Jumat, 04 Januari 2013

Tentang Kata Pengantar (lagi)


Tentang Kata Pengantar (lagi)

Pengalaman pertamaku membuat Kata Pengantar untuk buku temanku, Jonih Rahmat, yaitu “Malaikat Cinta”, sungguh berkesan, apalagi buku yang diterbitkan Gramedia tersebut Alhamdulillah…. Laris manis dan kabarnya saat ini sudah masuk ke cetakan ketiga.
Rupa-rupanya, hal ini juga mengilhami temanku Avicenia Darwis yang sedang membuat buku berjudul “Lentera di Kegelapan” untuk memintaku membuat Kata Pengantar. Jadilah aku mencoba menulis lagi Kata Pengantar.  Alhamdulillah, buku “Lentera di Kegelapan” ini sudah diterbitkan oleh Yayasan Ganesha 83 pada bulan Desember 2012 ini. Mudah2an buku ini juga dapat menjadi buku yang laris. Di bawah ini aku copas tulisanku (Kata Pengantar) pada buku tersebut.  Ada kata-kata yang aku “bold dimana kata-kata tersebut tidak ada dalam buku “Lentera di Kegelapan” ( terhapus pada saat editing).
Selain kata-kata yang terhapus tersebut, kata pengantar yang aku tulis ini boleh dibilang enggak ada koreksinya – seperti halnya kata pengantar untuk “Malaikat Cinta” – sama persis bahasanya dengan yang aku kirim ke Jonih dan ke Avi.
 KATA PENGANTAR

“LENTERA DI KEGELAPAN”


Orang-orang miskin di jalan,
yang tinggal di dalam selokan,
yang kalah di dalam pergulatan,
yang diledek oleh impian,
janganlah mereka ditinggalkan
………..
………….
Orang-orang miskin berbaris sepanjang sejarah,
bagai udara panas yang selalu ada,
bagai gerimis yang selalu membayang.
Orang-orang miskin mengangkat pisau-pisau
tertuju ke dada kita,
atau ke dada mereka sendiri.
O, kenangkanlah :
orang-orang miskin
juga berasal dari kemah Ibrahim

(Cuplikan sajak W.S Rendra, “Orang-orang Miskin”,
Yogyakarta, 4 Pebruari 1978- Potret Pembangunan dalam Puisi)


Orang-orang miskin kita jumpai dimana-mana, di kota-kota besar, di kota-kota kecil, di desa-desa, dan menurut Badan Pusat Statistik pada Januari 2012 jumlah orang miskin di Indonesia tercatat sejumlah 27,8 juta jiwa.  Kita mengetahui  bahwa dalam Undang-undang Dasar 1945, Pasal 34, mengatakan bahwa fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh Negara.  Kita juga faham bahwa kemiskinan berhubungan erat dengan pendidikan. Menurut data di akhir tahun 2011, lebih dari satu juta anak mengalami putus sekolah di jenjang SD dan SMP. Jumlah tersebut tentu akan bertambah bila menggunakan data untuk jenjang pendidikan yang lebih tinggi lagi seperti SMA/setingkat SMA dan perguruan tinggi.  Kita pun mengetahui bahwa pada Undang-undang Dasar Negara kita, pasal 31, dinyatakan bahwa setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan dan setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan Pemerintah wajib membiayainya, dan  sejak tahun 2009, Undang-undang Dasar Negara kita sudah mengamanatkan bahwa minimal 20% dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara harus dialokasikan untuk bidang pendidikan.

Saya tidak hendak membahas mengenai angka kemiskinan dengan segala macam parameternya yang kerap diperdebatkan para ahli di media massa. Saya juga tak hendak menggugat Pemerintah atas tingginya angka kemiskinan, tingginya angka putus sekolah, dan segala permasalahannya. Saya pun tidak ingin berdebat mengenai kemiskinan versus pendidikan. Angka di atas hanya suatu ilustrasi untuk kata pengantar atas buku yang ditulis oleh sahabat saya,  Avicenia Darwis, yang menceritakan pengalamannya, perjuangannya dalam mengelola Yayasan Miftahul Jannah (yang berarti “kunci ke surga”),  yang mengurus, mengasuh, membina anak-anak yatim, anak-anak kaum dhuafa, kaum fakir miskin dan terlantar di kota Bogor dan sekitarnya (sebagian dari mereka tidak mempunyai orang tua, atau hanya memiliki ayah atau ibu saja) dimana orang tua mereka umumnya adalah para buruh lepas, tukang becak, marbot (penjaga) mesjid, pembantu rumah tangga, satpam, pedagang kecil keliling, tukang kue, dan sebagainya. Avi menyebut mereka sebagai “anak-anak masa depan”, anak-anak yang sedang menjemput masa depan yang lebih baik.  Anak-anakyang di asuh Avi semuanya berada dalam deraan  kemiskinan.  Tak hanya miskin dalam arti fisik, namun mereka  juga miskin dalam pendidikan, miskin budi pekerti, miskin kehangatan kasih sayang dan miskin motivasi untuk maju.  Keadaan orangtua mereka lahyang menyebabkan demikian. Tak jarang di antara mereka ada yang dipaksa orang tuanya, untuk menjadi pengemis, menjadi pedagang asongan di jalan, di kereta, dan tidak mendapatkan pendidikan yang layak.  Apa mau dikata…  Bukankah mereka harus tunduk pada orang tuanya.  Bukankah mereka tidak bisa memilih jalan hidup, tidak bisa memilih orang tua.   Tanpa  adanya bantuan dari orang-orang lain, seperti Avi, mereka sulit untuk keluar dari lingkaran kemiskinan yang melilitnya.  Padahal mereka juga punya hak untuk hidup lebih baik.

