Jumat, 05 Desember 2008

Jilid-3 - Tentang Pada Sebuah Kapal

Dek – ruangan terbuka di kapal, di bagian paling atas Oceanic Princess dilengkapi dengan lapangan bulutangkis dan meja pingpong. Kami diberitahu bahwa boleh di sana tanpa ‘safety shoes’ dan ‘helm’ asalkan tidak melintasi “garis kuning”. Setiap pagi, kalo gak hujan, kami berolahraga di sana. Aku sih biasanya cuman lari2 aja keliling lapangan sampe keringetan trus mandi pagi. Di dekat kantor – client room, ada juga ruang terbuka, disebut ‘bridge deck’ (padahal gak kayak jembatan loh) dimana kami sering duduk santai memandang laut sore2 sembari ngeliat sunset (duileee, jangan sok romantis gitu deh !). Sayangnya baik ‘sunset’ maupun ‘sunrise’ jarang keliatan karena terlalu banyak awan. Sering juga ngeliat bule (cowok) berbaring di kursi panjang yang memang ada di deck itu, pake kolor, berjemur di sana. Belum pernah sih ngeliat yang cewek ikutan berjemur pake bikini, tapi aku yakin gak ada satupun orang melayu yang kepengen ikutan berjemur.

Kebersihan tampaknya udah jadi gaya hidup di kapal ini. Kebayang sih.. kalo kapalnya jorok…pake tikus segala… iihhh.. ! Semua tampak bersih dan rapi, juga di deck maupun tempat peralatan dan kabel. Kami harus membiasakan diri membuang sampah ke tiga tempat yang berbeda : satu tempat sampah untuk bahan2 plastik, satu untuk sampah organik (sisa makanan, tisu, dll) dan satu lagi untuk kaleng. Sehabis makan atau minum kami juga harus membawa piring/gelas ke tempat yang sudah disediakan. Sungguh enak hidup di negeri sendiri, ya … di kantor maupun di rumah… gak perlu bawa2 sendiri piring dan gelas yang bekas kita pake atau buang sampah sendiri. Yang namanya sabun mandi itu dibagiin tiap hari, 2 biji, padahal aku kan terbiasa pake sabun sampe tipis betul. Juga handuk bersih dibagiin sehari 2 kali. Akibatnya di hari ketiga aku udah menumpuk 6 handuk bersih (3 yang besar dan 3 yang sedang) dan 6 sabun mandi merek Lux. Terpaksa handuk cuman sekali pake, langsung aku masukkan ke karung baju kotor dan diletakkan bersama baju2 kotor (minus pakaian dalam, tentu) di depan kamar, meski sabun sih tetep aja kutumpuk di laci kamar mandi. Lagian aku kan bawa sendiri sabun cair untuk shower, juga sampoo, dll. Perangkat laundry mereka tampaknya cukup canggih, terbukti 2 jam kemudian baju dan handuk kita udah tersusun rapi, bersih, di depan pintu kamar. Cepat, efisien.

Makanan di Oceanic Princess melimpah, namun bercita rasa Eropa (utara), mungkin karena sebagian besar awaknya dari sono (meski petugas kantin dan tukang masaknya orang Filipina) dengan kata lain enggak enaklah buat lidah kita yang melayu ini … rasanya dingin dan hambar. Lah… ada botol yang berjudul “sambal” (dari Singapore) tapi rasanya manis… boro2 ada pedas2nya ! Untungnya aku termasuk omnifora, pemakan segala dan cuman tau dua hal : enak dan enak sekaleee ! Jadi ya… sikat aja lah… ketimbang laper dan pusing (dan kena malaria).

Yang kasian itu salah satu temanku (dari BP, Supriyono, sobatku sejak jaman mahasiswa dulu) yang “local content”nya tinggi… susah amat mo makan dan pasti sembari sedikit mengeluh : “ini gak ada rasanya, ya..” atau “ini ikannya masih amis, ya…” dan sebagainya (makanya dia itu tetep kurus… dan aku tetap… ndut). Pernah sih ada mie goreng, tapi urung kuambil karena terlihat ada daging diiris tipis2… kuatir gak halal. Emang kudu ekstra hati2 kalo makan daging… gak pernah kusentuh kecuali ‘lamb’, atau amannya emang makan ikan aja atau ayam. Soal ukuran… inipun ‘large’ punya ! Semuanya serba raksasa, aku harus minta si petugas kantin untuk mengurangi separoh porsi. Ternyata meskipun ada yang badannya kecil… para bule itu makannya banyak banget, ya ! Obat malaria juga tersedia di kantin, berdus-dus.

