Jumat, 24 Juni 2011

Tentang Kata Pengantar

Di bawah ini aku copas (copy & paste) “Kata Pengantar” yang aku tulis untuk bukunya sahabatku, Jonih Rahmat, berjudul ““Malaikat Cinta – Sisi Lain Ibadah haji yang Menyentuh hati”. Jadi ceritanya nih, sekitar tahun lalu, Jonih memberikan padaku satu bundel tulisan (lebih merupakan kumpulan tulisan ketimbang buku) dan memintaku untuk menulis Kata Pengantar karena tulisan2 tersebut katanya akan diterbitkan dalam bentuk buku. Mula-mula, tentu saja, aku menolaknya karena merasa tidak sanggup tapi Jonih memaksa terus sehingga akhirnya aku menerimanya tanpa janji bagaimana dan kapan aku akan menulis Kata Pengantar untuk buku itu. Beberapa dari tulisan pada bundel tersebut memang sudah aku baca karena Jonih sering mengirimkan tulisan2nya padaku melalui e-mail, namun..... bagaimana caranya menulis Kata Pengantar pada sebuah buku ?

Aku pun berusaha memperhatikan Kata Pengantar pada buku2 yang aku punya maupun di toko2 buku, namun berbulan-bulan belum sanggup juga aku menuliskannya. Akhirnya, aku putuskan untuk tidak berkutat pada : “bagaimana menulis kata pengantar”.... namun aku menulis saja apa yang aku tau soal Jonih (juga istrinya dan keluarganya) , apa yang telah dia kerjakan terhadap kemanusiaan, apa yang aku kagumi dari dia, tentang cinta kasihnya yang tulus terhadap kaum papa, anak2 yatim dan terlantar. Akhirnya.... jadi juga lah Kata Pengantar tersebut. Alhamdulillah. Soal bagus atau enggaknya sih.... ya mo dibilang apa... wong saya sendiri kan belum pernah menulis buku. Aku copy Kata Pengantar yang aku buat untuk buku tsb. di e-mail ini.

Sangat bangga aku bila buku ini diterbitkan (aku dengar akan diterbitkan tidak lama lagi, oleh Gramedia). Alhamdulillah. Mudah2an buku itu laris sehingga cinta kasih universal, cinta kasih terhadap sesama manusia, yang menjadi inti dari buku tersebut dapat menyebar kemana-mana dan dapat menjadi penawar bagi kekerasan yang kerap terjadi akhir2 ini.

Bila di bulan2 depan nanti teman2 melihat buku Kang Jonih ini di jaringan toko buku Gramedia.... jangan ragu2 untuk membelinya ya... dan silakan memborongnya untuk diberikan ke teman2 /sodara2/tetangga2. Terima kasih.


KATA PENGANTAR


Pada salah satu cerpen karya Leo Tolstoy, pujangga Rusia, dalam buku kumpulan cerita “Tuhan Maha Tahu, Tapi DIA Menunggu”, berjudul “Ziarah”, diceritakan tentang Efim dan Eliyah, dua orang kakek bersahabat yang sudah merencanakan dan menabung selama bertahun-tahun untuk bisa pergi berziarah bersama-sama ke Yerusalem. Efim yang uangnya sepuluh kali lebih banyak dibandingkan Eliyah, selalu tidak bisa menyisakan waktunya. Suatu ketika, dia menundanya karena ingin lebih dulu menikahkan cucu perempuannya. Pada waktu yang berbeda, dia menunggu putranya pulang dari dinas ketentaraan. Waktu yang lain, ia ingin lebih dulu membangun rumah yang baru. Akan tetapi, akhirnya, Eliyah bisa meyakinkan sahabatnya itu untuk berangkat berziarah pada musim semi tahun itu (zaman itu, awal abad ke-19, membutuhkan waktu berbulan-bulan untuk perjalanan ziarah dari Rusia ke Yerusalem).