Pada harian Kompas, tanggal 11 Maret 2012, ada dua artikel yang menyentuh hati saya dan mengingatkan saya pada perjuangan Avi,  yaitu artikel dengan judul  “Mereka Mencerdaskan Kaum Jelata”, dan “Menularkan Idealisme Tangan di Atas”.  Mereka itulah, Fuady Munir dan Sri Tjendani dengan Yayasan Maleo (sekolah Terbuka  Ibnu Sina), Liana Christanty di Lontar Surabaya, dengan Sekolah Pelita Permai (Yayasan Kasih Pengharapan), Euis Lisminarti Hapidin dengan Rumah Singgah Taman Indira, Dik Doank dan teman-temannya di Komunitas Kreativitas Kandank Jurank Doank. Tak ketinggalan Novelis Ahmad Fuadi yang mendirikan Sekolah (PAUD) Komunitas 5 Menara.  Juga sahabat saya Jonih Rahmat dengan Yayasan Ar-Rahmah.  Mereka itulah, yang mendedikasikan diri untuk ikut membangun bangsa, ikhlas membantu kaum papa, merangkul anak-anak yang terpinggirkan, mengajarkan anak-anak itu  tentang berbagi, membangun wawasan,  kemampuan wiraswasta, dan tentang harga diri. 

Demikian juga kisah perjuangan Mary Zurbuchen  (Kompas tanggal 8 Juni 2012, dengan judul “Menemukan Jarum di Tumpukan Jerami”),  yang mencari calon pemimpin bangsa dengan memberikan beasiswa (The Indonesian International Education Foundation) kepada kalangan rakyat miskin, kaum marginal,  dari seluruh pelosok negeri kita.  Mary memahami kait-mengait antara rendahnya kualitas pembangunan manusia dengan kemiskinan dan rendahnya tingkat partisipasi pendidikan, di Indonesia.  Dengan beasiswa tersebut Mary berharap dapat mengurangi ketidaksetaraan akses pendidikan bagi  kalangan masyarakat kelas bawah yang selama ini terpapar pada kondisi serba kurang.   Pada gilirannya, kesempatan pendidikan ini, dipercaya, diharapkan akan dapat membawa kebaikan bagi masyarakat dan dapat membentuk para  pemimpin baru Indonesia dengan visi masa depan yang hebat,  yang punya rasa keadilan sosial, kesadaran lingkungan dan memiliki kejujuran.

Mereka semua itu adalah sebagian dari masyarakat Indonesia yang peduli pada kamu miskin, mereka adalah para pejuang kaum papa, kaum dhuafa, kaum yang terpinggirkan, baik oleh Negara maupun oleh masyarakat umum.

Coba kita dengarkan lagi, lagunya Iwan Fals dan Alm. Frankie Sahilatua (musik Ian Antono) berjudul “Orang-Orang Pinggiran” :

Orang pinggiran... ooaeyoo... Ada di trotoar... ooaeyoooo...
Ada di bis kota.... ooaeyoo... Ada di pabrik-pabrik... ooaeyoo...
Orang pinggiran... ooaeyoo... Di terik mentari... ooaeyoo....
di jalan becek... ooaeyo... Menyanyi dan menari... ooaeyo...
Lagunya nyanyian hati
Tarinya tarian jiwa
Seperti tangis bayi di malam hari
sepinya waktu kala sendiri
Sambil berbaring meraih mimpi
Menatap langit-langit tak peduli
Sebab esok pagi kembali
Orang pinggiran... ooaeyoo... Di dalam lingkaran... ooaeyoooo...
Berputar-putar.... ooaeyoo... Kembali ke pinggiran... ooaeyoo...
Orang pinggiran bukan pemalas
Orang pinggiran tidak mengeluh
Orang pinggiran terus melangkah

Mereka, orang-orang pinggiran, kaum marjinal, kaum papa, kaum Dhuafa, apapun julukannya, ada dimana-mana, di sekitar kita. Sebagian besar dari kita hanya  bertanya dan berdebat…… dimana peran Negara dalam membantu kaum fakir miskin ini padahal Undang-Undang Dasar Negara kita mengamanatkan demikian. Dimana peran para Kepala Daerah yang saat kampanye berkoar-koar soal pemberantasan kemiskinan. Sebagian besar dari kita hanya hidup untuk diri sendiri dan kerabat dekat, dengan  tidak memperhatikan kaum miskin disekitarnya karena merasa itu bukanlah tanggungjawabnya.  Sebagian besar dari kita yang hidup berkecukupan, hanya memalingkan wajah saat melihat anak-anak mengemis dan berkeliaran di jalanan. Tidak memberikan mereka uang di jalanan adalah bagus  - dan benar - karena uang dapat menyebabkan mereka tetap hidup di jalanan, namun pernahkah kita berpikir, apalagi bertindak,  untuk membantu mereka agar tidak hidup di jalanan ? Sebagian dari kita juga berpendapat bahwa janganlah kita memberikan mereka  ikan melainkan berikanlah mereka kail.  Padahal… pernahkah kita memikirkan bagaimana mereka, kaum miskin itu, mampu untuk memancing, mampu untuk menangkap ikan, sementara mereka tak tahu cara menggunakan kail, tak punya cukup tenaga untuk berjalan ke tempat dimana ada ikan, tidak tahu cara mencari dimana tempat yang ada ikannya untuk dipancing. Sebagian besar dari kaum miskin itu,  tidak mampu keluar dari jerat kemiskinan.  Mereka harus dibantu, harus diberdayakan ! Anak-anak kaum papa ini harus dibantu agar mendapatkan kesetaraan setidaknya dalam hal pendidikan, lebih bagus lagi bila mereka mendapatkan kesetaraan untuk kesehatan, dan harapan, dan kasih sayang.

Para pejuang kaum papa ini, Avi dan teman-teman lainnya, tidak menunggu bantuan dari Negara atau menunggu bantuan dari Kepala Daerah, yang entah kapan datangnya.  Mereka menyadari bahwa rantai birokrasi terlalu panjang untuk ditunggu hingga menyentuh kaum marjinal itu.   Mereka juga tidak menunggu hingga dana mencukupi.  Mereka bukan orang kaya raya.  Mereka langsung terjunbegitu saja, dengan dana sendiri dan bantuan teman-teman sekitarnya. Mereka berjuang membantu kaum miskin ini bukan hanya dengan uang namun terlebih dengan hati,  dengan tenaga, dengan waktu dan keahlian yang mereka miliki. Mereka berjiwa luhur,  ikhlas, dan berjuang penuh harapan, agar generasi mendatang negeri ini menuju arah yang lebih baik.

Pada buku “Lentera di Kegelapan” ini anda, para pembaca, akan memahami bahwa perjuangan membantu kaum jelata ini bukanlah jalan yang mulus lapang. Tidak hanya dari segi dana, namun kita menjadi sadar bahwa mengubah mental anak-anak yang selama ini didera kemiskinan, menjadikan mental mereka menjadi lebih baik, sungguh bukan pekerjaan yang ringan. Menumbuhkan motivasi diri  untuk mampu  berkembang bukan sesuatu yang mudah.  Ada banyak sekali lika-liku perjuangan, yang pahit dan manis. Ada banyak kegagalan, kekecewaan, namun mereka percaya selalu ada harapan.  Harapan mereka para pejuang kaum jelata ini tidaklah muluk-muluk, mereka sudah sangat bersyukur jika anak-anak itu mau hidup bersih, mau sekolah, tidak berbicara kasar, tidak mengemis, mau berbagi dan jujur. Setelah itu, mereka berharap agar ada di antara mereka yang mampu mengembangkan diri, punya motivasi kuat untuk maju, mampu berdiri sendiri dan mampu keluar dari jeratan kemiskinan untuk kemudian menolong sesamanya.

Mereka, para pejuang kaum papa, memberikan harapan, membantu mencari jalan terang, memberi “Lentera di Kegelapan”, untuk masa depan yang lebih baik bagi anak-anak miskin. Mereka, para pejuang kaum dhuafa ini percaya bahwa Allah yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang selalu mendampingi mereka, memberi petunjukNya. Seperti kata seorang sufi....”jalan menuju Tuhan itu sangat banyak, sebanyak nafas manusia, namun jalan yang paling dekat menuju Tuhan adalah dengan berbuat baik kepada sesama”.

Para pembaca yang budiman, selamat menikmati “Lentera di Kegelapan”


Jakarta, 15 Juni 2012

Salam,
Nugrahani Pudyo