk menulis huruf China. Lucunya salah satu pedagang kuas begitu melihat kami langsung menulis di trotoar dan katanya .... Indonesiya.... Sukalano.... Sukalano... sambil menunjukkan tulisannya dan mengacungkan jempol. Rupanya Indonesia dan Presiden Sukarno masih melekat di hati orang China khususnya generasi tuanya.

Temple of Heaven adalah bangunan megah berbentuk payung raksasa, dengan lantai yang terbuat dari potongan2 marmer raksana, tempat dilakukannya acara sesembahan untuk para Dewa, sejak jaman sebelum Masehi. Seperti di banyak tempat di belahan dunia, para raja itu selain memonopoli kehidupan di dunia juga berkehendak memonopoli akherat sehingga selalu ada tempat (yang megah, besar, indah) dimana para pendeta yang katanya memahami bahasa ‘langit’ itu membimbing para raja untuk melakukan berbagai upacara, supaya selamet dunia akherat. Ada upacara penyembelihan hewan qurban yaitu sapi muda dan ada serangkaian upacara yang cukup rumit (diceritain cukup rinci ama guide kami). Para raja/kaisar China itu sebelum melakukan upacara juga diharuskan berpuasa selama 3 hari dengan tidak memakan makanan tertentu. Rupa2nya berpuasa itu sudah dianjurkan sejak jaman dahulu kala, dari berbagai agama/kepercayaan.

Patung2 dan berbagai lukisan serta ukiran di Temple of Heaven ini seperti juga ditemukan di Summer Palace maupun di Forbidden City menunjukkan bahwa merekapun mempercayai sesuatu di ‘langit’ yang mengatur kehidupan dunia, adanya kehidupan akherat serta percaya adanya mahluk2 lain selain manusia seperti dewa2, jin/setan berikut binatang2 ganjil (temanku Brahmantyo yang rada2 paranormal itu bilang bahwa patung2 binatang ganjil itu juga dijumpai di tanah Jawa dan memang merupakan peliharaannya para jin/setan. Hhhiiii). Hanya saja mereka tidak menghubungkan acara2 itu dengan Allah yang Esa dan merekapun bukan pengikut agama Ibrahim kecuali di beberapa tempat di bagian barat-barat daya China.

Akhirnya, kesampaian juga .... kami menginjak-injak salah satu dari tujuh keajaiban dunia : Tembok Besar China. Bangunan itu tampak bagai ular raksasa, meliuk-liuk mengikuti punggung perbukitan. Tak bisa dipungkiri bahwa bangsa China sudah menguasai teknologi pembuatan bangunan sejak ribuan tahun yang lalu. Bila Borobudur disusun dari batu2 berukir tanpa semen maka bangunan2 di China yang jauh lebih tua umurnya dari Borobudur ini sudah mengenal semacam semen. Ukiran memang tidak ada di Tembok China tapi di bangunan kuno lain semisal istana maupun kuil2, ukiran2 dan lukisan2 di atas batu, tembok dan kayu itu menunjukkan tingginya kebudayaan China sejak ratusan-ribuan tahun yang lalu. Tembok besar ini konon panjangnya mencapai lebih dari 6400 kilometer, dibangun pada jaman pemerintahan kaisar Shin Shi Huang Ti. Bila panjang Jalan Raya Daendless dari Anyer ke Panarukan yang ‘cuma’ 1000 kilometer itu udah memakan begitu banyak korban dari rakyat.... gimana juga yang 6000 kilometer dan berbentuk bangunan pula. Tidak cuma panjang, tembok ini juga cukup lebar, kami bisa berdiri bersisian ber-8 atau 10 pada salah satu bagian tembok, meski enggak semua sama lebar.

Kami tidak menyia-nyiakan kesempatan langka ini dengan menaiki tangga ... menelusuri sebagian keciiil dari Tembok Raksasa ini. Dari salah satu tempat pengintaian di puncak bukit... tampak kota Beijing. Perbukitan dimana tembok dibangun di atasnya (batuannya adalah gamping kalkarenit, kata Brahmantyo yang juga geologist)itu mengelilingi bagian barat-utara kota Beijing. Tembok ini dibangun selama ratusan tahun, oleh beberapa dinasti kaisar, yang katanya bertujuan untuk menahan serangan orang2 Mongol (ingat sejarah, sebelum Masehi, ada raja Mongolia yang amat gemar berperang, namanya Timur Leng, orang barat menyebutnya Tamerland, beliau dan keturunannya ini yang menakuti kaisar2 China, rupanya). Kayaknya sih itu para kaisar China lebih ke parno deh... (parno, bahasa gaul untuk paranoid) takut ama serangan Mongolia padahal kota Beijing sendiri di bagian barat dan utaranya udah dibatasi oleh pegunungan yang begitu keras batuannya dan ditutupi oleh hutan lebat... kenapa harus dikasih tembok yang segitu gedenya, segitu panjangnya dan dibangun ratusan tahun pula. Kasian bener rakyat yang jadi pekerjanya ya ! Yah, yang namanya rakyat emang selalu jadi korban para kaisar/penguasa aja dari dulu sampe sekarang. Istana kaisar, Forbidden City itu berlapis-lapis, selain dikelilingi oleh tembok dalam kemudian tembok luar istana, parit yang cukup lebar, juga ada tembok di pinggir kota yang nyaris mengelilingi istana, barulah ada The Great Wall ini, semuanya katanya untuk menahan serangan musuh. Bener2 parno deh ! Ternyata yang “menghancurkan” kekuasaan kekaisaran yang nyaris tanpa batas itu bukanlah kekuatan dalam bentuk fisik melainkan dalam bentuk ideologi : Komunis !

Setelah cukup lelah menaiki tembok raksasa bersejarah itu kami mampir ke restoran gak jauh dari tembok besar. Bangunan 3 tingkat ini merupakan sentra industri kerajinan dari tembaga (enamail factory) dimana dibuat guci berbagai ukuran dan bentuk juga piring2 hiasan, terletak di lantai pertama. Di pabrik ini kami dikasih tau gimana guci atau piring2 itu dibuat, yang meski dari tembaga, guci itu gak kalah halus dibandingkan dengan yang dari keramik. Aku membeli sepotong guci kecil dan piring hiasan kecil, untuk oleh2. Restoran besar terdapat di lantai tiga, memiliki ruangan khusus untuk muslim, ada musolanya dan... terpampang foto AA Gym di sana. Surprais juga ngeliat foto ulama terkenal kita itu ... beribu kilometer dari tanah air, di negeri komunis sosialis. Mungkin sih alasan disediakannya mushola bukan religius tapi adalah bisnis, dan bahwa negara2 Islam (Malaysia, Indonesia, Brunei, negara2 Arab) adalah pasar yang menjanjikan untuk pariwisata negaranya. China itu kan memang pandai menjual, pandai berbisnis.

Selama 6 hari di China, Alhamdulillah, kami selalu medapatkan restoran muslim yang bagus, bersih dan enak (soal makanan kan memang aku taunya cuman enak dan enak sekaleee). Tau kan.... orang China itu yang mengajari seluruh dunia memasak, termasuk orang Italia (melalui Marco Polo). Ada tiga hal dimana seluruh dunia diajari oleh bangsa China yaitu masakan, pengobatan dan bisnis. Orang Yahudi juga merupakan pionir bisnis di seluruh dunia tapi enggak terkenal ada masakan Yahudi atau pengobatan ala Yahudi. Mungkin seni perang juga dari China dan Chinalah yang menemukan bubuk mesiu. Mestinya seni bangunan juga karena The Great Wall, Forbidden City, Summer of Palace, Temple of Heaven adalah bangunan2 yang sudah berusia ratusan-ribuan tahun. Juga kertas pertama kali diciptakan oleh bangsa China. Yang jelas, kemanapun kita pergi ke seluruh dunia, sampai saat ini, kita akan selalu berhadapan dengan orang China untuk urusan masakan, pengobatan dan bisnis/dagang.

Sebelum berangkat ke China seorang temen se kantorku pesen supaya aku gak sembarang memasuki WC umum karena orang China juga terkenal joroknya tapi syukurlah selama di sana aku gak pernah menemukan WC yang kotor. Mungkin karena selalu makan di restoran muslim maka WC-nya selalu bersih ? Jika kita menyebut WC dengan kamar mandi, orang Perancis bilang toilet dan orang Amrik bilang rest-room maka orang China bilangnya wash-room. Lebih masuk akal ketimbang rest room atau water closed dan lebih dekat dengan istilah Indonesia : kamar mandi (China : kamar cuci).

Yang paling berkesan adalah acara makan siang bersama pengundang kami dari Petrochina dan juga BGP (salah satu oil services company dan juga mengundang kami mengunjungi Pusat Riset mereka dan makan siang bareng). Di restoran dengan hidangan halal itu sudah disiapkan satu meja makan bundar dan untuk bos rupanya dikasih tanda di depan mejanya, dengan bunga. Para pelayan selalu berada di sekitar meja kita, melayani. Aku mendapat kehormatan duduk disebelah bos dan....... diambilin makanan dari sumpit sang bos ! Rupanya itulah bentuk keramahtamahan bangsa China ; sumpit itu digunakan untuk mulut kita dan untuk mengambil makanan di depan kita. Coba deh, kalo di rumah kita ambil makanan di meja dengan sendok yang bekas dipake ke mulut kita... pasti dimarahin ama ibu kita ! Hidangan datang silih berganti, mulai dari pembuka (beberapa jenis), makanan utama (beberapa jenis) dan penutup (beberapa jenis) dan tanpa nasi. Karena semuanya enak dan enak sekali ... lupalah aku dengan nasehat Nabi : berhentilah makan sebelum kenyang ! Aku betul2 kekenyangan ! Oh, ya... tentu aja sebelum makan ada semacam kata2 pembukaan, terima kasih dan ‘toast’. Karena kami (aku dan Brahmantyo), menolak minum sampanye atau anggur maka toast itu dilakukan dengan gelas berisi jus jeruk !

Pada salah satu restoran, saat kami bersiap untuk makan, hidangan itu dipamerkan dulu pada kami, trus dibawa lagi ke dalam dan (ternyata) makanan itu dibagi-bagi dalam mangkuk/piring kecil barulah dihidangkan ke kami. Aku sempet bingung…. Loh.. kok dibawa masuk lagi… !

Kami sempat makan malam di restoran namanya Dinasty, yang juga menyajikan musik dan tari2an yang katanya berasal dari China belahan barat-selatan. Memang lain dengan musik China karena ini lebih bernuansa Timur Tengah, lengkap dengan rebana, gitar arab dan tari perut ! Ada-ada aja... katanya ini “budaya muslim” tapi memamerkan perut, dan para pemusik dan penari itu cantik2 dan ganteng2... mungkin karena campuran antara China dengan bangsa Persia/Arab. Ada komentar juga “makanannya sih halal… tapi tariannya tuh enggak halal”.. hahahahhaa…

Rasanya gak seru kalo gak ngomongin belanja atawa shopping di Beijing. Kami tinggal di hotel di tengah kota, dekat dengan pusat perbelanjaan (Wang Fu Jing Street) sehingga memudahkan kami untuk belanja oleh2. Kami juga dibawa oleh ‘guide’ ke sentra industri resmi untuk guci/piring (kerajinan tembaga), sutera, mutiara, jade, teh, dan di sana harganya cukup mahal dan gak bisa ditawar, namun karena disainnya bagus dan mutunya dijamin aku membeli juga, beberapa. Bila mau yang harganya cukup murah (dengan barang yang terlihat hampir sama dengan yang mahal) kita bisa ke pasar maupun ke mal namun harus menawar mati2an dulu. Ada cukup banyak pasar (market) yang berisi barang2 suvenir, yang khusus untuk para wisatawan berbelanja.

Dalam hal tawar menawar ini aku mengandalkan temanku Marike, dari Petrochina Indonesia yang emang udah sering ke Beijing dan udah tau harga. Mula2 aku merasa ‘takut’ ketika dia menawar 1/5 dari harga semula tapi... dikasih tuh ! Gile bener ! Tapi jangan coba2 deh... udah menawar trus kita tinggal ngacir ke tempat lain dan menawar barang yang sama, bisa2 si pedagang semula me-maki2 kita. Meski kami gak ngerti bahasanya... jelas sekali kalo dia marah2 (Marike cuek aja tuh... katanya biarin ajah !). Kalkulator adalah barang penting untuk menawar di pasar tapi banyak juga kok pedagang yang udah bisa berbahasa Inggris ‘pasar’. Yang jelas aku gak berani kalo harus belanja ke pasar sendirian karena gak tau harga dan para pedagangnya itu agresif sekali ! Pasar dan toko di Beijing umumnya tutup jam 9-10 malam jadi kami punya cukup waktu untuk beli oleh2 (karena acara resmi di kantor kan mulai dari jam 9 pagi sampai jam 4 sore). Memang memuaskan berbelanja di Beijing terutama karena harganya yang murah. Meskipun demikian aku ternyata gak perlu nambah tas dan enggak ‘over weight’ (Alhamdulillah, belum pernah). Rupanya nafsu belanjaku masih berkategori normal aja, ya !

