Tentang Kata Pengantar (lagi)
Pengalaman
pertamaku membuat Kata Pengantar untuk buku temanku, Jonih Rahmat, yaitu
“Malaikat Cinta”, sungguh berkesan, apalagi buku yang diterbitkan Gramedia
tersebut Alhamdulillah…. Laris manis dan kabarnya saat ini sudah masuk ke
cetakan ketiga.
Rupa-rupanya,
hal ini juga mengilhami temanku Avicenia Darwis yang sedang membuat buku
berjudul “Lentera di Kegelapan” untuk memintaku membuat Kata Pengantar. Jadilah
aku mencoba menulis lagi Kata Pengantar. Alhamdulillah, buku “Lentera di
Kegelapan” ini sudah diterbitkan oleh Yayasan Ganesha 83 pada bulan Desember
2012 ini. Mudah2an buku ini juga dapat menjadi buku yang laris. Di bawah ini
aku copas tulisanku (Kata Pengantar) pada buku tersebut. Ada kata-kata
yang aku “bold” dimana
kata-kata tersebut tidak ada dalam buku “Lentera di Kegelapan” ( terhapus pada
saat editing).
Selain
kata-kata yang terhapus tersebut, kata pengantar yang aku tulis ini boleh
dibilang enggak ada koreksinya – seperti halnya kata pengantar untuk “Malaikat
Cinta” – sama persis bahasanya dengan yang aku kirim ke Jonih dan ke Avi.
KATA
PENGANTAR
“LENTERA DI KEGELAPAN”
yang tinggal di dalam selokan,
yang kalah di dalam pergulatan,
yang diledek oleh impian,
janganlah mereka ditinggalkan
………..
………….
Orang-orang miskin berbaris sepanjang sejarah,
bagai udara panas yang selalu ada,
bagai gerimis yang selalu membayang.
Orang-orang miskin mengangkat pisau-pisau
tertuju ke dada kita,
atau ke dada mereka sendiri.
O, kenangkanlah :
orang-orang miskin
juga berasal dari kemah Ibrahim
(Cuplikan sajak W.S Rendra, “Orang-orang Miskin”,
Yogyakarta, 4 Pebruari 1978- Potret Pembangunan dalam Puisi)
Orang-orang miskin kita jumpai
dimana-mana, di kota-kota besar, di kota-kota kecil, di desa-desa, dan menurut
Badan Pusat Statistik pada Januari 2012 jumlah orang miskin di Indonesia
tercatat sejumlah 27,8 juta jiwa. Kita mengetahui bahwa
dalam Undang-undang Dasar 1945, Pasal 34, mengatakan bahwa fakir miskin dan
anak-anak terlantar dipelihara oleh Negara. Kita juga faham bahwa
kemiskinan berhubungan erat dengan pendidikan. Menurut
data di akhir tahun 2011, lebih dari satu juta anak mengalami putus sekolah di
jenjang SD dan SMP. Jumlah tersebut tentu akan bertambah bila menggunakan data untuk jenjang
pendidikan yang lebih tinggi lagi seperti SMA/setingkat SMA dan perguruan
tinggi. Kita pun mengetahui
bahwa pada Undang-undang Dasar Negara kita, pasal 31, dinyatakan bahwa setiap warga negara
berhak mendapatkan pendidikan dan setiap warga negara
wajib mengikuti pendidikan dasar dan Pemerintah wajib membiayainya, dan sejak
tahun 2009, Undang-undang Dasar Negara kita sudah mengamanatkan bahwa minimal
20% dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara harus dialokasikan untuk bidang
pendidikan.
Saya tidak hendak membahas
mengenai angka kemiskinan dengan segala macam parameternya yang kerap
diperdebatkan para ahli di
media massa. Saya juga tak hendak menggugat Pemerintah atas tingginya angka
kemiskinan, tingginya angka putus sekolah, dan segala permasalahannya. Saya pun tidak ingin berdebat mengenai kemiskinan versus pendidikan. Angka di atas hanya suatu ilustrasi
untuk kata pengantar atas buku
yang ditulis oleh sahabat saya, Avicenia Darwis, yang menceritakan
pengalamannya, perjuangannya dalam mengelola Yayasan Miftahul Jannah (yang
berarti “kunci ke surga”), yang mengurus,
mengasuh, membina anak-anak yatim, anak-anak
kaum dhuafa, kaum fakir miskin dan terlantar di kota Bogor dan sekitarnya (sebagian dari mereka tidak mempunyai orang tua, atau hanya
memiliki ayah atau ibu saja) dimana orang tua mereka umumnya adalah para buruh
lepas, tukang becak, marbot (penjaga) mesjid, pembantu rumah tangga, satpam,
pedagang kecil keliling, tukang kue, dan sebagainya. Avi menyebut mereka
sebagai “anak-anak masa depan”, anak-anak yang sedang menjemput masa depan yang
lebih baik. Anak-anakyang di asuh Avi semuanya berada dalam deraan kemiskinan.
Tak hanya miskin dalam arti fisik, namun mereka juga miskin dalam
pendidikan, miskin budi pekerti, miskin kehangatan kasih sayang dan miskin
motivasi untuk maju. Keadaan orangtua mereka lahyang menyebabkan demikian. Tak jarang di antara mereka ada
yang dipaksa orang tuanya, untuk menjadi pengemis, menjadi pedagang asongan di
jalan, di kereta, dan tidak mendapatkan pendidikan yang layak. Apa mau
dikata… Bukankah mereka harus tunduk pada orang tuanya. Bukankah
mereka tidak bisa memilih jalan hidup, tidak bisa memilih orang
tua. Tanpa adanya bantuan dari orang-orang lain, seperti Avi,
mereka sulit untuk keluar dari lingkaran kemiskinan yang melilitnya. Padahal mereka juga punya hak untuk hidup lebih
baik.
Pada harian Kompas, tanggal 11
Maret 2012, ada dua artikel yang menyentuh hati saya dan mengingatkan saya pada
perjuangan Avi, yaitu artikel dengan judul “Mereka Mencerdaskan
Kaum Jelata”, dan “Menularkan Idealisme Tangan di Atas”. Mereka itulah,
Fuady Munir dan Sri Tjendani dengan Yayasan Maleo (sekolah Terbuka Ibnu
Sina), Liana Christanty di Lontar Surabaya, dengan Sekolah Pelita Permai
(Yayasan Kasih Pengharapan), Euis Lisminarti Hapidin dengan Rumah Singgah Taman
Indira, Dik Doank dan teman-temannya di Komunitas Kreativitas Kandank Jurank
Doank. Tak ketinggalan Novelis Ahmad Fuadi yang mendirikan Sekolah (PAUD)
Komunitas 5 Menara. Juga sahabat saya Jonih Rahmat dengan Yayasan
Ar-Rahmah. Mereka itulah, yang mendedikasikan diri untuk ikut membangun
bangsa, ikhlas membantu kaum papa, merangkul anak-anak yang terpinggirkan,
mengajarkan anak-anak itu tentang berbagi, membangun wawasan,
kemampuan wiraswasta, dan tentang harga diri.
Demikian juga kisah perjuangan
Mary Zurbuchen (Kompas tanggal 8 Juni 2012, dengan judul “Menemukan Jarum
di Tumpukan Jerami”), yang mencari calon pemimpin bangsa dengan
memberikan beasiswa (The Indonesian International Education Foundation) kepada
kalangan rakyat miskin, kaum marginal, dari seluruh pelosok negeri
kita. Mary memahami kait-mengait antara rendahnya kualitas pembangunan
manusia dengan kemiskinan dan rendahnya tingkat partisipasi pendidikan, di
Indonesia. Dengan beasiswa tersebut Mary berharap dapat mengurangi
ketidaksetaraan akses pendidikan bagi kalangan masyarakat kelas bawah
yang selama ini terpapar pada kondisi serba kurang. Pada
gilirannya, kesempatan pendidikan ini, dipercaya, diharapkan akan dapat membawa
kebaikan bagi masyarakat dan dapat membentuk para pemimpin baru Indonesia
dengan visi masa depan yang hebat, yang punya rasa keadilan sosial,
kesadaran lingkungan dan memiliki kejujuran.
Mereka semua itu adalah sebagian dari masyarakat Indonesia yang
peduli pada kamu miskin, mereka adalah para
pejuang kaum papa, kaum dhuafa, kaum yang terpinggirkan, baik oleh Negara
maupun oleh masyarakat umum.
Coba
kita dengarkan lagi, lagunya Iwan Fals dan Alm. Frankie Sahilatua (musik Ian
Antono) berjudul “Orang-Orang Pinggiran” :
Orang pinggiran... ooaeyoo... Ada di trotoar... ooaeyoooo...
Ada di bis kota.... ooaeyoo... Ada di pabrik-pabrik... ooaeyoo...
Orang pinggiran... ooaeyoo... Di terik mentari... ooaeyoo....
di jalan becek... ooaeyo... Menyanyi dan menari... ooaeyo...
Lagunya nyanyian hati
Tarinya tarian jiwa
Seperti tangis bayi di malam hari
sepinya waktu kala sendiri
Sambil berbaring meraih mimpi
Menatap langit-langit tak peduli
Sebab esok pagi kembali
Orang pinggiran... ooaeyoo... Di dalam lingkaran... ooaeyoooo...
Berputar-putar.... ooaeyoo... Kembali ke pinggiran... ooaeyoo...
Orang pinggiran bukan pemalas
Orang pinggiran tidak mengeluh
Orang pinggiran terus melangkah
Mereka,
orang-orang pinggiran, kaum marjinal, kaum papa, kaum Dhuafa, apapun
julukannya, ada dimana-mana, di sekitar kita. Sebagian besar dari kita hanya bertanya dan
berdebat…… dimana peran Negara dalam membantu kaum fakir miskin ini padahal Undang-Undang Dasar Negara kita
mengamanatkan demikian. Dimana peran para Kepala Daerah yang saat kampanye berkoar-koar
soal pemberantasan kemiskinan. Sebagian besar dari kita hanya hidup untuk diri
sendiri dan kerabat dekat, dengan tidak memperhatikan kaum miskin
disekitarnya karena merasa itu bukanlah tanggungjawabnya. Sebagian besar
dari kita yang hidup berkecukupan, hanya memalingkan wajah saat melihat
anak-anak mengemis dan berkeliaran di jalanan. Tidak memberikan mereka uang di
jalanan adalah bagus - dan benar - karena
uang dapat menyebabkan mereka tetap hidup di jalanan, namun pernahkah kita
berpikir, apalagi bertindak, untuk membantu mereka agar tidak hidup di
jalanan ? Sebagian dari kita juga berpendapat bahwa janganlah kita memberikan
mereka ikan melainkan berikanlah mereka kail. Padahal… pernahkah kita memikirkan bagaimana
mereka, kaum miskin itu, mampu untuk memancing, mampu untuk menangkap ikan,
sementara mereka tak tahu cara menggunakan kail, tak punya cukup tenaga untuk
berjalan ke tempat dimana ada ikan, tidak tahu cara mencari dimana tempat yang
ada ikannya untuk dipancing. Sebagian besar dari kaum
miskin itu, tidak mampu keluar dari jerat kemiskinan. Mereka
harus dibantu,
harus diberdayakan ! Anak-anak kaum papa ini harus
dibantu agar mendapatkan kesetaraan setidaknya dalam hal pendidikan, lebih
bagus lagi bila mereka mendapatkan kesetaraan untuk kesehatan, dan harapan, dan
kasih sayang.
Para pejuang kaum papa ini, Avi dan teman-teman lainnya, tidak menunggu bantuan dari
Negara atau menunggu bantuan dari Kepala Daerah, yang entah kapan datangnya. Mereka menyadari bahwa
rantai birokrasi terlalu panjang untuk ditunggu hingga menyentuh kaum marjinal
itu. Mereka juga tidak menunggu hingga dana
mencukupi. Mereka bukan orang kaya raya. Mereka langsung terjunbegitu saja,
dengan dana sendiri dan bantuan teman-teman sekitarnya. Mereka berjuang
membantu kaum miskin ini bukan hanya dengan uang namun terlebih dengan hati, dengan
tenaga, dengan waktu
dan keahlian yang mereka miliki. Mereka berjiwa luhur, ikhlas, dan
berjuang penuh harapan, agar generasi mendatang negeri ini menuju arah yang
lebih baik.
Pada buku “Lentera di Kegelapan”
ini anda, para pembaca, akan memahami bahwa perjuangan membantu kaum jelata ini
bukanlah jalan yang mulus lapang. Tidak hanya dari segi dana, namun kita menjadi sadar bahwa
mengubah mental anak-anak yang selama ini
didera kemiskinan, menjadikan mental mereka menjadi lebih baik,
sungguh bukan pekerjaan yang ringan. Menumbuhkan motivasi
diri untuk mampu berkembang bukan sesuatu yang mudah. Ada
banyak sekali lika-liku perjuangan, yang pahit dan manis. Ada banyak kegagalan, kekecewaan, namun mereka
percaya selalu ada harapan. Harapan mereka para pejuang kaum jelata ini tidaklah
muluk-muluk, mereka sudah sangat bersyukur jika anak-anak itu mau hidup bersih,
mau sekolah, tidak berbicara kasar, tidak mengemis, mau berbagi dan jujur. Setelah itu, mereka berharap agar ada di antara
mereka yang mampu mengembangkan diri, punya motivasi kuat untuk maju, mampu
berdiri sendiri dan mampu keluar dari jeratan kemiskinan untuk kemudian menolong
sesamanya.
Mereka, para pejuang kaum papa,
memberikan harapan, membantu mencari jalan terang, memberi
“Lentera di Kegelapan”, untuk masa depan yang lebih baik bagi anak-anak miskin.
Mereka, para pejuang kaum dhuafa ini percaya bahwa Allah yang Maha Pengasih dan
Maha Penyayang selalu mendampingi mereka, memberi petunjukNya. Seperti kata
seorang sufi....”jalan menuju Tuhan itu sangat banyak, sebanyak nafas manusia,
namun jalan yang paling dekat menuju Tuhan adalah dengan berbuat baik kepada
sesama”.
Para
pembaca yang budiman, selamat menikmati “Lentera di Kegelapan”
Jakarta,
15 Juni 2012
Salam,
Nugrahani
Pudyo