Dalam perjalanan ziarah tersebut, Eliyah kemudian tertahan di sebuah desa karena menolong satu keluarga yang sekarat dan kelaparan. Efim meneruskan perjalanan ziarahnya tanpa Eliyah. Eliyah dengan belas kasihnya, merawat keluarga yang sakit parah di desa itu dan menggunakan uangnya yang
sedianya untuk perjalanan ziarah, yang ditabungnya bertahun-tahun, untuk memberi mereka makan dan minum sampai mereka kuat berdiri; menebus tanah mereka yang tergadai; membelikan seekor sapi, kuda, dan kereta. Karena uangnya tinggal sedikit, tidak cukup untuk ke Yerusalem, pulanglah Eliyah ke desanya. Efim, yang tidak ikut singgah di desa miskin tersebut, mendapatkan suatu “keanehan” di mana selama di tanah suci Yerusalem selalu saja melihat Eliyah, dengan kepala botaknya dan janggut yang hitam dan keriting; di mana pun di tempat-tempat suci di Yerusalem, meskipun tidak pernah berhasil menemuinya; karena “Eliyah” selalu saja berada di depannya, di antara kerumunan manusia, dan kemudian menghilang.
Setelah enam minggu di Yerusalem, Efim kembali. Dalam perjalanan pulang, dia mampir ke desa di mana ia berpisah dengan Eliyah. Efim merasa sulit untuk mengenali orang-orang di desa kecil itu karena dulu mereka amat miskin dan sakit parah, namun sekarang mereka sehat dan hidup cukup senang. Orang-orang di desa itu menjamu Efim dengan baik dan bercerita bagaimana mereka, dulu, ditolong oleh seorang kakek musafir botak yang baik hati, yang merawat mereka berbulan-bulan, menebus tanah pertanian mereka yang tergadai dan membelikan mereka sapi, kuda, dan kereta; kemudian menghilang.
Ketika ia tiba di kampung halamannya, Efim mendapatkan kebenaran bahwa Eliyah memang pulang ke desanya, tidak jadi ke Yerusalem. Efim kini mengerti, dengan seterang-terangnya, bahwa Tuhan memerintahkan kepada setiap orang untuk bekerja menunaikan kewajibannya di dunia dengan pekerjaan-pekerjaan yang baik dan memberikan kasih sayang kepada orang-orang miskin. Apa gunanya menyeberangi lautan untuk mencari Tuhan apabila kehilangan “Tuhan” di dalam dirinya. Begitulah cerita yang disampaikan Leo Tolstoy, yang hidup di Rusia pada tahun 1828 hingga tahun 1910.
Saya percaya dan pernah mendengar juga cerita yang sejenis dengan cerita di atas, yaitu tentang orang Islam yang naik haji versus orang yang mengabdikan hidupnya -dan uangnya yang sedianya untuk berhaji- untuk orang miskin.
Saya menceritakan kembali sebagian dari cerpen Leo Tolstoy di atas, sebagai pembuka atau pengantar untuk buku dari sahabat saya, Jonih Rahmat (yang biasa saya panggil Kang Jonih), berjudul “Malaikat Cinta - Sisi Lain Ibadah Haji yang Menyentuh Hati”, ini dengan maksud untuk memberi gambaran kepada para pembaca bahwa ibadah haji yang merupakan salah satu kewajiban umat Muhammad saw., juga mempunyai “sisi lain”, yaitu sisi kemanusiaan. Sisi kemanusiaan atau dimensi sosial dari ibadah haji inilah yang ingin diceritakan pada buku “Malaikat Cinta”.
Saya pribadi pun percaya bahwa semua kewajiban ibadah seperti salat (khususnya salat Jumat, salat Idul Fitri, dan Idul Adha), berpuasa, berhaji, apalagi berzakat, juga memiliki dimensi kemanusiaan selain dimensi ketuhanan. Ada banyak buku yang membahas dimensi ritual dari ibadah haji (cara-caranya, aturan-aturan, dan hukum-hukumnya, sebagai pelaksanaan kewajiban bagi umat Islam), namun hanya sedikit yang membahas dimensi kemanusian, yaitu aspek sosial dari pelaksanaan ibadah tersebut.
Saya tidak mampu menulis soal agama, karena itu saya kutip saja sebagian dari tulisan cendekiawan muslim favorit saya, yang sangat saya kagumi, yaitu K.H. Jalaluddin Rakhmat, pada harian Kompas tanggal 15 Oktober 2004, sebagai berikut:
Simaklah hadis qudsi berikut ini:
"Hai Musa, tahukah kamu bahwa ada seorang hamba di antara hamba-hamba-Ku yang mempunyai dosa dan kesalahan yang begitu banyak sehingga memenuhi sudut-sudut langit, tetapi Aku tak hiraukan dosa-dosanya. Semua Aku ampuni."

"Mengapa tidak Kauhiraukan, ya Rabb?"
"Karena satu hal yang mulia yang Aku cintai dalam dirinya: Ia mencintai fakir miskin. Ia bergaul akrab dengan mereka. Ia menyamakan dirinya seperti mereka. Ia tidak sombong. Jika ada hamba-Ku seperti dia, Aku ampuni dia dan Aku tidak hiraukan dosa-dosanya."

Dilaporkan kepada Nabi Muhammad saw. tentang seseorang yang selalu berpuasa di waktu siang dan bangun tengah malam, tetapi sering menyakiti tetangganya dengan lidahnya. Nabi menjawab singkat, “Dia di neraka!”

"Semua makhluk adalah keluarga-Ku. Makhluk yang paling Aku cintai adalah yang paling penyayang pada makhluk yang lain, yang paling bersungguh-sungguh dalam memenuhi keperluannya." (Hadis qudsi).

Demikian kutipan tulisan dari K.H. Jalaluddin Rakhmat, yang dalam beberapa ceramahnya juga sering mengatakan bahwa hablun minallâh atau hubungan baik dengan Tuhan, itu diukur dari hubungan baik dengan sesama manusia (hablun minannâs). Janganlah kita merasa sudah takwa pada Allah hanya karena ibadah kita baik, tetapi lihatlah apa kontribusi kita bagi kemanusiaan. Alquran sendiri mengatakan bahwa orang-orang yang membanggakan ritus-ritus agama tapi tidak ada buktinya dalam kehidupan bermasyarakat—misalnya tetap sombong, suka menindas, dan tidak punya empati pada penderitaan orang—mereka dianggap pendusta agama. Ayatnya: “Ara’aital ladzî yukaddzibu bid dîn, fadzâlikal ladzî yadu`ul yatîm…” (Tahukah engkau siapa para pendusta agama? Mereka adalah orang yang tidak peduli pada anak yatim).

Penulis buku “Malaikat Cinta” ini, Jonih Rahmat, sudah saya kenal selama lebih dari 20 tahun, yaitu sejak kami bersama-sama mengikuti Bimbingan Profesi Sarjana Teknik (BPST) Angkatan ke-1, dari Pertamina Eksplorasi Produksi pada tahun 1989. Pada tahun 2002, kami bersama-sama pensiun dini dari Pertamina dan bergabung dengan BPMIGAS, kantor kami hingga sekarang.

Sepengetahuan saya, Kang Jonih adalah satu-satunya pekerja “inti” di industri hulu migas (beliau adalah seorang geologist) yang sudah bekerja lebih dari 20 tahun, yang tidak mempunyai kendaraan pribadi. Rumahnya -di Kampung Kereteg, Ciomas, Bogor- pun sangat sederhana. Sejak awal bekerja, Kang Jonih mendedikasikan sebagian besar penghasilannya untuk menyantuni dan mengurus anak-anak yatim, anak-anak miskin, dan orang-orang telantar.

Secara bergurau sering saya katakan kepadanya bahwa pembagian penghasilannya itu mengikuti sistem kontrak bagi hasil perusahaan migas (production sharing contract), yaitu 85-15; di mana 85% adalah untuk kaum miskin, dan 15 % untuk keluarganya. Sangat boleh jadi, pada kenyataannya, penghasilan pribadi yang diperuntukkannya bagi orang-orang miskin adalah lebih dari 85% (sebagai informasi bagi pembaca yang kurang familier dengan hal ini, sistem bagi hasil atau production sharing untuk industri minyak pada umumnya adalah 85% untuk Negara, dan 15% untuk perusahaan minyak). Cobalah bandingkan pembagian tersebut pada sebagian besar orang, dengan saya, misalnya, yang hanya menyisakan sekadar 2,5% saja dari penghasilan pribadi untuk disumbangkan ke orang-orang miskin. Itu pun, kita masih berusaha “menawar-nawar” untuk menguranginya (lagi). Kang Jonih adalah contoh bagi kami, bagaimana pengejawantahan cinta pada umat manusia.

Pada salah satu bab di buku “Malaikat Cinta”, ini Kang Jonih menceritakan bagaimana teman-teman di Divisi Eksplorasi BPMIGAS memberikannya sejumlah uang (yang adalah hasil “saweran” dari kami) sebagai ongkos naik hajinya. Harus saya ceritakan bahwa yang mendorong kami melakukannya adalah “rasa malu”, bagaimana mungkin Kang Jonih yang selalu taat beribadah dan selalu menyantuni orang-orang miskin itu belum pergi haji, sedangkan kami akan berhaji pada tahun tersebut (kami: saya, Pak Andit, Pak Djumlati – nama yang disebut-sebut pada buku ini, naik haji pada akhir tahun 2003-awal tahun 2004). Namun, apa mau dikata, dengan malu harus kami akui bahwa uang tersebut hanya cukup untuk Kang Jonih berhaji sendirian, dengan ONH biasa. Padahal, kami berhaji dengan ONH “plus”, yang biayanya 3-4 kali lipat ONH biasa (artinya, sekali lagi, kami hanya mampu memberikan sedikit saja rezeki kepada orang lain, sebagian besar adalah untuk kami sendiri). Alhamdulillah, dengan pertolongan Allah yang Maha Pemurah, Kang Jonih dan istri dapat berhaji pada tahun berikutnya dengan ONH “plus”.

Imam Al-Ghazali mengatakan bahwa Cinta pada Allah Swt. adalah tujuan puncak dari seluruh ibadah kita. Makhluk yang paling bahagia di akhirat nanti, adalah yang paling kuat kecintaannya kepada Allah Swt. Mencintai Allah bisa dipelajari lewat tanda-tanda-Nya yang tersebar di seluruh alam semesta. Dan, kecintaan pada Allah dapat dimanifestasikan ke bentuk yang lebih nyata berupa amal saleh dan akhlakul karimah (akhlak yang baik).

Tidak ada satu orang pun yang membantah perlunya ibadah ritual dilakukan, namun hubungan vertikal kita dengan Allah Swt. dalam ibadah ritual atau individual (seperti salat dan haji) harus terefleksikan ke dalam hubungan horizontal kita dengan sesama manusia, dalam ibadah sosial kita. Seorang sufi besar, Abu Bein Azim, dalam suatu kisah yang cukup panjang, menceritakan bahwa malaikat berkata kepadanya, “Baru saja Tuhan berkata kepadaku bahwa engkau tidak pernah bisa mencintai Tuhan sebelum engkau mencintai sesama manusia”.

Para pembaca yang budiman, selamat menikmati “Malaikat Cinta”.


Jakarta, 15 Oktober 2010

Salam,
Nugrahani Pudyo
(Nuning)