Kami pernah mengunjungi Pasific Titan dan kembali lagi ke Oceanic Princess dan saat itulah kami tau bahwa “boat to boat transfer” adalah hal yang krusial dari segi safety. Ketika kembali ke kapal Sang Putri kebetulan ombak cukup besar, si Sting Ray (kapal boat) itu enggak bisa merapat sehingga kami harus “meloncat” untuk mencapai tangga. Serem juga. Pernah juga suatu sore kami menyaksikan “crew change” saat ombak besar sehingga (bahkan) Sting Ray pun gak bisa merapat dan harus menggunakan boat yang lebih kecil, namun saat meloncat .. si bule yang badannya besar itu oleng… hampir jatuh… wuih… deg-deg-an juga ngeliatnya. Achmadi Kasim, alias Memed, sobatku yang adalah salah satu manajer Tangguh (Tangguh adalah nama lapangan gas BP di wilayah ini) mencatat kejadian itu dan katanya akan dibicarakan pada waktu “safety meeting”.

Peralatan safety di Oceanic Princess sih lengkap deh. Pernah diadakan satu kali latihan dimana peluit berbunyi nyaring dan kami diminta berkumpul di dek paling atas, di “meeting point”.. lengkap dengan jaket penyelamat dan helm. Pas jam 1 siang euy… panas banget di dek. Setelah kumpul kami diabsen, dipanggil namanya satu2. Pernah juga satu kali terdengar sirine .. kami bertanya-tanya.. tapi segera aja ambil jaket dan helm tapi ternyata itu sirine akibat ada yang mandi dengan shower air panas… enggak nutup pintu kamar mandi… dan uapnya menyentuh pendeteksi kebakaran di kamar tersebut. Payah deh…! Padahal udah ditulis di dinding kamar mandi supaya menutup pintu kalo mandi.

Karena aku cuman cewek sendiri (non bule) maka aku dapat kamar sendiri (dengan satu tempat tidur susun) sedangkan ketiga temanku yang non bule juga, mendapat teman sekamar masing2 bule ; dua diantaranya dapet teman yang giliran (shift) satu dapet teman yang enggak shift/manajer. Gak masalah ama teman bule yang enggak shift tapi para bule yang dapet shift itu sangat menikmati kamarnya selama 12 jam sehari dan mereka sangat individualistis (mengunci pintu kamar pas gilirannya, sampe2 temenku yang ketinggalan sesuatu di kamar enggak bisa masuk) maka sampe kami pulang, meninggalkan kapal, kedua temanku itu sama sekali enggak kenal… belum pernah ketemu ama teman sekamarnya. Agak keterlaluan, ya ! Tapi mungkin itu yang terbaik buat yang dapet kerja bergilir.

Yang lebih kasian adalah temenku yang dapet giliran kamar antara jam 12 siang sampe jam 12 malem… lah… kita kan gak kerja shift… ngapain juga tidur siang2 atau sore2 gitu…. Tidur ya mestinya kan malem. Akibatnya temenku itu sering mampir ke kamarku setelah jam 12 malem (karena gak bisa masuk kamarnya), untuk numpang tidur. Mula2 dia meringkuk di sofa, aku kasian, jadi kupersilakan dia tidur di tempat tidur susunku di bagian atas, dan ya… aku mesti pakai penutup kuping karena ngoroknya itu booo.. !! “Samen Leven” memang kadang terpaksa kita lakukan kalo lagi dinas di lapangan kayak gini.

Tentang “samen leven” itu aku jadi ingat pengalaman ketika harus jadi well site geologist di sumur pemboran. Di sana kami tinggal di suatu portacamp, kamar kecil yang berisi satu tempat tidur susun. Kami bertiga (2 geologist dan 1 geophysicist) dan harus kerja ’shift’, gantian ; dua kerja dan satu tidur atau kadang dua tidur dan satu kerja. Nah, karena tempat tidur cuman dua (kan mesti ada satu yang kerja) maka gantianlah aku dan temen2 cowokku tidur ; kadang aku tidur di kasur atas, kadang di kasur bawah. Ternyata, berita yang tersebar di luar cukup ”serem” karena teman2 cowokku pada cerita begini : ”aku di lapangan tidur bareng ama Nuning loh, kadang Nuning milih di atas, kadang di bawah”. Yah... mo dibilang apa... emang kenyataannya begitu. Aku cuman cengengesan aja dengerinnya. Itu salah satu resiko pekerjaan.

Kamarku di Oceanic Princess ini emang strategis betul, dekat “coffie station” (dan selalu ada makanan kecil / camilan di sana), dekat dengan ruang medical dan kantor pengurus cabin (nama dokternya Collin, orang Australia dan si “ibu cost” itu Jimmy - orang Scotlandia), jadi enggak masalah kalo kami ngobrol rame2 di situ. Kamarku jadi markas kita berempat. Pintu kamar gak pernah kukunci. Namun aku terpaksa menetapkan peraturan : boleh pake kamar mandiku tapi gak boleh satu orangpun (termasuk aku, tentu) keluar dari kamar mandi di kamarku itu… tanpa pakaian lengkap !! Pengennya sih juga menetapkan peraturan : yang tidur di kasur atasku itu gak boleh ngorok !

Jam baru menunjukkan angka 6.00 pagi WIT, hari Senin tanggal 2 Mei 2005 ketika aku tengah berolahraga, berlari-lari kecil di dek paling atas, kulihat Pasific Titan, vessel untuk ‘source’, melintas, menyeret empat kabel panjang dibelakangnya. Lurus, kecepatan tetap, menembakkan ‘airgun’ yang membelah laut dengan bunyi yang berdentam….dung… dung……dung….! Wah, sudah mulai shooting, pikirku. Ternyata enggak cuma aku yang berdiri di pinggir dek menyaksikan penembakan tersebut. Beberapa bule juga ikutan, mengambil foto2 dari Pasific Titan. Seorang bule yang udah agak tua, crew perekaman, berdiri di dekatku dan bilang bahwa penembakan sudah dimulai sejak jam 2 dini hari tadi. Beliau juga cerita bahwa dia sudah sering ikut survai seismic, umumnya dengan streamer, beberapa dengan OBC dan baru kali ini ikut yang pake kabel yang di-ploughing. Iyalah… kan emang baru Indonesia yang mencoba pake teknologi ini.

Ketika Pasific Titan sejajar dengan Oceanic Princess dentuman keras itu diikuti oleh bunyi susulan yang lebih rendah. Pasti ini akibat pantulan dari Si Putri Laut, pikirku. Kebayang ; pada hasil rekaman nanti pasti ada noise dengan panjang gelombang dan frekuensi tertentu pada titik2 di dekat Oceanic Princess. Pasific Titan akan terus menembak sampai Selasa siang, sampai lintasan test ini ’full fold’. Getaran penembakan dari si Titan terasa sampe di kamarku di Princess. Lega, pre-survey test ini udah dimulai.

Selain di client room kami sering nongkrong di monitoring room (di survai darat ini disebut ”labo”) dan processing room. Untungnya bule2 di situ keren2 jadi aku sih betah aja ....... hehehehe... enggak deng.... yang pasti : karena bahasanya nyambung ! (sama2 geopsikis...eh... geophysicist). Semua personel di Oceanic Princess ramah2 kok tapi emang orang2 processing geophysicist-nya lebih keliatan rapi, ngomongnya halus dan lebih serius. Ruang processing itu berbentuk memanjang, ada enam ’work stations’ di sana dan juga perangkat ”server”, ”CPU”, dll. Para geophysicist-nya juga di-shift, giliran kerja, kecuali Leader-nya : Mike. Aku susah menghapal nama2 mereka (mereka juga pasti susah menghapal nama2 kami). Aku sudah mencatat nama Party Chief-nya : Gerhard Kvalheim (party chief disini bukan berarti ketua partai tapi pemimpin proyek survai seismik) dan salah satu superintendant kapalnya bernama Ketil Glimsjo. Nama2 yang susah diingat. Cewek bule di bagian kabel itu namanya Cougney Gloudagh - kalo gak salah, orang Norway, tinggi, pirang, kulitnya agak bertotol, umurnya baru 28. Gak heran temen2 cowokku betah nongkrong di tempat kabel itu. Lumayan, kata mereka, ketimbang liat cowok2 melulu atau liat kabel2 atau liat hasil tes yang ruwet itu.

Kami juga membuat draft laporan tentang test ini di atas kapal. Rata2 kami tidur di atas jam 12 malem. Aku berharap semua proses pengolahan data untuk ”test line” ini sudah selesai sebelum Rabu malam karena Kamis sore besok kami harus bertolak ke Babo Camp (dan meneruskan Laporan Akhir di sana) dan Jum’at harus lapor ke Jakarta tentang layak tidaknya survai ini dilakukan. Cukuplah dinas selama 2 minggu. Kita kembali ke peradaban.

Oceanic Princess, 4 Mei 2005
Salam,
Nuning.



Pernah dimuat :

From: Nugrahani
Sent: Wednesday, May 13, 2005 1:22 PM
To: M.B.Saputro ; mimbar-list@gajahsora.net
Subject: Jilid-3 : Pada Sebuah Kapal

Tidak ada komentar: