Jumat, 08 Februari 2013

Tentang Testimoni Buku Keduanya Jonih Rahmat

Sahabatku, Jonih Rahmat kembali akan menerbikan buku keduanya, yang in sya Allah akan diterbitkan tahun 2013 ini, oleh Gramedia  (sama dengan penerbit buku pertamanya “Malaikat Cinta”), dengan judul “Buku Tentang Kebaikan”. Untuk kali ini, aku diminta untuk menuliskan testimoni, bukan Kata Pengantar seperti halnya pada buku pertama Jonih (dan di bukunya Avicenia Darwis “Lentera di Kegelapan”).

Di bawah ini aku tuliskan testimoniku tersebut, yaitu suatu catatan atau komentar atas isi buku. Aku gak tau apakah tulisanku di bawah ini akan dimasukkan utuh atau sebagian atau tidak dimuat sama sekali. Ya… aku udah bilang ke Jonih, bahwa tulisanku (testimoni) ini seperti juga kata pengantar sebelumnya, adalah suatu pemberian dariku, dan sebagaimana layaknya suatu pemberian maka tentu terserah saja, apakah akan diterima seluruhnya, atau hanya sebagian atau dibuang. Mudah2an aja testimoni ini, sebagai mana juga Kata Pengantar, akan dicatatNya sebagai sedikit kebaikan dariku untuk sahabat2ku. Aaamiin.  Testimoni umumnya gak panjang namun aku menuliskannya ini dengan agak panjang meski gak sepanjang Kata Pengantar. Seperti halnya juga ketika menulis Kata Pengantar, maka aku bersusah payah untuk mencari kalimat yang tepat untuk memberikan gambaran atas isi buku tersebut. Mudah2an aja buku kedua  ini laris manis seperti buku pertamanya.

 ------------------------------------------------------------------------------------

Testimoni

“Buku Tentang Kebaikan”nya Jonih Rahmat

 Pada “Buku Tentang Kebaikan” ini, para pembaca akan menemukan cerita-cerita tentang kebaikan-kebaikan kecil, kebaikan-kebaikan dari kegiatan kehidupan sehari-hari (sekarang dan di masa lampau) serta cerita-cerita tentang orang-orang baik, tentang orang-orang sederhana, yang diceritakan oleh Kang Jonih dengan gaya bahasa yang amat mengasyikkan.

Saya pernah membaca novel fiksi karya Mitch Albom, “The Five People You Meet in Heaven”, yang menceritakan tentang seorang pekerja biasa,  yang selama berpuluh tahun bekerja memelihara wahana bianglala (kincir raksana) di taman hiburan anak-anak, dengan penuh tanggung jawab, dan ketika dia meninggal dunia, di surga (ini cerita di novel tersebut)  dia bertemu dengan  orang-orang yang juga orang biasa seperti dirinya, orang yang melakukan pekerjaan sehari-hari, orang-orang sederhana.  Setiap orang bisa saja memiliki gambaran siapa saja para penghuni surga kelak, namun secara umum orang-orang sependapat bahwa penghuni surga adalah orang-orang yang baik.   Nah, siapa kah “orang-orang baik” itu ?  Apakah dia  seorang pekerja biasa, seorang miskin, seorang  ibu, seorang kaya, seorang pejabat, seorang kyai, seorang guru, seorang tukang sampah, seorang …. ?  Kebaikan-kebaikan apa yang mereka lakukan agar dapat disebut sebagai “orang baik” ?  Kadang saya berfikir, jangan-jangan sebagian besar penghuni surga adalah orang-orang sederhana yang melakukan kebaikan-kebaikan kecil di setiap harinya, kebaikan-kebaikan yang “biasa-biasa saja”,  kebaikan-kebaikan kepada sesama manusia dan sesama  mahlukNya.   Tentu saja, soal penghuni surga, kita percaya bahwa itu merupakan hak prerogatif Allah SWT, namun kita tentu dapat berusaha melakukan kebaikan-kebaikan di dunia ini, berusaha menjadi “orang baik” (dan mengharapkan ridloNya dan  rahmatNya. Aamiin).

Bicaralah  kepada kami perihal kebaikan dan kejahatan.  Dan Dia menjawab (- dikutip sebagian saja dari “Sang Nabi”,  Kahlil Gibran) :

Engkau adalah kebaikan manakala kau berusaha memberikan dirimu. Namun engkau bukanlah jahat saat kau mencari keuntungan bagi dirimu. Sebab saat kau berusaha untuk untung, engkau hanyalah akar yang berpegangan pada bumi dan menyesap dadanya.

Engkau baik ketika kau berjalan menuju tujuanmu dengan tegas dan dengan langkah-langkah yang berani. Tapi engkau bukannya jahat kalau kau pergi ke sana berjalan pincang, bahkan mereka yang pincang tidak berjalan ke belakang.

Dalam kerinduanmu, untuk kebesaran dirimu terletak kebaikanmu, kerinduan itu ada pada kalian semua. Di antara kalian ada yang menganggap kerinduan itu adalah aliran deras yang berlari dengan perkasa menuju samudra, sambil membawa rahasia lereng bukit dan nyanyian hutan belantara. Dan pada yang lain kerinduan itu hanya arus datar yang kehilangan dirinya di sudut-sudut dan tikungan dan masih tertinggal sebelum mencapai pantai. Tetapi jangan biarkan dia yang lebih kuat berkata kepada dia yang lebih lemah, “ Mengapa kau begitu lamban dan tertegun-tegun?” Sebab orang yang benar-benar baik tidak akan bertanya kepada yang telanjang, “Di mana pakaianmu ?”, pun tidak kepada gelandangan, “Apa yang menimpa rumahmu ?”.

Pada “Buku Tentang Kebaikan” ini, tidaklah ada cerita-cerita yang menggurui atau menyalahkan, tidak bercerita tentang kebaikan versus kejahatan, ini adalah cerita tentang kebaikan-kebaikan sehari-hari, namun kita dapat meresapi tingginya nilai-nilai moral, tingginya nilai-nilai kemanusiaan yang terkandung di dalamnya. Saya percaya bahwa nilai-nilai kemanusiaan adalah universal. Semua kebaikan itu bermuara pada Allah yang Maha Esa.  “Buku Tentang Kebaikan” ini juga mengingatkan kita akan pentingnya akhlak yang mulia, tentang memuliakan manusia, tentang mencintai sesama manusia.  Pada buku “Bergaul Ala Penghuni Surga” karya Imam Al-Ghazali, dijelaskan tentang satu hadits yang diriwayatkan oleh Al-Bukari dan Muslim :  “Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Salam bersabda ; Tidaklah sempurna iman salah seorang dari kalian hingga kalian mencintai saudara kalian sebagaimana kalian mencintai diri kalian sendiri”.

Jakarta, 3 Januari 2013

Salam,
Nugrahani Pudyo (Nuning)

Tentang Baca Buku

Sudah cukup lama aku gak baca buku sastra, dan dahaga itu terasa terpuaskan saat membaca untaian kata2 pada novel Amba dari Laksmi Pamuntjak.

Ada rasa sedap di hati saat membacanya. Ini aku tuliskan lagi seuntaian kalimat yg sebetulnya hanya menerangkan soal hujan, supaya dapat juga teman2 merasakan  keajaiban kata2 di novel tersebut :

"Hujan mengguyur hijau dan aspal. Ranting dan daun terbungkuk-bungkuk seperti sepasukan budak. Luka dan nganga pada pohon dan bebatuan seolah lenyap di balik cadar siluman, dan hal-hal kecil, seperti lumut ganggang tanah dan kerikil, tergulung arus menuju desa lain, bungkam, hancur, seperti kisah murung orang-orang tak bernama. Segalanya terasa berat dan sedikit bengis. Aneh, memang : selalu ada yang membuat terlena dan tak berdaya pada hujan, pada rintik dan aromanya, pada bunyi dan melankolinya, pada caranya yang pelan sekaligus brutal dalam memetik kenangan yang tak diinginkan".

Heran juga aku dengan kekuatan kata2. Wong cuman ngomongin hujan aja kok yaaa.... bisa2nya  membuat kalimat yang demikian panjang dan ajaib. Memang itu cerita tentang hujan di pulau Buru. Tapi hujan dimana-mana sama aja, kan !

 Ini ada lagi :

"Suara jangkrik dan katak : magrib. Langit biru besi"

 Atau ini :

"Suara putih," katanya, "adalah malam. Bukan matahari yang membimbing kita ke putih, tapi cahaya bulan pada batu."

 Buku cerita tentang Amba dan Bhisma ini, dengan latar belakang peristiwa G30S PKI,  diceritakan dengan gaya narasi yang bolak balik, dari tahun sekian ke tahun sekian di depannya trus balik lagi ke sekian tahun yang lalu, namun sungguh enggak mengganggu keasyikan membacanya.  Gaya bahasanya sungguh memikat. Kalopun ada yang sedikit membuatku sedikit mengerenyit adalah ketika Amba dan adiknya Ambalika mendiskusikan soal “begituan” di umur mereka sekitar 10-12 tahun.  Bukan soal isi diskusi “begituan”nya tapi logikanya, apa iya anak seumur segitu sudah faham soal “begituan”. Apa karena sejak sedari kecil mereka (terutama Amba) sudah membaca “Serat Centhini” alias Suluk Tambangraras ?  Aku sendiri membaca buku Serat Centhini terjemahan (artinya dalam bahasa Indonesia) belum lama ini. Mungkin sebuah buku terjemahan kurang mampu untuk menggambarkan metamorfosa di dalam bahasa aslinya, tapi ya lumayan aja lah setidaknya aku sedikit tau soal buku olah asmara itu.  Amba ini hanya menyebut soal Serat Centhini namun gak ada penggambaran yang kasar soal hubungan badan di buku ini.  Yang ada hanya cerita tentang rasa cinta yang begitu kuat antara Amba dan Bhisma, dan segitiganya dengan Salwa, tentang nasib, tentang perjalanan hidup manusia.

Amba  sudah tandas  kubaca pada akhir pekan ini. Memang akhir pekan dan hari libur bagiku adalah hari santai, hari membaca buku dan hari belanja mingguan (keperluan rumah untuk seminggu), juga hari untuk mandi di siang hari - gak harus mandi di saat subuh seperti hari biasa-.  Di luar sana, Jakarta dan sekitarnya  banjir belum menyurut benar. Dan kesedihan menyergap saat mendengar berita di teve tentang dua orang yang akhirnya ditemukan meninggal di basement sebuah kantor di jalan utama ibukota. Kasihan. Koran minggu menampilkan foto-foto mengenai anak-anak (dan juga orang tua) yang "bergembira" bermain di air banjir.  Orang2 memang punya mekanisme pertahanan diri saat terkena musibah.  Salah satunya adalah dengan bergembira ( dan membuat humor,  menertawakan musibah itu, menertawakan diri sendiri). Semoga mereka tidak terkena leptospirosis - penyakit yang disebabkan oleh kotoran hewan seperti tikus -  belum lagi penyakit gatal-gatal dan mencret, yang biasa terjangkit saat banjir menerjang.

E-mail dan bbm grup di saat ini isinya hampir seragam : ajakan mengumpulkan dana dan barang2 untuk para korban banjir. Belum semua daerah mendapat bantuan. Distribusi tidak merata. Mudah2an para pengirim bantuan itu tidak  semua seperti partai politik yang mejeng di depan kamera teve dan memasang poster gede2  segede gambreng, dengan bantuan yang enggak seberapa. 

Hujan belum turun sedari pagi, tapi langit tampak mendung. aku berusaha mencari kata lain mengenai mendung, tapi gak ketemu, dan terngiang kata ajaib di novel Amba : "langit biru besi".

Jakarta, 20 Januari 2013

Salam,
Nuning