Soal jam kantor, ada hal yang menarik. Ternyata umumnya penduduk China itu adalah penggemar tidur siang ! Mereka masuk kerja jam 8 atau jam 9, kemudian istirahat siang dari jam 12 sampai jam 3 siang, trus masuk kantor lagi dari jam 3 sampai jam 6 sore atau sampai malam. Katanya mereka selalu membutuhkan tidur siang sekitar 1 jam, setelah makan siang, supaya segar dan bisa kerja sampai malam. Namun, untuk perusahaan2 Internasional seperti Petrochina, kayaknya jam kerja dengan acara “tidur siang” ini enggak berlaku, terutama di kalangan manajernya, mungkin karena mereka sudah terbiasa dengan jam kerja internasional.

Pemerintah China tampaknya serius menangani industri pariwisata maupun industri kerajinan rakyatnya. Hebat, memang. Dari negara yang begitu tertutup, dalam waktu singkat sang tirai bambu dibuka dan menjelma jadi negara industri yang maju.

Begitu juga dengan industri migas. China mempunyai cukup banyak lapangan minyak dan gas dan salah satu lapangannya memproduksikan tak kurang dari satu juta barel minyak per hari, sama dengan produksi minyak seluruh Indonesia, dan China juga punya lapangan gas raksasa. Mereka sudah berswasembada dalam migas tapi kebijakan pemerintah China, 10-15 tahun terakhir ini adalah ‘go international’ baik untuk perusahaan migas negara yang menanam investasi di negara lain maupun untuk perusahaan penyedia jasa (services company) dalam bidang migas. Mungkin mereka berpikir : ayo kita habisin dulu migas di negeri lain sebelum migas di negeri kita habis. Saat ini mereka sedang menegosiasi harga pembelian gas dari Indonesia (dan simpanan gas mereka, disayang-sayang). Sejauh ini China belum punya perusahaan swasta dalam bidang migas, semuanya perusahaan negara. Perusahaan Negara China itu antara lain Petrochina, CNOC, CNPC, Sinopec dan untuk services antara lain adalah BGP, dll. Mereka juga punya pusat riset yang cukup canggih di bidang migas dengan sejumlah besar peneliti, doktor lulusan amrik dan eropa, kerjasama erat dengan Universitas dan terutama didukung oleh “industri hulu” yang murah dan andal, perangkat keras (harware) dan perangkat lunak (software) adalah buatan negeri sendiri, dll. Industri hilir juga maju pesat, aku belum melihat satupun “pom bensin” (gas station) lain selain “Sinopec” – milik pemerintah - di Beijing dan sekitarnya.

Beda banget ma indsutri migas Indonesia. Udah puluhan tahun tapi belum juga punya pusat riset migas yang “terpakai” di industri (masih sedikit lah, Lemigas misalnya ??), belum punya pabrik untuk bikin geophone atau kabel(karena lebih murah membeli aja ?), boro2 bikin “rig” sendiri. Belum punya perangkat lunak yang dikembangkan sendiri, apalagi hardware-nya. Padahal dari sisi kemampuan anak bangsa untuk membuat software…. gak jauh lah dibandingkan dengan kolega dari berbagai bangsa. Liat aja perangkat lunak buatan mahasiswa (S1 dan S2) kita… wuih.. canggih2, cuman ya itu… belum ada yang mengembangkannya sehingga menjadi industri yang siap di pasaran. Udah puluhan tahun ada industri migas di Indonesia tapi kita masih juga jadi pengguna, masih jadi pembeli yang baik, masih tergantung pada teknologi asing (dan modal asing). Tentu aja semua itu tergantung pada keinginan pemerintah. Kita sebetulnya juga punya Pertamina dan Medco dan Elnusa. Perusahaan2 di China itu didukung penuh oleh pemerintahnya sehingga bisa maju dan berkembang dan saat ini sudah mampu menjadi saingannya perusahaan migas (dan services company) dari negara “maju” baik dari Amerika, Eropa maupun Australia.


Jakarta, 20 Juni 2005.
Salam,
Nuning



Pernah dimuat (sebagian tulisan) di :
-----Original Message-----
From: Nugrahani
Sent: Monday, June 20, 2005 2:54 PM
To: 'Saputro, Mimbar'; mimbar-list@gajahsora.net
Subject: Beijing

Tidak ada komentar: