Jumat, 05 Desember 2008

Tentang Makanan Favorit

Menarik sekali tulisan-tulisannya Mas Yusuf Iskandar tentang makanan, jadi ingat tulisan-tulisan kulinernya Bondan Winarno. Apa mas Jusuf ini juga salah satu mata-mata “jalansutra” ??. Coba kita lihat lagi : Bakminya Mbah “Mo”, Ikan Bakar Lumintu 101, Pecel lele Sabar Menanti, Udangnya Mang Engking dan pagi tadi “Kambing Muda Pasar Paing”, semuanya adalah makanan atau jajanan di sekitar Joyga – Solo, padahal katanya beliau tinggal (dan kerja ?) di Tembagapura, Papua. Kapan nih Mas Yusuf cerita-cerita tentang makanan enak di Papua ? Barangkali aja tentang ikan bakar di dekat lapangan terbang Sorong itu atau jangan-jangan memang enggak ada makanan enak di Papua ? Membayangkan makanan yang diceritain Mas Yusuf ini membuat saya hampir meneteskan air liur… wuihhh… kayaknya sedap banget ! Saya juga sepaham dengan beliau bahwa makan itu enak dan perlu, cuma saja, sebelum ini, saya tidak pernah terpikir untuk menuliskannya.

Saya jadi terkenang makanan favorit di masa kecil/remaja. Di daerah Rawamangun Jakarta ada Restoran / Rumah Makan “Sederhana”, masakan Padang, yang sekarang franchise-nya ada dimana-mana. Dulu, tahun 70-an itu Restoran (dulu dibilangnya cuma Rumah Makan) Sederhana cuma berupa warung kecil, letaknya di perempatan jalan Sunan Giri – Ramamangun Muka (dulu di depan bioskop Mega - bioskop itu udah almarhum, tak sanggup bersaing dengan jaringan bioskop 21), di depan pasar/ruko Sunan Giri. Sampai sekarang lokasinya ya tetap di sana tapi udah gak berupa warung lagi melainkan restoran besar, lengkap dengan ruangan berpendingin. Dulu itu paling seneng kalo ibuku menyuruh beli rendang ke Rumah Makan Sederhana karena rendangnya enak betul… empuk dan bumbunya meresap … pedas dan gurih .… hhmmm… sedap sekali ! Sayangnya kami jarang sekali makan langsung di restoran, maklum, ortu terlalu banyak pertimbangan ekonomisnya (sampai sekarang ibu saya itu susah sekali diajak jajan, sudahlah… makan di rumah aja.. kan ada banyak makanan…. begitu selalu alasannya). Dulu, kalo diutus beli rendang, ibu selalu berpesan…. minta bumbunya yang banyak, ya … ! Jadi sampai di rumah, rendang itu dibagi dua dulu (iya betul…. dibagi dua !) plus kuah atau bumbu yang agak banyak dicampur nasi panas. Asyiklah kami serumah makan nasi rendang.

Jaman dulu itu, setau saya, yang namanya masakan Padang itu ya cuma rendang saja karena gak pernah nyobain yang lain. Setelah mahasiswa barulah saya sering makan di restoran atau rumah makan Padang dan bisa puas makan sepotong rendang tanpa dibagi dua dan mencoba berbagai masakan padang yang lain semisal gulai otak ataupun gulai tunjang atau dendeng betoko dan yang lainnya. Mau tau restoran padang favorit saya semasa mahasiswa di Bandung ? Itu loh Rumah Makan “Tanpa Nama” di jalan Singaperbangsa (saya lupa lagi nama daerahnya apa, di depan Unpad - Dipati Ukur) dan sekarang udah tergusur. Sekarang ini, rumah kami di Pamulang, langganan kami (saya, suami, anak-anak) adalah restoran Sederhana di perempatan Gaplek, yaitu perempatan antara jalan ke Pondok Cabe – Parung – Pamulang – Ciputat. Rendangnya masih enak, sama enaknya dengan di masa saya kecil. Katanya restoran ini memang franchise-nya yang di Rawamangun itu. Tentu saja sekarang saya lebih suka makan “in situ” dan enggak cuman makan rendang. Anak saya yang kecil, karena belum tahan pedas, memilih ayam pop – menu yang tidak saya kenal di waktu kecil. Saya pernah iseng tanya, kenapa Sederhana mencantumkan keduanya : Restoran dan Rumah Makan, jawabannya : restoran itu terkesan mahal sedangkan rumah makan itu murah, jadi dibuatlah keduanya supaya orang-orang yang uangnya sedikit tidak ragu-ragu untuk makan di tempat kami. Wah, ternyata itu taktik dagang juga. Nama “masakan padang” ini pun juga cuman taktik dagang karena bisa jadi masakan itu bukan dari kota Padang tapi dari kota/daerah kota lain di Sumatera Barat seperti Pariaman, Bukit Tinggi, dll.

Suami saya besar di Jakarta Selatan, juga mempunyai makanan favorit semasa kecil/remaja yaitu ayam goreng “ mbok Berkah” di Melawai, sate ayam di Jalan Sambas dan bakmi “Boy”. Uniknya sampai saat ini kami sekeluarga masih bisa menikmati ketiga makanan favorit suami saya (sejak kecil) itu. Makanan favorit suami saya kini juga merupakan favorit saya dan anak-anak. Suami saya pernah cerita bagaimana dia, bila menemani (almarhummah) ibunya berbelanja ke Pasar Mayestik, pasti mampir ke Bakmi Boy dan apabila naik kelas atau dapat raport dengan nilai bagus maka ‘hadiah’nya antara lain makan di sate ayam jalan Sambas atau di ayam goreng “mbok Berkah”. Tentu saja sekarang ini anak-anak saya gak perlu menungu dapat raport bagus untuk sekedar makan di restoran. Sepertinya, acara makan di luar rumah itu sudah merupakan kegiatan yang biasa saja, bukan sesuatu yang istimewa seperti jaman kita kecil dulu.

Ketiga tempat makan favorit keluarga saya itu tidak atau belum menerapkan sistem franchise, masih menggunakan sistem kekeluargaan artinya pengelolaan hanya diserahkan dari bapak ke anak dan ke cucunya. Kami, terutama suami saya, merasakan dilayani oleh sang ayah, anak-anaknya, sekarang bahkan cucunya juga sudah mulai melayani kami. Ada 3 cabang Bakmi Boy, yaitu di Pasar Mayestik (dulu, katanya lokasinya bukan di situ tapi masih di Mayestik juga), di pasar Blok M dan di Pasar Santa, ketiganya dipegang oleh anak-anak dari sang pendiri. Jaman pacaran dulu, saat makan bakmi Boy di Blok M, kami dilayani oleh sang anak (yang namanya dijadikan nama rumah makan itu : Boy), sekarang kami dilayani oleh sang cucu. Sate Ayam di Jalan Sambas maupun Ayam “mbok Berkah” di Melawai (lokasinya pinggir jalan dekat smp 56 yang bermasalah itu) sejak dulu sampai sekarang hanya rumah makan “kaki lima” dengan tenda dan meja-kursi sederhana, hanya buka di sore dan malam hari dan enggak punya cabang. Sama dengan Bakmi Boy, dulu sang pendiri, Pak Rachmat, yang sibuk melayani pembeli Ayam Goreng “mbok Berkah”, sekarang manajemen dikelola oleh anak-anaknya.

Ada rentang waktu yang cukup panjang, lebih 30 tahun, dan mereka tetap “survive”, tetap punya pelanggan, lama dan baru. Rasa dari masakan juga tidak berubah. Itulah yang menyebabkan kami selalu datang dan datang lagi. Beruntunglah kami, masih bisa merasakan makanan favorit sejak kecil : rumah makan Sederhana, Bakmi Boy, Sate Ayam jalan Sambas dan Ayam Goreng “mbok Berkah” di Melawai. Tentu saja sekarang kami juga punya makanan favorit lain, langganan lain, tapi tetap saja kami selalu kembali ke sana. Boleh loh… dicoba makanan favorit keluarga kami itu, barangkali aja sesuai dengan selera, sama seperti keluarga kami.


Jakarta, 26 Juli 2004
Salam,
Nuning


(Pernah dimuat di mimbar-list)

Tidak ada komentar: