Rabu, 10 Desember 2008

Perjalananku

Jika anda membuka dan membaca “blog”ku ini maka berarti – akhirnya - aku berhasil juga punya blog sendiri. Alhamdulillah. Sejujurnya ini adalah blog ketiga yang pernah aku (coba) buat. Aku udah pernah mencoba buat blog (rasanya sih sejak 3-4 tahun yang lalu), tapi ya…. gak jadi-jadi. Penyebab utamanya, tentu saja adalah WAKTU. Kayaknya sih…. selagi aku masih bekerja sebagai “kuli” alias orang gajian, maka waktu akan selalu menjadi kendala utama. Udah belasan tahun aku menjadi bagian dari “angkatan 66” alias berangkat dari rumah jam 6 pagi dan sampai di rumah jam 6 sore. Akan tetapi dua – tiga tahun terakhir ini rasanya sangat jarang aku bisa sampai rumah jam 6 sore, lebih sering jam 7-8 malam. Setelah sampe di rumah, termasuk juga saat Sabtu-Minggu dan hari libur atau cuti, maka waktuku itu sudah berubah menjadi “waktu untuk dan lain-lain”. Hampir tak ada sisa waktu untuk menulis sesuatu, ataupun mengisi ‘blog’.

Aku jadi ingat surah “wal ashri”, demi masa atau demi waktu. Rasanya udah bertahun-tahun… “my time is not mine”…. Aku gak punya waktu untukku sendiri. Yah… mungkin terlalu berlebihan juga sih … kalo dibilang begitu, soalnya baik di kantor maupun di rumah toh aku (semestinya) tetap bisa punya waktu untuk diriku sendiri. Yang pasti kalo aku lagi tidur, atau lagi mandi, atau lagi makan, atau lagi sholat … itu adalah waktu untukku sendiri, kan ? Adalah suatu “kemewahan” rasanya… bila aku bisa bersantai di rumah sembari membaca buku atau sedikit menulis. Kadang ada juga sih, waktu di kantor (mencuri waktu jam kerja – ini termasuk korupsi juga ya… korupsi waktu -), meski sebentar, untuk sekedar menulis atau membaca sesuatu, yang bukan urusan kantor (membaca atau mengirim e-mail yang bukan urusan kerjaan, misalnya). Di kantor pun enggak selalu harus rapat (maklum, kami digaji ya.. memang untuk rapat dan pertemuan dan diskusi dan sebagainya) atau kerjaan rutin lainnya, juga enggak selalu di rumah itu musti ngurusin belanjaan, makanan apa hari ini, peer-nya anak2, dan berbagai hal kerumahtanggaan lainnya. Selalu ada waktu, meski makin lama rasanya makin sedikit, untuk diriku sendiri. Biasanya di kantor, pas jam makan siang, atau pas menunggu waktu magrib – ketimbang sholat magrib di jalan - sebelum pulang, aku sempatkan menulis sesuatu atau nge-browsing sesuatu, soalnya….. kalo di rumah susah deh cari waktu untuk melakukannya (menulis), karena selalu “bentrok” ama bangsanya… kepengen bangun agak siang, harus menghadiri undangan arisan dan undangan lain2nya, kepengen jalan kaki sembari cari bubur ayam, kepengen berenang, kepengen nonton film, kepengen baca buku yang baru dibeli, kepengen makan di luar supaya si bibik bisa libur dan sebagainya dan lain-lain. Begitulah, waktu berlalu dengan begitu cepat.

Kadang kepikiran juga sih, pengen juga punya perusahaan sendiri dimana kita bisa mengatur waktu kita sendiri, tidak tergantung jam kantor dan segudang tugas yang enggak ada habisnya, tapi ya… enggak semua orang bisa mendapatkan semua keinginannya, kan ? Sampai saat ini aku enggak atau belum punya pilihan lain yang lebih baik, ketimbang yang aku jalani saat ini. Ya sudahlah….. Rasanya enggak ada yang perlu dikeluhkan, ya….., kita nikmati saja semua yang bisa kita peroleh, harus kudu banyak2 bersyukur. Alangkah banyak nikmat yang telah kita terima. Alhamdulillah, segala puji bagiMu, ya Allah.

Aku menamakan blog-ku ini “perjalananku”. Aku menulis dalam bahasa Indonesia saja, bukan karena sok nasionalis atau apa, cuman karena bahasa Inggrisku aja yang parah. Aku gak mampu menulis, mengutarakan pikiran dengan baik, dengan bahasa Inggris. Kenapa kunamakan “perjalananku” ? Pada bagian “Catatan Perjalanan” bisa dibaca bahwa sebagian besar tulisanku adalah mengenai catatan atau pengalaman selama di perjalananku ke berbagai tempat di dalam dan di luar negeri. Selain itu, menurutku, “perjalanan” adalah juga berarti perjalanan hidup, tidak hanya bergerak secara badani (pindah dari suatu tempat ke tempat lain) namun juga berarti perjalanan pikiran atau rohani. Kepengennya sih blog-ku ini juga menjadi sarana bagiku untuk menulis segala pikiran, percikan permenungan, pengalaman dan sebagainya…. selama aku menjalani “perjalananku”, sebelum tiba di ujung akhir perjalanan manusia, yaitu kembali menghadapNya.

Aku sertakan juga foto2ku di blog-ku ini, yang sebagian besar adalah foto2 selama di perjalananku, di dalam dan di luar negeri. Tentu bisa dibilang “narsis” ya…. biarin aja deh. Lah, kapan lagi bisa pamer gitu, hahahahaha…..! Mungkin akan aku tambahkan foto2 perjalanan ini sedikit demi sedikit karena enggak semua foto udah aku transfer ke format yang lebih kecil, supaya muat banyak (aku gak tau berapa sih kapasitas blog gratisan kayak gini ? mestinya sih enggak banyak2 amat, ya !). Aku kepengen juga meng-scan foto2 lama, maksudku saat belum ada kamera digital. Kayaknya usaha digitalisasi itu perlu dilakukan sebelum foto2 lama itu hilang atau rusak, cuman belum sempat aja. Kalo memperhatikan foto perjalananku dari tahun ke tahun…. maka tampaklah “kemajuanku di segala bidang” yaitu di perut, di lengan, di paha, di dagu dan bagian2 tubuh lainnya.

Soal perjalanan ke luar negeri itu, please deh, jangan dibilang aku sering liburan ke luar negeri, jalan2 terus dibiayai negara atau dibiayai pihak lain dan tuduhan2 negatif lainnya. Pun dinas ke luar negeri itu paling2 cuman 1-2 kali aja per tahun. Selain yang terkait dengan haji dan umroh, aku tidak pernah ke luar negeri dengan biaya sendiri, semua dibiayai kantorku, dalam rangka perjalanan dinas, juga tidak pernah dikasih atau dititipin uang saku (seperti rame di koran-koran itu loh… pejabat negara dikasih uang saku sekian belas ribu dolar, dll). Suer deh …. Enggak pernah ! Selain memang aku bukan pejabat sih… ! Aku hanya menggunakan uang saku resmi yang dari kantor, yang jumlahnya enggak terlalu besar meski juga enggak terlalu kecil sih. Cukupan aja. Kalo aku berfoto di tempat2 yang menarik tentu saja bukan berarti aku enggak kerja (lagian apa bagusnya coba… . berfoto di ruang rapat atau di ruang seminar ?) melainkan aku memang mencari waktu untuk juga mengunjungi tempat2 menarik. Kan rugi banget jika kita berkunjung ke suatu negara, sembari Cuma tau bandara, kantor dan hotel saja ! Sebagai contoh, jika aku musti rapat (misalnya technical audit) hari Senin-Jum’at di Houston, maka aku berangkat dari Jakarta hari Jum’at sore/malam, mampir di San Fransisco atau LA pada Sabtu-Minggu, keliling kota, hari Minggu sore baru terbang ke Houston. Selama di Houston maka rapat biasanya selesai jam 3-4 sore dan hari Jum’at hanya sampai jam 11 siang, maka sisa waktu (sampai malam) bisa kita manfaatkan untuk jalan2 sekitar Houston, gitu ! Atau contoh lainnya, sewaktu aku ke Wina, yang adalah di tengah Eropa, sementara waktu/jadual di dalam ruangan adalah ‘full’ dari jam 8.30 sampai jam 5 sore (yang tentu aku taati dengan sungguh2), maka terpaksa aku mengambil cuti, 3 hari kerja, sehingga selain Wina, bisalah aku mengunjungi Salzburg, Amsterdam, Praha, Budapest. Kota2 itu (selain Amsterdam) bisa dicapai dengan kereta api atau bis dengan waktu sekitar 3-4 jam (dari Wina) dan ongkosnya masih bisa kita capai meski dengan mengirit uang saku (dan cari hotel yang gak mahal dan bila memungkinkan kita nginap di rumah teman, gimanalah caranya supaya bisa lebih irit ….). Sayang banget kan… udah segitu dekatnya, enggak menyempatkan mampir. Tidak membeli barang2 mahal (branded / merek ternama) tidaklah merisaukan hatiku, aku lebih suka jalan2nya, bukan (hanya) belanja. Begitulah ceritanya. Aku selalu sungguh2 menjalankan tugas (negara) dan juga sembari mencari kesempatan untuk menjelajahi tempat2 menarik di suatu daerah/negara (kata temanku aku ini sungguh ‘the real explorationist’, eskplorasionis sejati, termasuk golongan para penjelajah… ) dan aku sungguh merasa beruntung berkesempatan mengunjungi negara lain (dengan biaya negara, pula), menikmati keindahan suatu daerah… ciptaan manusia ataupun ciptaan Allah. Alhamdulillah.

Pada bagian “Catatan Perjalanan” aku sertakan tulisan2ku yang sudah pernah dimuat di milis “mimbar-list” namun beberapa sudah aku perbaiki (ditambahkurangkan) sehingga bahasanya jadi sedikit berbeda, namun isinya, topiknya tetap sama. “Mimbar-list” ini adalah suatu milis yang diasuh oleh seseorang bernama Mimbar Bambang Saputro, geologist, alumni UPN, yang bekerja (sebagian besar karirnya) sebagai ‘mudlogger" di perusahaan manca negara (asing) yang mengurus pemboran sumur migas. Beliau ini kayaknya aktifitas utamanya adalah menulis, yang kebetulan saja hobinya kerja di pemboran. Aku lupa lagi persisnya gimana tapi yang jelas secara tidak sengaja aku masuk ke milis tersebut. Menyenangkan bisa membaca berbagai tulisan dari teman2 yang ikutan mimbar-list itu (kayaknya sebagian besar berlatar belakang geologi/petroleum engineer, dan sebagian besar aku tidak ‘kenal muka’ hanya kenal tulisan2nya saja), yang tulisan2nya segar, enak dibaca dan tidak berhubungan dengan kerjaanku (atau kerjaan kami) sehari-hari. Nah, gara2 sering membaca itulah maka aku jadi pengen ikutan menulis dan akhirnya memberanikan diri mengirim tulisan2 ke ‘mimbar-list’. Tentu saja sumbangan tulisanku cuman sedikit saja, barusan kuhitung ada 23 tulisan, untuk kurun waktu sekitar 4 tahun. Tentu dengan jumlah itu, enggak bisa dibilang produktif (dan ada sekitar jumlah yang sama, masih berupa “draft” tulisan, belum jadi atau baru seperempat jadi, di komputerku). Yah, susah memang untuk jadi penulis yang produktif, setidaknya itulah yang aku rasakan. Apapun, itulah hasil tulisanku. Silakan dibaca.

Terima kasih untuk sobatku DjokBur alias Djoko Dwiono, yang kembali “memancingku” untuk membuat blog. Dulu seorang sahabatku, Helmi Mahara, sempat juga membantuku membuat blog yang kemudian gak jadi gara2 gak pernah kuisi selain sedikit itu. Terima kasih ya.. Helmi dan Djokbur, juga teman2 lain, yang mendorongku untuk punya blog pribadi seperti ini. Terima kasih juga untuk Ocep dan Ujay yang membantuku membuat ‘blog’ ini. Paling banyak terima kasih adalah kepada mas Mimbar yang Bambang Saputro itu, yang membuat aku jadi suka menulis. Meski udah punya ‘blog’ aku tetap berniat untuk mengirim tulisan ke ‘mimbar-list’ sebelum memasukkannya ke ‘blog’ pribadi ini, kecuali tentu tulisan2 harian/mingguan untuk sekedar meng-update isi blog.

Aku enggak bisa janji untuk mengisi, meng-update blog ini setiap hari. Mudah2an sih setidaknya seminggu sekali ada tulisan yang aku masukkan di sini. Ya.. kalo enggak diisi… buat apa toh punya blog. Eh.. ada juga sih gunanya…. Setidaknya untuk “kenangan” saat kita tua nanti. Kebayang gak, saat aku udah jadi nenek2 nanti, aku bisa membuka blog-ku ini (atau setidaknya meminta cucuku untuk membukanya) dan aku bisa melihat lagi… bagaimana perjalanan pikiranku di masa lalu dan mereka (cucu2ku itu) bisa juga membaca perjalanan neneknya, buah pikirannya (selagi masih belum jadi nenek2). Kepengennya sih aku tetap bisa menulis, mengutarakan pikiran, perasaan, renungan, pengalaman atau apa sajalah… ke dalam blog ini, sampai aku tua nanti, sampai gak sanggup menulis lagi. Mudah2an Allah berkenan memberiku kesehatan sehingga sampai tua nanti aku bisa tetap menulis dan menikmati hidup, menikmati kebersamaan dan kebahagiaan bersama keluargaku, cucu2ku. Amin.


Jakarta, 26 November 2008
Salam,
Nuning

Jumat, 05 Desember 2008

Tentang New Orleans –Seribu Topan Badai….. Jilid-1

Topan (hurricane) Gustav menghantam daratan Amerika yang menghadap ke teluk Meksiko dan kemudian menyerbu daratan Kuba (kota Havana dan sekitarnya), juga negera miskin Haiti, pada bulan lalu. Setelah itu si Hana mengganas yang syukurlah tidak terlalu lama karena dia berubah menjadi siklon tropis saja. Beberapa hari yang lalu giliran si Ike menghajar Houston (Galvestone), Miami (Florida) dan daerah lainnya di teluk Meksiko.

Aku sungguh enggak tau …. siapa sih yang berwenang menamakan topan badai atau hurricane itu dan kenapa umumnya dinamakan dengan nama perempuan (karena cewek susah ditebak perilakunya seperti juga topan ?). Entah kenapa tahun ini topan2 yang diberi nama laki2 yang mengganas : Gustav dan Ike (kayaknya Ike ini nama laki2 deh, karena presiden US yang dulu, namanya Eisenhower, kalo gak salah dipanggil Ike, tapi gak tau lah, yang pasti di Indonesia Ikke Nurjanah itu berjenis perempuan). Mungkin kali ini gilirannya laki-laki ya.. yang mengganas atau jangan2 itu cara “mereka” memprotes karena dikasih nama laki2 ?

Kota Galveston, yang kemarin dihantam Ike, pernah aku kunjungi tahun lalu (kunjungan resmiku saat itu adalah ke Houston). Kota kecil yang hanya sekitar 50-60 menit dari Houston ini adalah kota yang tenang dan bersih, dan di pinggir pantainya kabarnya ada banyak rumah peristirahatan orang2 kaya dari Houston. Berikut aku kirimkan foto pantai Galvestone saat aku berkunjung ke sana. Pantainya sih sebetulnya biasa aja, maksudku lebih cantik pantai2 di Bali (banyak lah.. pantai di Indonesia yang lebih bagus dari Galvestone) namun dibandingkan dengan Houston yang “Kota Besar” lumayanlah jalan2 ke Galvestone untuk weekend.

Melihat tayangan di tivi… terbayang betapa dasyat kehancuran yang disebabkan oleh si Ike itu (sayangnya aku gak punya foto2 di kota Galvestone, karena saat itu hanya melihat-lihat saja keliling kota, tujuan utamanya adalah pantainya, jadi enggak bisa membandingkannya). Bulan lalu kami menerima undangan dari Chevron (PT. CPI), salah satu oil company yang punya wilayah di Sumatera Tengah/ Riau, untuk menghadiri undangan workshop “reservoir characterization” di Galvestone dan kami berencana mengirim 2 orang staf. Undangan sudah dijawab dan sedang diurus segala sesuatunya ketika si Ike berulah duluan, menghancurkan “convention center” tempat workshop sedianya akan berlangsung. Awal minggu ini kami mendapat surat resmi tentang pembatalan workshop tersebut.

Selalu sedih dan prihatin bila mendengar (apalagi menyaksikan) suatu musibah, terutama akibat bencana alam. Aku gak bisa membayangkan betapa traumanya masyarakat di New Orleans saat Gustav, Hana dan Ike melanda teluk Meksiko dan sekitarnya. Kota New Orleans adalah kota yang terparah dihantam badai Katrina pada tahun 2005 tahun yang lalu. Ingatanku pun melayang, teringat kembali pada kunjunganku ke New Orleans bulan Oktober tahun 2006 yang lalu.

Bila Galvestone dan Houston ada di Negara Bagian Texas maka New Orleans adalah ibukota Negara Bagian Louisiana, Amerika Serikat, kota di pinggir sungai Missisippi dan menghadap teluk Meksiko. Oktober 2006 itu adalah kunjunganku yang kedua kalinya ke New Orleans. Kunjungan pertamaku adalah tahun 1992 dimana saat itu aku ikut konvensi SEG (Society of Exploration Geophysicists) dan sekalian kursus (pre & post convention courses), selama dua minggu. Kunjungan yang kedua tahun 2006 ini cuman seminggu aja, dalam rangka SEG juga, yang diselenggarakan di gedung yang sama juga (New Orleans Convention Center), namun kali ini enggak cuman jadi peserta SEG melainkan juga jadi salah satu presenter / pembawa makalah. Kedua kunjunganku tersebut terjadi di bulan Oktober. New Orleans sejuk-hangat saat Oktober, nyaman, tak terlalu panas namun juga tak terlalu dingin. Cuma pakai selembar jaket tipis di malam hari pun oke.

New Orleans Convention Center terletak di distrik bisnis, dekat “french quarter” yang syukurnya tidak terkena hantaman Katrina. Sehari sebelum pulang ke Indonesia, saya dan beberapa teman memutuskan untuk ikut “city tour” dan memilih tur yang juga mencakup daerah2 yang paling parah terkena bencana Katrina. Semula aku heran… kok bencana dijadikan bagian dari “city tour”, kok dijadikan tontonan, dijadiin duit, tapi ya…. biarin aja deh… setidaknya para pemandu tur itu tetap bekerja (dia juga korban, katanya, rumahnya hancur) dan kami mendapatkan gambaran betapa ganasnya hurricane alias si topan badai itu dan juga tau berbagai upaya perbaikan kota pasca bencana.

Badai Katrina yang meluluhlantakkan New Orleans telah mengubah sebagian besar wajah kota New Orleans. Meski sudah setahun berlalu beberapa bagian kota ternyata masih belum direhabilitasi. Ternyata, di negara semaju Amrik ini pun rehabilitasi kota pasca bencana alam pun tidak berjalan mulus … konon pula di tanah air kita, ya ! Warga kota New Orleans banyak yang marah dan kecewa kepada Bush (lagian siapa sih yang enggak kecewa ama si “semak2” ini yeee ??) karena dianggap mengabaikan perbaikan kota New Orleans dan lebih mementingkan perang dengan Irak. Sedihnya, bagian terbesar dari kota yang hancur adalah daerah hunian orang2 kulit hitam.

Selain rumah-rumah penduduk, banyak fasilitas umum yang ikutan hancur. Superdome (gelanggang olahraga berbentuk lingkaran) dan Universitas New Orleans adalah sebagian dari bangunan2 besar yang hancur oleh si Katrina. Saat kami lewati (dengan mobil tur) kami saksikan bangunan2 tersebut sedang diperbaiki dan katanya sebentar lagi dapat digunakan lagi. Refinery (pengolahan) minyak Murphy Oil di Teluk Meksiko di pinggir pantai New Orleans katanya juga rusak namun saat ini sudah dapat berproduksi kembali. Yang mungkin perlu dicontoh adalah upaya pembangunan kembali rumah warga, atas biaya donatur baik perorangan atau lembaga / yayasan. Nama para sponsor tersebut terpampang pada rumah yang telah diperbaiki. Rumah2 baru untuk korban bencana Katrina ini mirip dengan rumah2 real estate kelas menengah di tanah air kita. Berikut aku lampirkan foto2 bangunan yang hancur dan rumah2 yang baru saja selesai dibangun, untuk para korban.



Menyaksikan kota New Orleans yang hancur (belum direhabilitasi) rasanya seperti menyaksikan rumah2 akibat gempa di tanah air kita. Korban jiwa akibat ulah Katrina adalah sekitar 5000-6000 orang, gak beda jauh dengan jumlah korban jiwa akibat Gempa Yogya (aku cuma melihat keadaan Yogya dan sekitarnya setelah gempa, di teve dan di koran / majalah, serta ceritanya mas Yusuf Iskandar di milis “mimbar-list”, aku belum pernah menyaksikan dan mengalami gempa, secara langsung). Tentu aja jumlah korban Katrina ini masih kalah jaaauhhhh dibandingkan korban gempa dan tsunami di Aceh dan Sumatera Utara, akhir tahun 2004 yang lalu, yang mencapai lebih dari 150 ribu orang. Kehancuran dan luas area yang rusak akibat tsunami Aceh juga sangat …..sangat luar biasa…… dibandingkan akibat si Katrina. Aku menulis hal korban gempa dan tsunami Aceh ini di buku “catatan kesan-kesan” dari peserta tur. Tapi ya… mo korban berapapun, kehancuran bagaimanapun, tetap aja (pasti) menyedihkan.

Agak sulit bagiku membayangkan bagaimana si Topan Badai bisa menimbulkan kerusakan separah itu. Bagaimana mungkin… air yang begitu lembut…. Seketika bisa menjadi penghancur yang begitu dasyat ? Beberapa saat setelah terjangan tsunami pada Desember 2004 itu, kamera tivi menayangkan lautan dari pantai Aceh… yang airnya tampak begitu tenang… begitu lembut dan indah berkilau ditimpa cahaya matahari, padahal.. kemarin.. air yang sama.. telah menghancurkan segala, merobohkan semua, membunuh begitu banyak manusia.

Indonesia agak jarang terkena topan/badai/hurricane/storm ..… karena posisinya yang melintang barat-timur di sekitar wilayah khatulistiwa sehingga tekanan udara dan temperaturnya relative tetap/stabil, namun sering terkena gempa (dan tsunami) dan gunung meletus, karena berada di lokasi tumbukan antar lempeng serta jalur “ring of fire”. Boleh dibilang kita ini “sleeping with the earthquakes”. Bilapun topan terjadi umumnya berupa badai (siklon) tropis yang menyebabkan gelombang yang tinggi, namun tidak banyak atau jarang mencapai daratan. Daratan Amerika yang luas membentang itu di bagian tengahnya sering terkena “storm” alias angin putting beliung sedangkan bagian selatan yang menghadap Teluk Meksiko sering dilanda terjangan topan badai, dan daratan yang di bagian barat (California) juga rawan terhadap gempa.

Aku pernah menonton film tentang angin puting beliung atau angin yang berputar. Katanya, kekuatan putaran angin itu yang bertingkat-tingkat, mulai dari satu sampe lima (seperti juga kekuatan gempa yang pake ukuran skala Richter atau Mercalli) dan yang paling dasyat kekuatannya, berskala lima, disebut ‘finger of god’ atawa “jari-jari Tuhan”. Pada film itu … terlihat kerusakan yang ditimbulkan pada daerah yang dilewatinya dimana rumah2 terbang… sapi2 terbang…. mobil2 ikutan terbang terikut oleh gerakan angin yang dasyat itu ! Tapi si Katrina, Gustav, Hana, Ike, bukanlah storm (angin) melainkan badai atau topan atau hurricane… yaitu air … yang bergerak dari laut dengan kekuatan (angin) yang dasyat, sembari berputar dan menyapu daratan… menghancurkan segala…. ! Pasti beda dengan gerakan tsunami… yang juga pergerakan air dengan kecepatan luar biasa (kecepatan yang setara dengan kecepatan pesaawat jet, yaitu sampai 800 km/jam), menerjang daratan kemudian kembali lagi ke lautan, dengan gerakan melingkar, sembari menyeret segala yang menghalangi gerakannya.

Sampai saat ini, kita belum bisa memprediksi kapan tepatnya dan dimana persisnya akan terjadi gempa. Tidak selalu gempa menimbulkan tsunami, hanya diketahui, apabila pusat gempanya dangkal (kedalamannya kurang dari 30 kilometer), gempanya cukup kuat (lebih dari 6.5 pada Skala Richter), dan arah gerakan patahan pada jalur gempa itu menimbulkan sudut tertentu, maka kemungkinan besar gempa tersebut akan diikuti oleh tsunami, yang adalah pergerakan kolom air laut akibat gempa. Beberapa daerah seperti di pantai Sumatera Barat katanya telah dipasangi alat pendeteksi tsunami.

Berbeda dengan gempa yang sulit diprediksi, mitigasi bencana alam topan dan angin puting beliung sudah lebih canggih. Maklum, parameternya relatif lebih mudah diukur seperti kecepatan angin, tekanan udara, dsb.nya, apalagi sudah ada satelit, sehingga sudah bisa diperkirakan kemana arah si topan akan bergerak, berapa kecepatannya, daerah mana yang akan dilanda, dan korban jiwa pun bisa minimal. Meskipun demikian pada tahun 2005 itu, semula diperkirakan si Katrina akan menghajar Houston sehingga banyak penduduk Houston yang mengungsi namun ternyata si Katrina memilih New Orleans. Yah, namanya juga perkiraan, meski peralatan canggih sekalipun tetap aja ada kemungkinan meleset. Seperti diketahui Jepang dan Amerika Serikat adalah negara2 dengan mitigasi bencana alam yang canggih. Katanya, peralatan meteorologi di pulau utama di jepang itu, yang luasnya gak lebih dari pulau Jawa, jumlahnya jauh lebih banyak (lima kali lipat) dibandingkan dengan peralatan serupa di seluruh Indonesia. Makanya prakiraan cuaca di Jepang dan Amerika bisa lebih detil dan lebih akurat.

Tentu saja tidak cuman korban Katrina yang sempat saya kunjungi selama di New Orleans, masih ada French Quarter yang cantik, café Du Monde dan french market, Bourbon Street, River Walk di pinggir Sungai Missisipi dan… festival Mardi Grass. Nanti akan aku ceritakan pada jilid kedua Tentang New Orleans.


Jakarta, 26 September 2008
Salam,
Nuning


Pernah dimuat :
From: mimbar-list@yahoogroups.com [mailto:mimbar-list@yahoogroups.com] On Behalf Of Nugrahani
Sent: 24 September 2008 16:12
To: Mimbar Saputro; mimbar list
Subject: RE: [mimbar-list] tentang New Orleans

Tentang Garuda, nih !

Akhir Juni 2008 yang lalu kami sekeluarga (aku, suami dan dua anak), berumroh. Ini adalah perjalanan berumroh sekeluarga yang kedua kalinya (yang pertama tahun 2005 yl), setelah kami (tanpa anak2) berhaji tahun 2003/2004.

Pada hari "H" di akhir bulan Juni yang panas, dengan mengucap bismillah, berangkatlah kami berempat ke bandara. Seperti biasa, kami ke terminal 2 bandara Sukarno Hatta dan direncanakan berangkat menggunakan Garuda sekitar jam 1 siang. Kami berangkat dari rumah sekitar jam 10.30 mengingat jarak rumah kami yang satu propinsi (sama2 Provinsi Banten) dengan bandara internasional itu, yang memakan waktu sekitar 1 jam – 1,5 jam.

Sekitar jam 11-an, belum jauh meninggalkan rumah, kami mendapat telpon dari Agen Perjalanan Umroh, yang mengabarkan bahwa Garuda akan "delay" alias ditunda keberangkatannya menjadi jam 5 sore. Kami memutuskan pulang lagi aja ke rumah dan makan siang dulu (padahal pembantu udah kadung gak masak, wong rencananya kami kan enggak makan siang di rumah, terpaksa menu darurat dihidangkan : nasi telur goreng), dan seusai sholat Zuhur (dan Ashar) kami berangkat lagi ke bandara. Sesampainya di bandara, sekitar jam 4 sore, kami bertemu dengan petugas dari Agen Perjalanan dan diurusin segala sesuatunya… koper masuk ke bagasi, dll, dan diperolehlah kabar bahwa kami siap untuk berangkat.

Sore itu … ada sedikit kehebohan di bandara, terlihat ada banyak kamera dengan logo stasiun teve swasta bersliweran, dan aku dengar kabar bahwa ada artis yang ikutan umroh. Kami ternyata berumroh menggunakan pesawat yang sama dengan rombongan Dedi Mizwar beserta tim "Para Pencari Tuhan". Jadi ada tuh si Udin Hansip, Bang Asrul, 3 cowok pemeran utama PPT itu (aku lupa lagi namanya : Chelsea, Juki, trus siapa lagi ya ?) dan tentu Saskia Adya Mecca. Dan ….. Ternyata juga ada Sarah Azhari dan Luna Maya, yang enggak tau pake agen perjalanan mana, juga barengan umroh sama kami. Pantes heboh !

Mendekati jam 5 sore, kami tak kunjung mendapat kabar kapan "boarding”, yang datang hanya berita bahwa Garuda ditunda lagi terbangnya, menjadi jam 7 malam sembari kami dibagikan voucher makanan. Ya sudahlah (katanya kudu berlatih sabar) kami menikmati makanan saja. Anak2 memilih Mc.D yang enggak jauh dari tempat kami menunggu. Setelah makan kami memutuskan menunggu di "dalam" saja … mencari mushola untuk sholat magrib … sembari mengharap sang Garuda bisa terbang jam 7 malam. Tunggu punya tunggu …. Sampai lewat jam 7 malam belum juga ada pengumuman kapan si burung besar itu terbang dan pula…. gak ada pengumuman penundaan di tivi monitor sehingga kami (bersama dengan puluhan calon penumpang lain) bertanya-tanya kepada petugas Garuda di ruang tunggu terminal, yang sayangnya… juga sama2 enggak tau kapan si Garuda bisa terbang.

Sekitar jam 8-an kami mendapat berita bahwa pesawat akan terbang jam 10 malam (beserta penjelasan bahwa si burung besi perlu perbaikan teknis dan mohon maaf dan sebagainya) serta kembali kami mendapatkan makanan. Kali ini bukan berbentuk voucher melainkan nasi kotak berisi dua ayam goreng "kentucky" plus satu bungkus nasi. Bener2 gak keruan deh rasanya … udah siang tadi cuman makan nasi telur, sore tadi makan Mc.D yang juga ayam… eh… ini makan malam juga nasi ayam ! Suamiku menghiburku dan anak2, katanya : sudahlah.. kita bayangkan aja tadi sore kita makan nasi ayam kampung goreng "Berkah" pak Rahmat yang di Melawai itu, dan malam ini kita makan nasi ayam goreng Nyonya Suharti, kan sama2 ayam ! Meski sudah "membayangkan" makanan enak itu, tetap aja aku enggak bisa menghabiskan dua potong ayam non kampung itu (ngomong2, kenapa dibilang "ayam negeri" ya… padahal itu kan dulunya "ayam luar negeri" ketika ayam kampung adalah satu2nya "ayam dalam negeri". Sekarang ini kan keduanya adalah produk lokal meski kemasan makanan ‘siap saji’ ini adalah luar negeri, cap kakek bule, kolonel, berjenggot putih. Mestinya lawannya ayam kampung adalah ‘ayam kota’ ya, bukan ayam negeri !). Ayam goreng tepung yang tidak kami makan itu (ada "sisa" 4 potong ayam plus dua bungkus nasi, dari kami ber-4) kemudian aku berikan kepada sekelompok OB /OG (office boys/office girls = petugas yang bersih2 bandara) yang menerima dengan senang hati dan berterima kasih. Tindakan kami itu ditiru oleh temen2 seperjalanan sehingga malam itu… dan kami lihat para petugas kebersihan bandara tampak makan malam dengan nikmat sekali : nasi plus ayam kota goreng tepung. Syukurlah.

Jam 10 malam kami mendapat berita lagi bahwa pesawat baru bisa berangkat sekitar jam 1 malam ! Seseorang berkomentar bahwa sebetulnya bila pesawat ditunda lebih dari 6 jam maka kami berhak untuk menginap di hotel atas tanggungan maskapai penerbangan. Yah… gimana mau komplain atau meminta voucher menginap, wong ditundanya enggak langsung 6 jam gitu melainkan dicicil : dari jam 1 siang ke jam 5 sore, kemudian jam 7 malam, kemudian jam 10 malam dan terakhir jam 1 malam. Mungkin ini taktik "mengulur waktu" dari Garuda ?

Ya, sudahlah, ketimbang menggerutu dan komplan-komplen…. kami putuskan istirahat aja di bandara. Koper kabin kami buka, kami keluarkan ke-4 sajadah panjang dan kami gelar di lantai sedangkan 4 kain ihram kami gunakan sebagai bantal (kami sudah diberitahu bahwa dari Jeddah kami akan ke Mekah dulu, umroh dulu, baru setelah itu ke Medinah, jadi pakaian ihram sudah siap di koper kecil yang dibawa ke kabin). Kami tiduran di lantai bandara, yang juga diikuti oleh teman2 sesama umroh lainnya. Lumayanlah, buat sekedar meluruskan badan. Kedua anakku malahan sempet kedengeran dengkurnya, sampai jam 1 dini hari, kami dibangunkan teman, untuk bersiap masuk pesawat. Akhirnya, terbanglah kami sekitar jam 1.40 dini hari, setelah tertunda lebih dari 12 jam ! Garuda… oh… Garuda … ! Yang lebih kasian adalah teman2 umroh yang udah nunggu di bandara sejak pagi (karena pesawat direncanakan berangkat jam 1 siang sedangkan mereka tinggal di luar kota Jakarta), sehingga boleh dibilang mereka menunggu selama 15-16 jam di bandara.

Alhamdulillah, perjalanan selama di tanah suci, Jeddah-Mekah-Medinah, berjalan lancar2 saja adanya dan yang penting niat kami berumroh, untuk men"charge" jiwa kami, sudah terlaksana. Seminggu di tanah suci, sungguh tak terasa lama.

Selesai perjalanan umroh, dari Medinah, kami kembali ke Jeddah untuk bersiap terbang (dengan Garuda juga tentu), kembali ke tanah air.

Bandara untuk umroh di Jeddah adalah bandara Internasional, yang berbeda dengan bandara untuk haji yang luas dan dengan atap unik berbentuk kemah itu. Bandara internasional Jeddah ini jauh lebih kecil dibandingkan dengan bandara haji. Memang penerbangan haji dengan penumpang lebih dari dua juta orang per tahun (lebih tepatnya selama dua bulan setiap tahun) itu memerlukan bandara yang khusus dan luas ketimbang penerbangan non haji.

Selain untuk haji dan umroh kayaknya enggak banyak deh orang berkunjung ke negara ini (sebagai turis ?). Bandara internasionalnya pun kecil saja. Lah.... ngapain juga ya… kita berkunjung ke tanah tandus berpasir dan berbatu itu, dengan suhu yang panas luar biasa di musim panas serta dingin luar biasa di musim dingin.... jika tidak "diwajibkan" oleh Allah ? (kadang kepikiran juga sih, kenapa ya Allah tidak menurunkan kewajiban berhaji di daerah yang nyaman udaranya dan dengan pemandangan alam yang indah, gitu ? Mengapa kita diwajibkan berhaji di daerah padang pasir gini, ya ?).

Ajaibnya, meski bagaimanapun "sengsara"nya tetap aja kita ingin kembali dan kembali lagi ke tanah suci. Tanah suci ; Masjidil Haram, Ka'bah, Masjid Nabawi, Raudah, .... selalu menimbulkan kerinduan di dalam hati, menimbulkan keindahan dan kebahagiaan yang susah diterangkan dalam kata-kata.

Sesampai di bandara Jeddah, koper2 yang akan masuk ke bagasi pesawat, diurus oleh petugas2 dari Agen Perjalanan umroh. Mereka mengurus "check-in" sementara kami berbaris masuk ke ruang tunggu bandara. Bila ada orang yang mengeluh tentang pelayanan di bandara Sukarno-Hatta maka dapat dipastikan orang yang bersangkutan akan berubah sikapnya bila sudah merasakan pelayanan di bandara Jeddah ini. Bisa dibilang orang2 arab ini "enggak suka melayani pelanggan" apalagi pake senyum segala. Mereka kelihatannya cuman sekedar melaksanakan tugas. Enggak pedulian. Tapi ya itu tadi... mo diapain juga wong kita niatnya beribadah !

Tanpa gembar-gembor tentang pelayanan "prima", tanpa "senyum dan sikap ramah tamah", tanpa iklan apapun, tanpa promo ini itu .... para "turis" tetap aja berbondong-bondong membanjiri tanah suci (belum terhitung yang bersedih... gara2 gak dapat jatah kuota haji, atau gak jadi umroh). Negara kita dengan berbagai cara sudah berusaha menggaet turis tapi tetap aja target kunjungan wisman sulit dicapai (Menteri Jero Wacik katanya kemana-mana mo naik SQ aja, gak naik Garuda ? Apakah karena Garuda dilarang terbang di Eropa sehingga jadi susah kalo menggaet turis dari Eropa ?). Arab Saudi tanpa promosi apapun, mengalami kesulitan menahan masuknya “turis”, yang datang berduyun-duyun ke negaranya, sehingga terpaksa harus membatasi pengunjung yang datang, menetapkan kuota per negara.

Mungkin ini adalah salah satu anugrah Allah kepada tanah arab, ya... dengan minyak bumi yang melimpah... dengan turis yang melimpah yang jumlahnya jauh melebihi jumlah penduduknya. Kayaknya tanpa kerjapun penduduk di jazirah ini bisa hidup layak. Berapa coba.. pemasukan negara Arab saudi hanya dari haji dan umroh saja ? Apalagi penduduknya enggak banyak. Orang Arab terkenal sangat memuliakan tamu (sebetulnya), tapi ya... mungkin tamunya kebanyakan. Lagipula para pekerja di bandara (atau dimanapun di tanah arab) umumnya bukanlah penduduk asli Arab Saudi, mereka adalah pekerja migran dari negara2 lain di sekitar Arab saudi. Jadi selama di negara itu jangan harapkan pelayanan dengan senyum manis, badan membungkuk memberi hormat, dan sikap yang selalu “siap menolong” para tamu/pelanggan, termasuk di bandara.

Menunggu dan menunggu adalah hal yang biasa di bandara Jeddah baik bandara internasional maupun bandara haji. Keliatannya enggak ada usaha2 supaya prosesnya lebih efisien, supaya lebih cepat melayani pelanggan sembari tetap senyum ramah, dsbnya. Gak banyak tersedia kursi di ruang tunggu bandara ... jadi kamipun menggelesot duduk di lantai. Pegel juga sih kalo berdiri sembari berjam-jam menunggu. Toko2 di bandarapun cuman sekali lewat sudah dilihat semua. Gak menarik. Setelah menunggu barang 2-3 jam, paspor dan tiket dibagikan, kamipun diminta masuk. Seperti dimanapun di wilayah Arab saudi, pintu masuk dipisahkan antara pintu laki2 dan pintu perempuan. Yang barisan perempuan melewati detektor yang dijaga oleh para petugas perempuan. Di dalam ruangan tertutup, seorang perempuan yang berseragam dan tidak berjilbab, (mungkin karena di ruangan itu cuman ada perempuan) menggerakkan detektor yang ada di tangannya ke tubuhku sembari mengobrol dengan koleganya. Enggak ngeliatin muka kita... boro2 senyum deh. Beberapa teman yang berjaket diminta membuka jaketnya, dengan kata2 perintah saja, tanpa senyum.

Lepas dari ruang pemeriksaan, aku mengambil tas kabin (yang sudah melewati detektor tas) dan bergabung lagi dengan suami dan anak2ku serta rombongan umroh lainnya, berbaris ke pintu imigrasi dan kemudian masuk ke ruang "boarding" (ruang tunggu masuk pesawat). Sama seperti di bagian luar, ruangan bagian dalam bandara ini juga biasa aja, beberapa bandara di Indonesia kayaknya lebih bagus deh, juga gak banyak toko dan restoran, gak keliatan ada “duty free” dengan tampilan meriah, gak seperti bandara internasional di negara lain yang pernah aku kunjungi.

Ketika menerima tiket/boarding pass untuk pulang ini, kami diberitahu bahwa tempat duduk di pesawat adalah "ngacak" sehingga sekeluarga enggak bisa duduk sederet. Mereka (petugas perjalanan umroh yang mengurus tiket) bilang bahwa mereka sudah berusaha untuk mengurutkan paspor dan tiket per keluarga, dibundel pake karet gelang, tapi oleh petugas (Garuda) setempat bundel itu diacak-acak lagi. Ya sudahlah.. kami pikir nanti ditukar aja di dalam pesawat. Naiklah kami ke dalam pesawat (untungnya penerbangan cuman ditunda sejam saja, kali ini).

Ternyata... satu rombongan umroh kami itu tempat duduknya diacak semuanya... gak ada satupun keluarga yang dapat tempat duduk sederet. Aku dan suami berbeda 3 nomer tempat duduk dan di deretan yang berseberangan, aku dan anak kami yang kecil berbeda 2 nomer dan dengan anak kami yang sulung malah berbeda 9 nomer tempat duduk ! Malahan ada keluarga dengan anak balita memperoleh tiga tempat duduk yang berjauhan ... keruan aja tuh anak menangis keras ketika ibu bapaknya berkeliling menukar tiket supaya bisa berdekatan. Hebohlah... semua orang saling tukar menukar tempat duduk. Ampun2 deh. Kok ya … ngurus tiket begitu aja enggak beres sih ...... enggak melihat umur anak2 yang pegang tiket itu. Masa' anak balita dapat tempat duduk yang berjauhan dengan ibunya ! Mbak pramugari Garuda di dalam pesawat tidak menolong sama sekali, malahan "memarahi" anakku yang bungsu ketika dia memanggil-manggil ibunya (katanya anak lelaki enggak boleh cengeng.. ! Enak aja dia marahin anak orang !). Kok ya enggak ada empatinya si mbak Garuda itu… melihat para penumpang sibuk berpindah tempat saling bertukar nomer tempat duduk supaya anggota keluarganya bisa duduk berdekatan, malah terkesan jengkel dan berharap semua penumpang segera duduk manis.

Setelah dua kali menukar 'boarding pass' aku berhasil duduk di sebelah anak bungsuku yang umurnya 10 tahun ini (tentu saja dia enggak merasa nyaman ketika tau bahwa tempat duduknya bersebelahan dengan orang lain yang tidak dikenalnya). Suamiku akhirnya mendapatkan tempat duduk persis di belakang kursi kami, pun setelah beberapa kali menukar boarding pass-nya. Anakku sulung katanya 6 kali bertukar tempat duduk (lebih tepatnya : 6 kali diminta menukar tempat duduknya oleh penumpang lain - yang diberikannya dengan suka hati – dia mah enggak masalah mo duduk dimanapun) dan akhirnya bisa duduk sederetan dengan bapaknya meski enggak bersebelahan. Tepat ketika pesawat akan 'take off' barulah kami berhenti bergerak. Rasanya lega karena hampir semua keluarga akhirnya bisa duduk berdekatan meski enggak bisa bersebelahan dan yang penting enggak terdengar suara anak2 yang memanggil ibunya atau menangis mencari ibunya. Anakku sulung yang remaja tujuh belas tahun itu malah bersyukur bisa duduk bersebelahan dengan cewek manis yang terpisah tempat duduk agak jauh dari orang tuanya. Kulirik si cewek itu, tampangnya mirip2 ama Cinta Laura yang ngomongnya.. akyuu.. akyuuu .. oh gashh… jakharta bechek ghak ada ojhek.... !

Pesawat kami mendarat dengan selamat di bandara Cengkareng pada pagi keesokan harinya, dan sembari berdiri di gang di dalam pesawat, menunggu keluar pesawat, kudengar sulungku itu berkata sembari senyum-senyum ama si cewek, bahwa dia tidur bersebelahan dengannya semalaman, bahwa mereka udah tidur sama2 (dan si 'Cinta Laura' berkerudung itu cuman membalas senyum2 aja, gak berkata apa2). Duh... jangan2 kami kudu buru2 ngelamar anak gadis, nih !

Yah, selesai sudah perjalanan umroh yang mengesankan ini. Alhamdulillah. Kami harus menabung lagi. Insya Allah, mudah2an kami kembali dapat berumroh bila tabungan sudah cukup. Amin.



Jakarta, 22 Agustus 2008
Salam,
Nuning

================================================================
Dimuat (sebagian) di :

-----Original Message-----
From: mimbar-list@yahoogroups.com [mailto:mimbar-list@yahoogroups.com] On Behalf Of Nugrahani Pudyo
Sent: 20 Agustus 2008 17:41
To: mimbar-list@yahoogroups.com; mimbar.saputro@inteq.com
Subject: [mimbar-list] tentang garuda

Tentang Garut

Sudah empat kali kami sekeluarga berkunjung ke Garut. Berkunjung ini berarti menginap di hotel, menjelajahi kotanya dan menimati makanannya. Kunjungan pertama hanya menginap semalam saja, dalam rangka perjalanan liburan ke Pangandaran dan Yogyakarta beberapa tahun yang lalu. Adalah salah satu temanku yang saat itu menyarankan agar kami mampir di Cipanas – Garut saja ketimbang di Lembang atau di kota Bandung yang selalu macet itu. Kunjungan ke-2, ke-3 dan ke-4 memang direncanakan : “ayo kita liburan di Garut”. Sebelum kunjungan tersebut aku mencari info dulu di internet dan juga dari teman2. Nah, inilah ceritaku tentang Garut dan sekitarnya. Kalo aku menyebutkan nama hotel ataupun restoran, aku harus bilang bahwa aku sama sekali enggak dibayar (oleh mereka) dan tidak bermaksud mempromosikannya. Kalo kebetulan ada yang jadi tertarik karenanya… ya.. syukur2 aja sih…. kan berarti aku ikut membantu meningkatkan citra pariwisata di dalam negeri.

Kabupaten Garut itu terletak di sebelah Timur-Tenggara Kabupaten Bandung dan tetangga lainnya adalah Kabupaten Tasikmalaya (di sebelah Timur dari Kab. Garut) dan Kabupaten Cianjur di sebelah Barat-Selatan Kabupaten Garut. Bandung-Garut itu hanya berjarak sekitar 65 km. Dari Jakarta sampai di ujung jalan tol Cipularang, langsung aja nyambung ke jalan lingkar luar Bandung (bila enggak mampir ke Bandung) dan hanya kurang dari satu jam lagi tambahan perjalanan, sampailah kami di Garut. Kalo dari rumah kami di Jakarta (eh… Pamulang itu Kabupaten Tangerang deng…, bukan Jakarta) berangkat sekitar jam 6 pagi, trus masuk jalan tol Bintaro-Pondok Indah trus nyambung jalan tol Cikampek - Cipularang maka sekitar jam 9-10 pagi udah sampe deh di Garut. Enggak jauh, kan !

Selama tahun 2007 nama Garut kerap terbaca di koran dan majalah nasional, bukan pariwisatanya melainkan Bupatinya, dengan kalimat-kalimat yang hampir sama atau senada : “Bupati Garut, dinonaktifkan, diduga keras melakukan tindak pidana korupsi”, dsbnya. Disebutkan juga bahwa uang milyaran rupiah itu, yang ditengarai, ditilepnya dari anggaran APBD sudah dibelikan beberapa rumah mewah serta beberapa mobil mewah termasuk mobil Kemiri .. eh … Camry… dan berbagai barang2 konsumtif lainnya. Memang itu baru dugaan, kasusnya baru sampai di pengadilan (dan banyak tuh terbaca di koran… kasus2 serupa, enggak Cuma Bupati Garut saja) namun aku sempat berucap heran : Ck… ck… ck….. kok enggak sabaran amat ya si Bupati itu, segitu kepengennya punya “banda” sampe2 Anggaran Pendapatan & Belanja Daerah pun digunakan untuk beli barang2 keperluan pribadi yang “hanya sekedar” rumah dan mobil. Norak banget ya ! Mungkin si Bupati perlu belajar banyak dari rakyatnya, misalnya pengusaha dodol Garut “picnis” yang terkenal itu, yang musti berpayah-payah bertahun-tahun… berakit-rakit ke hulu… sebelum mampu membeli rumah maupun mobil mewah idaman hati. Para pejabat itu mustinya kudu belajar bersabar dan menghilangkan keinginan untuk cepet2 (dibilang) kaya, mereka musti menghilangkan sifat seneng menerobos/mengambil jalan pintas. Lagian, kaya dari hasil korupsi, apa bagusnya coba ?

Ngomongin Garut memang selalu teringat dodol, penganan manis legit, berbahan dasar ketan, dengan bungkus warna warni. Garut is dodol. … and dodol is “picnic”. Julukan terkenal Garut lainnya (selain kota dodol) adalah “Switzerland van Java”. Aku belum pernah ke Swiss, cuma sekedar lihat pemandangan Swiss dari film dan foto2 di majalah, namun melihat pemandangan kota Garut yang dikelilingi gunung (Gunung Papandayan, Gunung Cikuray, Gunung Guntur, Gunung Karacak,… apa lagi ya…) dan banyak danau-danau, mungkin bener juga julukan “Switzerland van Java” itu, minus saljunya, tentu saja. Kekayaan alam selain pemandangan pegunungan dan danau adalah adanya sumber air panas, khususnya di daerah Cipanas, sedikit di luar kota Garut. Nama Cipanas mungkin berasal dari bahasa sunda yaitu “ci” (dari kata cai, yang berarti air) dan panas. Ada beberapa daerah di Jawa barat dan Banten dengan nama Cipanas. Aku gak tau, apakah di Cipanas Puncak ada juga sumber air panas, selain Istana Cipanas, pasar, serta mobil pribadi, bis dan angkot yang berduyun-duyun memenuhi jalanannya ? Di Gunung2 yang mengelilingi Kabupaten Garut dan Kabupaten Bandung ada beberapa sumber panas bumi yang dimanfaatkan sebagai Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (Geothermal) seperti Darajat dan Kamojang.

Ternyata kata Garut itu berasal dari nama orang, persisnya nama Gubernur Belanda jaman duluuuu yaitu Holke van Garut. Jadi kalo nanti kita ketemu orang Belanda yang bernama keluarga “van Garut”, maka itulah keturunan si penjajah yang namanya dijadikan nama kota Garut.

Cipanas - Garut terletak di kaki Gunung Guntur, hanya sekitar 1-2 km sebelah Barat Laut kota Garut (kalo kita dari arah Bandung maka Cipanas dicapai lebih dulu sebelum Garut kota). Ada banyak sekali hotel di Cipanas, baik yang berbintang, resort/bungalow, maupun kelas melati. Untuk amannya sebaiknya memang pesen tempat dulu (melalui telpon) sebelum datang karena saat musim liburan, hotel2 terutama yang bintang 3, fully booked. Untuk kelas Melati, kami senang nginap di Hotel Tirta Alam karena murah (cuman 150 ribu per malam), bersih, dan di kamar mandinya tersedia bak mandi besar dengan air panas yang nyaman dan terus menerus mengalir. Untuk kelas hotel berbintang /resort maka bungalow di Hotel Kampung Sumber Alam adalah favorit kami. Entah mengapa nama2 hotel di Garut banyak menggunakan kata-kata “alam”, gitu. Kami juga pernah nginap di Hotel Danau Daniza (danau di Daniza ini adalah danau buatan) dan juga sempat singgah di Hotel Resort Kampung Sampireun, tempat dimana sekumpulan bungalow (rumah2 mungil) di pinggir danau. Sejauh yang aku tau, Kampung Sampireun (dalam bahasa sunda, sampireun berarti mampir) adalah yang termahal dan musti dipesan 2 bulan sebelumnya karena cuma tersedia 19 bungalow. Mahal, terkesan eksklusif, menyendiri (enggak berkelompok seperti hotel2 lainnya) dan “menguasai” sebuah danau (asli) yang indah, tenang. Katanya banyak bule2 dan keturunan China yang nginap di situ. Hmm… ! Enggak heranlah kan mereka duitnya banyak.

Hotel Kampung Sumber Alam Cipanas (anakku sering menyebutnya Kampung Sumberdaya Alam, hehehehe…), terletak di kaki gunung Guntur, menyediakan cukup banyak kamar dengan berbagai kelas dan favorit kami adalah bungalow bertipe “yunior suite” seharga 900 ribu rupiah semalam. Bungalow kami tersebut memiliki dua kamar tidur (salah satunya di atas, di loteng), ruang tamu, ruang makan, kamar mandi (dengan bak mandi dan WC, tentu saja) serta – ini yang istimewa - ada kolam “yacuzi”, kolam rendam air hangat, di halaman belakang, yang dua krannya terus menerus mengalirkan air panas (panas beneran) dan dingin, ukurannya cukup lebar dan dalam sehingga nyaman untuk berendam air hangat-panas, sampai ke leher, untuk kami sekeluarga. Kami juga bisa memancing di sini, enggak perlu jauh2, cukup di teras bungalow saja karena bungalow2 ini berdiri di atas kolam dangkal dengan teratai putih, merah jambu, dan banyak ikannya (tau gak… bunga teratai itu mekar di pagi hari dan saat siang terik mereka menguncup lagi ?). Kayaknya ikan2 di situ sudah beradaptasi sehingga dapat berenang (iyalah…) di air yang hangat cenderung panas itu. Saat pagi dan menjelang malam maka tampak uap air mengepul dari air hangat di kolam dan “sungai” kecil di antara kolam dan bangunan.

Satu tips bila ingin memancing yaitu jangan menggunakan ‘pelet’ atau umpan yang diberikan (gratis) saat kita menyewa alat pancing ataupun pelet yang dibeli di toko, karena ikan2 di situ tampaknya udah bosan dengan makanan sejenis itu dan dengan kompak menolak untuk memakannya. Sampai seharian – dengan umpan itu - enggak bakalan dapat ikan seekorpun. Capek deeehhhh. Lebih baik beli aja umpan, yang dijual tersendiri di tempat pemancingan atau minta tolong pada OB / bell boy untuk membelinya. Asyiklah, memancing di teras bungalow dan meski kami bukan pemancing “profesional”, dalam 2-3 jam, bisalah terpancing 4 ikan mas yang cukup besar. Karena kami enggak begitu suka ikan (katanya sih bisa minta digoreng di situ) dan juga karena “enggak tega” maka ikan2 itu kami cemplungin lagi ke kolam setelah memeriksa luka di mulutnya - akibat mata pancing, bila tidak terlalu parah.

Hampir semua hotel besar di Cipanas ini punya kolam renang namun menurut kami, kolam renang di Kampung Sumber Alam ini yang paling nyaman, segar, hangatnya pas, enggak berbau belerang seperti di Ciater- Lembang. Bila terbiasa berenang di kolam yang penuh dengan kaporit sehingga mata menjadi merah, maka berenang di kolam hangat di sini terasa sungguh menyenangkan. Bila malas berenang maka berendam sajalah di jacuzi “pribadi” di belakang bungalow, juga menyenangkan. Mudah2an air di sana tetap terjaga kemurniannya sehingga bila kami berkunjung lagi, bisa kembali menikmatinya.

Di Garut enggak cuman ada dodol ! Sayangnya tidak banyak brosur pariwisata dan peta2 yang tersedia di hotel dan tidak banyak informasi pariwisata Garut di internet. Informasi kami peroleh melalui petugas hotel dan di jalan2 yang kami lalui menuju tempat pariwisata, pun kami mengandalkan peribahasa “malu bertanya sesat di jalan” (dan rajin bertanya malu di jalan ?) karena tak banyak papan petunjuk arah. Untungnya selama ini kami belum pernah “disesatkan”, setiap orang yang kami tanya selalu menunjukkan arah yang benar dan mereka ramah, murah senyum, khas Parahyangan (katanya Bimbo/Taufik Ismail, Tuhan itu menciptakan Parahyangan sembari tersenyum, sehingga alamnya indah dan orang2nya pun murah senyum). Kami mengunjungi Situ Cangkuang, Situ Bagendit (situ dalam bahasa sunda berarti danau), industri kulit, industri batik Garut, kawah Gunung Papandayan, Pamengpeuk dengan pantai2nya Sayang Heulang dan Santolo dan Kampung Naga. Berikut aku kirimkan juga cuplikan2 foto, dalam file terpisah (lihat attachment : Tentang Garut- Foto, dan dapat langsung dibuang saja bila tidak berkenan. ‘Size’nya, sekitar 860-an KB, enggak sampai 1 MB, sih). Kami mengambil banyak foto tentu, namun yang ditarok di situ cuman cuplikannya saja.

Situ Cangkuang tak jauh, sekitar 2-3 km ke arah Barat Laut, dari kota Garut (kalo dari Cipanas jalan ke Utara sedikit). Di tengah danau ada pulau (sebetulnya bukan pulau karena bagian daratannya tidak semua terpotong air, hanya dikelilingi air sehingga terasa seperti pulau), kami menyeberangi danau dengan rakit, dan di tengah pulau tersebut ada situs bersejarah, Candi Cangkuang, yang menurut catatan pada papan, berasal dari kerajaan Hindu (Galuh atau Siliwangi ?) pada abad ke-8 Masehi, ditemukan pada tahun 1966 dan dipugar pada tahun 1976. Di sebelah Candi, ada makam Eyang Mbah Dalem Arif Muhammad yang adalah salah satu penyebar agama Islam di Garut dan sekitarnya. Kelihatannya pra penyebar agama Islam di sini tidak serta merta menghancurkan candi2 yang adalah peninggalan kerajaan Budha ataupun Hindu. Selain Candi, di situ juga ada Kompleks Rumah Adat Kampung Pulo, yang terdiri dari 7 buah rumah (jumlah rumah enggak boleh ditambah, katanya), rumah panggung dari papan dan bilik (gedek) dengan warna kuning–putih. Semua rumah berbentuk dan berukuran sama, berwarna sama dan enggak tau kenapa musti berjumlah 7.

Situ Bagendit agak sedikit di luar kota Garut, ke arah Utara, mungkin sekitar 4-5 kilometer. Danau ini cukup luas, kata si tukang rakit, luasnya sekitar 150 ha. Rakit, seperti juga di Situ Cangkuang, dijalankan dengan menggunakan sepotong galah / bambu panjang, yang ditekan ke dasar danau dan kemudian di dorong. Suamiku sempat mencobanya : “berat juga”, katanya. Ada banyak rakit tersedia dan uniknya… ada satu-dua rakit yang diparkir di tengah danau dan dijadikan warung terapung, jadi kita dapat berakit mengelilingi danau dan mampir di warung terdekat, makan/minum di sana. Anakku memesan pop mie dan minum teh botol di warung terapung itu. Saat aku masih esde, di buku “Bahasaku” tercantum cerita tentang Legenda Situ Bagendit dan si Mang tukang perahu dengan senang hati menceritakannya kepada kami : Alkisah, jaman dahulu kala, di kampung ini hiduplah seorang nenek tua yang kaya raya namun terkenal pelit. Pada suatu hari datanglah Abah Baged, yang sebetulnya adalah orang sakti namun menyamar sebagai orang sakit dan miskin, yang minta sedekah pada si pelit Nyi Endit. Tentu aja enggak dikasih, bahkan setetes air minumpun enggak dikasih ! Karena jengkel, si Abah Baged bilang bahwa karena dia enggak dikasih air minum setetespun maka dia akan kasih air yang banyak pada si Nyi Endit dan kemudian si Abah menancapkan tongkatnya ke tanah di dekat rumahnya Nyi Endit. Nyi Endit kemudian mencabut tongkat itu dan dari bekas cabutan tongkat keluarlah air… air…. dan air.. yang terus mengalir… membanjiri hartanya si Nyi Endit (rumah, perabotan, emas permata, sawah. ladang, ternak dan sebagainya). Si Nyi Endit itu tetap tidak mau meninggalkan harta bendanya, tidak mau mengungsi, sehingga akhirnya tenggelam bersama seluruh harta bendanya. Jadilah danau yang kemudian dinamai Situ Baged- Endit, gitu deh ceritanya !

Kawah Gunung Papandayan, sebelah Barat Daya kota Garut (kalo dari Cipanas ke arah Selatan) dapat dicapai dengan bermobil sampai ke dekat kawah dan kemudian dilanjutkan dengan berjalan kaki menelusuri puncak gunung hingga mencapai bibir kawah. Ada beberapa kawah namun kami hanya mencapai satu kawah saja. Bau belerang terasa begitu kami tiba di puncak. Tampak sisa2 letusan gunung Papandayan tahun 2002 (??) yang lalu. Bagus sekali pemandangan di sekitar kawah ini. Terkadang uap putih menyembul dari lubang kawah. Kami enggak berani terlalu dekat bibir kawah karena kuatir tau2 keluar gas beracun seperti yang belum lama terjadi di kawah Gunung Salak (dan menyebabkan kematian 2 orang pelajar). Di Gunung Berapi manapun memang musti hati2, jangan nekat, dan sebaiknya tidak mencapai kawah pada saat hari gelap.

Di Kota Garut, tempat yang bisa dikunjungi adalah pusat industri rakyat seperti industri kerajinan kulit, industri batik Garutan dan tentu industri dodol Garut. Di sentra industri kulit (sori, aku lupa nama daerahnya apa), kami membeli 3 jaket kulit, dua langsung dipilih dari yang terpajang di toko sedangkan untukku musti dipesan dulu karena enggak ada yang ukurannya pas dengan badanku. Maklumlah, enggak standard. Jaket kulit van Garut ini bagus beneran loh… gak kalah deh mutu maupun disainnya dengan yang dipajang di toko2 di mal/dept. store, sedangkan harganya jauh di bawah harga di departemen store, bistro ataupun outlet. Untuk jaket yang dipajang di sana, bisa diperoleh dengan harga 350-500 ribu, tergantung disainnya (untukku, karena pesanan khusus, harganya 650 ribu). Katanya kulit yang baik untuk dibuat jaket adalah kulit domba karena lebih halus. Jaket kulitku ini, dikirim ke rumah (dengan sedikit tambahan ongkos kirim) dan sudah kupake saat aku field trip ke LuangPing Basin, Chengde, China Utara, bulan Oktober 2007 kemarin, dan ternyata cukup mampu menahan dingin (saat itu suhu di Chengde mencapai kurang dari 10 derajat Celcius) dan tetap gaya (ya.. gayanya berjaket kulit, gitu). Tentu saja… ada teman yang “menuduh” bahwa jaketku ini buatan luar negeri… hehehehehe… ! Sayang sekali, selain ke Chengde itu aku belum punya kesempatan lagi untuk memamerkan jaket Garutku itu. Soalnya kalo cuma di daerah puncak-Bogor, meskipun malam hari ... pake jaket tipis juga udah cukup. Sebetulnya enggak cuman jaket yang dihasilkan oleh industri kulit ini tapi yang mutunya paling baik ya.. jaketnya, untuk sepatu atau tas rasanya sih kalah deh dengan di Bandung atau di Tanggulangin-Surabaya atau di Tajur dekat Bogor itu.

Aku juga membeli beberapa helai kain batik Garutan. Kewajiban berbatik setiap hari Jum’at di kantor2 pemerintah tampaknya berdampak baik pada industri batik nasional. Tau kan.. bahwa batik itu punya “gaya” tertentu yang berbeda pada setiap daerah ? Batik Solo beda dengan baik Pekalongan, atau dengan batik Jambi atau Kalimantan dan batik Cirebon pun beda dengan batik Garut. Saat ke Malaysia aku sempat juga melihat industri batik di sana (yang katanya sudah dipatenkan itu) dan kayaknya sih tekniknya sama atau hampir sama aja dengan di Indonesia, hanya berbeda motifnya saja, beda gaya saja. Yang jelas batik Indonesia amat beragam, dibanding Malaysia yang cuman satu ragam saja.

Kami mampir ke toko yang khusus menjual oleh2 Dodol Picnic, namanya toko Prima Rasa, di jalan Cileduk (sama ya.. namanya dengan daerah di Jakarta). Ada banyak lah toko2 di sepanjang jalan yang menjual berbagai oleh2 Garut (enggak cuman dodol, loh !). Anakku sulung itu seneng dengan kerupuk kulit tapi melihat kerupuk kulit dipajang di toko jaket bersama dengan produk industri kulit lainnya, dia menolak membelinya. Katanya nanti serasa makan sepatu… hahahahha… !

Apa Garut cuman punya gunung, sawah dan air panas ? Enggak ! Pantai2 di selatan Garut ternyata indah dan bersih. Kami memutuskan ke Pamengpeuk, selatan Garut, berbatas Samudera Indonesia, dengan berbekal peta. Melalui internet kami punya daftar hotel2 di Pameungpeuk tapi saat kami hubungi via telpon dari Jakarta (mereka gak punya alamat e-mail), mereka bilang silakan datang langsung aja, gak perlu pesen2 tempat dulu. Iya deh. Kami bermobil , dari kota Garut menuju Selatan, melalui pegunungan (barisan Pegunungan Jawa Barat Selatan) dengan hutan2 yang masih cukup lebat, diselingi perkebunan Teh Cisaruni, Neglasari. Suasana kebun teh, dan jalannya yang berliku mirip dengan di puncak (Bogor-Cianjur) tapi jauh lebih sepi dan tanpa “tenda-tenda biru” di sepanjang jalan, tanpa hotel2 , tanpa vila2, tanpa restoran2. Sekitar 2,5 jam perjalanan, sampailah kami di Pamengpeuk, yang ternyata kota kecil, kota kecamatan. Nama pantainya berbeda dengan nama kotanya, ada dua pantai yang biasa dikunjungi : pantai Sayang Heulang dan pantai Santolo. Kedua pantainya bersih dan ombaknya bagus seperti pantai2 selatan lainnya : Pelabuhan Ratu, Pangandaran, Parang Teritis. Kata seorang penduduk, pengurus hotel, pantai2 di Garut Selatan ini tidak kena Tsunami seperti di Pangandaran tapi terkena dampaknya yaitu sepinya pengunjung.

Di pantai Santolo ada pelelangan ikan, lebih berperan sebagai pelabuhan nelayan, namun ada semacam air terjun kecil di laut dekat pantai, yang seolah memisahkan lautan, airnya bertingkat, namanya Cilaut Ereun. Untuk bermain di pantai yang landai dan bermain ombak (bila sedang tidak terlalu besar) maka pantai Sayang Heulang lah tempatnya. Hotel2 dan restoran juga lebih banyak di pantai Sayang Heulang. Sayangnya kami tidak bisa terlalu lama di sana, disebabkan, karena…. kami tidak bisa menemukan hotel yang “sesuai”. Aku kasih tanda petik karena anakku yang kecil, 9 tahun, tidak bisa BAB (buang air besar) di wc selain wc duduk, dan kamarnya juga harus bersih serta terang, enggak mau yang lampunya agak remang2. (heran juga, padahal emaknya mah… kalo lagi di lapangan… “bab” di sungai juga oke…. tidur di base camp atau di flying camp juga oke, hehehehehe… ! ). Jadi setelah berkeliling ke kota Pemengpeuk (dengan daftar hotel dari internet itu), pantai Sayang Heulang dan pantai Santolo, kami gagal mencari hotel yang sesuai dengan tuntutan si bungsu ini. Dia menolak masuk hotel…. lari ke halaman… Boro2 mo nginap ! Ampun2 deh ! Terpaksa malam itu juga kami pulang ke Garut, nginap di Cipanas lagi. Padahal rencana semula adalah nginap di pantai. Mudah2an nanti ada lah satu hotel bintang tiga di sana, dengan kamar hotel dan fasilitas yang “standard” sehingga kami gak usah bolak-balik seharian : Garut-Pamengpeuk. Bagaimanapun, menyenangkan sekali duduk di pinggir pantai, jalan2 di pasir sembari kaki terkena ombak dan makan ikan bakar serta ayam goreng yang lezaaat sekali di pantai Sayang Heulang dan juga menyaksikan tenggelamnya sang surya ; bola kemerahan yang perlahan-lahan hilang ditelan air !

Kampung Naga terletak di Kabupaten Tasikmalaya (bukan di Kabupaten Garut) namun karena merasa udah dekat, kami mampir juga ke sana. Lokasinya di daerah Neglasari, sekitar 15 kilometer dari kota Garut ke arah kota Tasikmalaya. Kampung Naga berada di pinggir jalan raya (Bandung-Tasikmalaya) namun minimnya papan petunjuk jalan menyebabkan kita musti bertanya dan nengok2 dulu ke kiri-kanan dan sempat “terlewati” (ternyata posisinya di sebelah kiri jalan, arah ke Tasikmalaya). Kampung ini adalah kampung adat artinya masih memegang adat istiadat jadul (jaman dulu) meskipun penduduknya menganut agama Islam. Satu bukti lagi bahwa penyebaran Islam (terutama di Pulau Jawa) tidak serta merta menghilangkan segala upacara adat yang –menurutku sih– lebih berbau Hindu atau animisme/dinamisme meski dibungkus dengan doa2 berbahasa arab/Islam. Apa istimewanya Kampung Naga ? Kampung ini berhasil (tetap) menjaga kelestarian alam (dan budaya) setempat.

Nama Kampung Naga berasal dari kata “kampung na gawir” yang artinya kampung di (pinggir) tebing dan disingkat saja menjadi Kampung Naga, jadi enggak ada hubungannya dengan binatang dongeng itu.

Setelah turun dari mobil, kami menuju lembah, tempat Kampung Naga berada, dan musti menuruni tangga, yang katanya Mang Cahyan –guide lokal– berjumlah 365, sama dengan jumlah hari dalam setahun. Tentu aja aku terengah-engah menuruni dan (apalagi) menaiki tangga sebanyak ini. Saat pulang, meninggalkan Kampung Naga, anakku dengan semangat menaiki tangga sembari menghitung… “satu, dua,…lima belas,… seratus dua puluh,… Buuu… udah nomer 286… “ katanya dengan santai sembari melihat ke bawah…. ke arahku, yang jadi ingat lagunya (alm.) Benyamin “… cik kicik bangke lemes… naik pohon .. eh.. naik turun tangga.. dengkul lemes… “. Belum lagi ingat lagunya Dewa : “sepaaaaruuhh nafaskuuu…”. Lah, nafas tinggal separoh gini. Sebagian anak tangga dan jalan bersemen katanya adalah sumbangan dari alumni Universitas Gajah Mada yang tahun 90-an mengadakan penelitian di sana.

Kampung ini dialiri sungai Cijolan (bener namanya Cijolan ?? Aku lupa mencatatnya !) yang mengairi dua wilayah : Kampung Naga Dalam dan Kampung Naga Luar (sebetulnya ada nama lain dari Kampung Naga Luar, tapi aku lupa – lagi2. Aku menyebutnya begitu, mengikuti penamaan Badui luar dan Badui Dalam, aja). Jumlah rumah di Kampung Naga Dalam enggak boleh berubah, jadi kalo ada penduduk berlebih maka harus ada yang keluar dan menjadi penduduk Kampung Naga Luar. Jadi yang Kampung Naga Dalam lah yang terpelihara keasliannya. Kampung ini di lembah, di pinggir sungai dan diapit dua gunung yang tidak boleh sembarang ditebang pohon2nya, tetap jadi hutan, resapan air dan juga penahan banjir. Pun sungai terpelihara kebersihannya, enggak boleh membangun rumah di DAS-nya (= daerah aliran sungai) seperti yang banyak dijumpai di sungai2 yang melintasi kota2 di pulau Jawa.

Sama seperti di Kampung Pulo di Situ Cangkuang, rumah2 di Kampung Naga juga seragam baik dalam ukuran maupun bentuk (di perumahan be-te-en atau di real estate kelas menengah, rumah2nya juga seragam, ya ! Tapi pasti bukan gara2 “memelihara adat istiadat”). Bentuk bangunan yang berbeda hanya mesjid (lengkap dengan beduk di satu sisinya), kamar mandi/wc, meeting room atau Balai Desa, tempat warga berkumpul, bermusyawarah dan ada semacam ‘rumah suci’, dimana selain warga tertentu, yang lain gak boleh masuk. Rumah semuanya menghadap Utara atau Selatan, berdempetan, berbentuk rumah panggung, dengan batu di bagian bawah/pondasi, dinding dari papan/kayu dan bilik/gedek dan beratap rumbia/ijuk. Aku baru tau ada tanaman “wajib” yang sangat berguna di Kampung Naga, dimana daunnya buat atap rumah (namanya combrang), bunganya dimakan (namanya rombe) dan buahnya juga dimakan (namanya honje). Sayangnya saat itu belum musim berbunga dan berbuah sehingga selain melihat pohonnya (yang tinggi berdahan besar) aku gak bisa liat bagaimana bunganya atau buahnya (dan mungkin ada nama lainnya kalo di Jakarta – kalo ada).

Setiap rumah mempunyai dua pintu di depan, satu pintu menuju ruang tamu dan kamar tidur sedangkan pintu di sebelahnya, yang dilapisi serat rotan, menandai ruang dapur sekaligus ruang makan. Bila seseorang memasak sambel goreng pete, misalnya, dapat dipastikan seisi kampung dapat mencium harumnya karena dapurnya di bagian depan rumah. Katanya pintu dapur tersendiri ini akan lebih memudahkan bila suatu ketika bila terjadi kebakaran. Iya juga sih. Mereka memasak menggunakan tungku dengan bahan bakar kayu/ranting pohon dan kayaknya sih enggak bakalan dapat pembagian gratis kompor gas dan tabung gas yang tiga kiloan itu loh ! Untunglah desa ini tidak bertambah besar, jumlah penduduk dipelihara, desa di sekitarnya saja yang boleh membesar dan boleh berubah. Sebagian memasak menggunakan minyak tanah yang bersubsidi itu. Kebayang aja… betapa banyak kayu bakar yang harus dikumpulkan, pohon yang harus ditebang, bila kita semua menggunakan tungku kayu.

Ada 126 kepala keluarga di Kampung Naga dengan jumlah penduduk sekitar 311 jiwa, diantaranya 75 anak2 di bawah usia 15 tahun. Setiap laki2 dewasa (di atas 15 tahun) selalu mengenakan semacam ikat kepala dari kain batik (jadi bukan peci, bukan blankon), seperti juga Mang Cahyan, yang mengantar kami keliling Kampung Naga, yang adalah penduduk asli Kampung Naga. Kaum perempuan tua, muda, berkain dan berkebaya sederhana, tanpa warna2 cerah. Katanya lepis dilarang di Kampung Naga, maksudnya tentu celana jeans, enggak cuman yang bermerek Levi’s (lah, aku juga melarang anakku pake lepis… abis Levi’s asli tuh mahal banget euy… ! Mending pake jeans merek lain ajah, toh jeans merek lokal juga mutunya bagus). Entah apa hubungannya antara si lepis dan Kampung Naga sehingga dilarang gitu.

Mata pencaharian penduduk selain bertani, berkebun, berternak adalah juga membuat kerajinan tangan semacam tas, topi/ikat kepala, dll. Ada juga yang buka toko kecil di depan rumah, menjual barang2 keperluan rumah tangga seperti beras, minyak goreng, sabun, shampoo, termasuk indomie dan Chiki/Chitos dan permen2 (kok makanan ringan “produk modern” dan berkategori ‘junk food’ itu enggak dilarang ya ?). Selain wajib mengaji, anak2 di Kampung Naga juga wajib bersekolah (di luar Kampung Naga). Mang Cahyan bercerita bahwa untuk sekolah di smp dia harus menenmpuh perjalanan 10 kilometer, berjalan kaki, setiap hari. Adakah yang sarjana ? Ya, ada, tapi di Kampung Naga Luar. Rata2 mereka (sekarang ini) adalah lulusan smp. Beberapa kaum tua, buta huruf latin, namun pintar membaca Al-Qur’an (tidak buta huruf arab).

Listrik boleh masuk desa, tapi hanya untuk beberapa lampu penerang jalan dan tivi hitam putih dibolehkan (kayaknya cuman bisa menangkap siaran TVRI dan TV daerah Jawa Barat aja) dan hanya satu di Balai Desa. Kenapa ya.. enggak boleh pakai tivi berwarna ? Gimana dengan radio ? Ada beberapa radio dan cuma untuk yang AM saja semacam RRI. Umumnya mereka menggunakan lampu teplok dengan minyak tanah itu. Kalo koran sih boleh, koran lokal, tapi majalah tidak boleh dan mereka tidak punya perpustakaan ataupun saluran internet. Mobil dan motor tidak dibolehkan masuk kampung (kecuali di Kampung Naga Luar, katanya). Bagaimana kalo ada yang melanggar, misalnya pake celana jeans, pake topi, enggak mau pake ikat kepala batik itu, atau yang cewek pake baju kaos atau “tank top” warna-warni, atau dengerin lagu2 rock dari band luar negeri ? Katanya sih.. ya… silakan tinggal saja di Kampung Luar !

Mereka menggunakan bersama-sama kamar mandi dan wc dan tempat bebersih yang umumnya “open air” (tanpa atap) itu sudah ditentukan lokasinya, gak boleh sembarangan. Yang penting, orang Kampung Naga selalu memelihara dan menjaga sumber air. Air dialirkan dari sumbernya (mata air) dengan memanfaatkan ketinggian lahan dan ditampung di bak-bak terbuka untuk digunakan bersama-sama. “Kearifan Lokal” semacam memelihara sumber air, memelihara hutan, memelihara sungai, inilah yang patut dipertahankan, patut ditiru ! Apakah hal-hal baik seperti ini tidak bisa sejalan dengan unsur2 “modern” semacam listrik, mobil, tivi berwarna, celana jeans, internet, dll ?

Kurang lengkap rasanya bila mengunjungi suatu daerah tanpa mencicipi makanannya. Tentu kami sudah beli oleh2 khas Garut, namun bagaimana “wisata kuliner” di Garut ? Di daerah Cipanas, ada pasar tradisonal yang juga berjualan berbagai makanan dan di sana beberapa kios/warung buka sampai jam 10-11 malam. Jadi kalo kepepet, pas laper ketika malam, bisa beli sate kambing atau sop di situ. Untuk sarapan, di seberang hotel Tirta Alam, ada warung pinggir jalan, yang setiap pagi berjualan bubur ayam dan nasi kuning. Enak dan murah. Untuk kelas resto, ada cukup banyak rumah makan dan restoran di kota Garut maupun di luar kota Garut. Aku enggak sempat mencatat semua nama2 rumah makan tersebut, kecuali beberapa. Ada resto “Mulih Ka Desa”, dimana kita makan di gubuk2 di pinggir sawah, di sana gurame goreng dan sambalnya asyik, ada resto “Layung Sari-2” yang nasi liwetnya sedap, atau nyobain makan di “Kampung Sampireun” juga boleh (tapi makanannya udah “disesuaikan” dengan lidah bule, agak kurang marem, menurutku) atau di hotel “Kampung Sumber Alam” restonya juga oke (tapi sarapannya gak oke banget deh, mending beli nasi kuning aja di pinggir jalan). Boleh dibilang enggak ada masalah deh dengan urusan perut di Garut ini. Ada satu nama yang unik, yaitu rumah makan “Sambal Cibiuk”. Info kami peroleh dari pegawai hotel (Kampung Sumber Alam), katanya sih gak jauh, sekitar 2 kilometer ke arah Situ Bagendit. Ternyata Cibiuk itu cukup jauh juga, kayaknya sih bukan 2 kilometer melainkan 5-6 kilo lagi, ke arah Utara kota Garut, namun perjalanan mencari makan siang itu terbayar lunas karena ayam goreng kampungnya yang gurih, sop kacang yang sedap dan sambal hijau (dari cabe rawit hijau, bawang, terasi dan tomat hijau yang ditumbuk kasar, disajikan bersama cobeknya) yang pedas dan mantap banget ! Pokoknya “mac news” deh !

Masih ada beberapa obyek pariwisata yang tidak sempat kami kunjungi misalnya (danau) Telaga Bodas, beberapa curug (bahasa Sunda berarti air terjun) seperti Curug Orok, dan lain-lain. Kami masih mau lagi lah… berlibur ke Garut dan Tasikmalaya, nanti.

Jakarta, 22 Januari 2008
Salam,
Nuning


Pernah dimuat :
From: Nugrahani
Sent: 22 Januari 2008 17:23
To: Mimbar Saputro; Mimbar List; 'Mimbar Saputro'
Subject: Garut yang bukan dodol



Tentang Kepengen Kurus

Masalah berat badan adalah masalah yang sensi banget buat cewek, ya… antara lain karena itu dianggap sebagai salah satu “aset” buat penampilan. Kehilangan aset di sini bukan berarti kehilangan berat badan melainkan sebaliknya … kelebihan berat badan. Jadi berbanding terbalik, gitu ! Semakin bertambah berat badan anda maka akan dibilang semakin tidak menariklah penampilan anda. Memang sih… Dewi Hughes, Tike Extravagansa atau Oprah yang terkenal itu … ada yang bilang cantik, menarik meski gendut, tapi kan sering ditambahin kalimatnya : “akan lebih cantik kalo mereka lebih kurus !” Kadang terdengar juga komentar yang sadis : “amit2 deh punya pacar segendut itu”.

Definisi cantik itu tergantung jaman, kayaknya. Kalo kita memperhatikan foto2 dan patung2 di jaman rennaisance, jamannya patung2 Michel Angelo dan kawan2nya, maka terlihat bahwa cewek2 di jaman itu montok2 nian. Mungkin saat itu yang disebut cantik adalah yang montok berisi, moleg, berlemak alias gendut. Di pedalaman Afrika, bahkan sampai pertengahan abad ke-20, yang disebut cantik juga perempuan yang montok. Berbahagialah perempuan gendut dan montok di jaman dahulu.

Sekarang… yang dibilang cantik (di Afrika sekalipun) adalah yang badannya tipis, kurus, tungkai panjang, rambut panjang lurus, hidung bangir, kulit putih dan seterusnya. Padahal berapa persen sih perempuan di dunia ini yang memenuhi kriteria semacam itu ? (tentu aja …. Kan dicari yang “susah”, yang enggak umum, kalo kriteria cantik itu biasa2 aja, banyak dijumpai… kan jadi enggak seru ya !).

Lihat deh.. iklan produk2 perawatan kecantikan yang tak henti2nya, dengan berbagai cara, menawarkan bagaimana badan bisa langsing, kulit putih, rambut lurus gak keriting dan sebagainya. Diperlukan kearifan tersendiri untuk memanfaatkan info2 mengenai produk2 “kecantikan”. Cantik di sini berarti yang sesuai dengan pakem yang telah digariskan di industri kecantikan yaitu langsing, putih, rambut lurus, mancung dan sebagainya.

Kadang geli juga sih …. Model yang jelas masih berumur 15-16 tahun, kinclong-kinclong, digambarkan menggunakan produk krim pelembab muka dan bilang “agar wajah tampak muda berseri”… aku berani jamin bahwa kalopun produk itu dipake ama nenek2 berumur 50 tahun…. Sampe abis segentong penuhpun atau berendam ama krim itu sampe 7 hari 7 malampun…. Gak bakalan deh tu nenek2 jadi tampak seperti cewek belasan tahun, yang muda berseri itu !! ( Lah… kalo nanti modelnya diganti nenek2…. Para pemirsanya yang enggak tertarik melihatnya, ya ! ).

Apalagi iklan produk krim pemutih wajah…. Sang cowok yang lebih memilih Shinta karena kulit Shanti tak seputih Shinta. Kacian deh Shanti. Kok enggak ada ya… tulisan yang jelas pada produk sejenis ini yang bilang bahwa kulit di wajah gak bakalan jauh terangnya daripada kulit di bagian perut, meski udah pake krim pemutih … berdus-dus sampe pabriknya tutuppun ! (Lah…kalo dari sononya udah berkulit hitam manise karena asli Papua… kan gak bakalan jadi putih seperti Monica yang dari Menado keturunan China).

Juga iklan shampoo yang selalu menggambarkan bahwa rambut indah adalah yang lurus panjang. Korban yang paling dekat adalah pembantuku, yang manis tapi rambut aslinya kriwil-kriwil. Dia rela menggunakan lebih dari separo gajinya sebulan untuk “rebounding” di salon, supaya rambutnya keliatan lurus. Keruan, sebulan kemudian tu rambut udah mengkriting lagi (dan aku kemudian melarangnya untuk buang uang di salon, kataku : “kamu manis kok meski rambutmu kriting”). Pernah juga dia beli shampoo yang katanya supaya “seperti habis di-rebounding” tapi ternyata “gak mempan”… begitu kering tuh rambut langsung mengkriwil lagi.

Oke deh… kulit boleh enggak putih, rambut boleh gak lurus, tapi badan harus tetap langsing supaya tetap sedap dipandang mata. Begitu ? Gak heran, iklan pelangsing banyak memenuhi media, klinik2 dan salon (bahkan rumah sakit) banyak yang menawarkan program pelangsingan badan. Berbagai metode ditawarkan termasuk akupungtur dan berbagai jenis obat2an, berbagai operasi (apa tu.. namanya ? lupa ! Yang katanya diikuti oleh banyak artis2 kita), cara2 sedot lemak, dan sebagainya. Seperti katanya mas Mimbar “no pain no gain”…. Harus bersusah payah, berjibaku, untuk menjaga badannya supaya tetep atau menjadi langsing meski beberapa perempuan (artis) tidak mengakui di depan umum upaya2 yang telah mereka lakukan agar badan tetep langsing (apa boleh dibilang bahwa si cewek yang enggak ngaku itu telah melakukan kebohongan publik ? aneh banget ya… istilah kebohongan publik ini).

Aku pernah membaca salah satu tulisannya Ayu Utami di suatu majalah (Ayu Utami itu penulis novel Saman dan Larung yang best seller itu) bahwa dia lagi ngumpulin duit supaya suatu hari nanti bisa melakukan operasi THT, singkatan dari telinga, hidung dan (maaf) tetek. Menurutnya, dia pasti akan lebih bahagia kalo telinganya enggak lebar seperti sekarang, hidungnya lebih mancung dan punya buah dada yang subur sentosa seperti Dolly Parton atau Pamela Anderson. Enggak tau sih apa itu cuman sekedar tulisan aja atau memang keinginan dari dalam hatinya. Saat ini Ayu memang enggak gendut alias (masih) langsing, karena kalo dia gendut pasti daftar operasi itu akan ditambah : supaya lebih kurus. Kabarnya sebagian besar artis melakukan berbagai cara supaya dibilang cantik menurut standar umum (industri dan media) : langsing, putih, rambut lurus, hidung mancung, dll. Bahkan, aku pernah baca bahwa 95 % artis Hollywood melakukan bedah plastik supaya sesuai dengan “tuntutan standar cantik”.


Meski bukan artis, enggak putih, enggak mancung, rambut enggak lurus2 amat, aku merasa mengalami masalah dengan berat badan. Aku gak bisa dibilang langsing, saat ini aku dah “untung” sekitar 20 kilogram dibandingkan dua puluh tahun yang lalu. Yah… kenaikan sekitar 1 kilo per tahun. Lumayan ! (Mudah2an sih enggak nambah lagi kilo-an ini. Syukurlah setahun terakhir ini stabil aja. Stabil gendut, maksudku … heheheheh). Masalah besar yang paling terasa adalah saat mencari baju / pakaian. Tau kan…. di mall - mall yang gedeeee dengan puluhan toko baju itu … cuman beberapa toko aja yang memiliki baju dengan ukuran X, XL, double L atau triple L dan seterusnya. Kami, para perempuan dengan ukuran XL dan seterusnya itu sebetulnya mengalami diskriminasi dalam hal pakaian. Semua perancang mode sampe yang kelas teri sekalipun enggak memikirkan kami yang ukurannya ekstra punya ! Untuk menghindari “sakit hati”, saat mencari baju baru…. maka aku selalu menghindari wilayah yang penuh baju2 indah nian itu…. Langsung to the point menuju toko atau counter yang jelas2 memiliki baju dengan ukuran ekstra. Ketimbang sakit hati ! (karena udah seneng ama model dan warnanya.. eh… ternyata gak ada yang ‘size’-nya gede). Kacian deh gw !

Kadang kupikir ironis juga. Duluuu….. jaman umurku baru terbilang belasan atau dua puluhan atau tiga puluhan awal deh… … aku belum mampu untuk beli baju yang bagus2 - bahkan saat mahasiswi boro2 buat beli baju, buat beli makan yang enak2 pun enggak ada uang - trus… setelah umur menginjak empat puluhan (tahun 2007 ini umurku 46 tahun) saat kita mampu untuk beli baju yang bagus2, beli makanan yang enak2…. Eh….badannya yang enggak bisa. Enggak kompak, ya !

Yang menyebalkan adalah saat mendengarkan komentar negatif dari teman lama, misalnya saat acara reuni, seperti : “wah… kamu pasti makannya banyak banget ya “ (seolah-olah kami, para perempuan gendut adalah orang yang amat rakus) atau “udah makmur ya… sekarang” (gak perduli bahwa teman saya yang gendut itu masih banyak punya utang di sana sini) atau “kok kamu gak bisa jaga badan sih… sampe melar gitu” (padahal temen saya yang gendut itu udah mencoba berbagai cara supaya lebih langsing) atau “kamu malas olahraga sih… makan tidur melulu” …. Dan berbagai komentar negatif lainnya. Intinya, kami, para perempuan gendut seringkali mengalami diskriminasi sosial, mengalami pelecehan dan harus menghadapi serangkaian tuduhan2 yang buruk ! Kelompok gendut yang paling parah saat mengalami pelecehan ini adalah kelompok remaja (iyalah…. kami para emak2 gendut mah enggak terlalu mikirin kalo dibilang ini itu) karena itu gak heran kalo para remaja inilah yang paling banyak terkena Anorexia atau Bulimia.

Ya…. enggak semua orang sih… berkomentar negatif soal perempuan gendut. Suamiku punya pendapat yang menarik ; cantik atau enggak cantik itu enggak tergantung pada gendut atau kurus, putih atau hitam, kriting atau lurus. Semua parameter itu enggak bisa digabung begitu aja, misalnya, kalo seseorang itu kurus, kulitnya putih dan rambutnya lurus… enggak otomatis dia bisa dibilang cantik, sebaliknya kalo dia gendut, hitam dan rambutnya kriting… juga gak bisa divonis dia pasti jelek atau gak cantik. Kurvanya enggak berbanding lurus begitu. Jadi bisa juga…. Cantik dan gendut atau cantik dan rambutnya kriting atau cantik dan kulitnya hitam, dan sebagainya. Tentunya sebagai istri aku jadi tentram….. karena aku tetep bisa dibilang cantik meski (sekarang) gendut….. heheheheh (lah, yang bilang cantik siapa lagi ya… selain suaminya sendiri). Trus… apa iya kalo lebih kurus bakalan lebih disayang ama suami seperti kata iklan ? Keliatannya enggak ada deh korelasi yang jelas … antara kurus dan disayang suami …. ! Beberapa temanku yang janda cerai malahan asli bertubuh kurus sedangkan istri2 yang gendut ada juga yang tetep disayang suaminya sampai tua, sampai maut memisahkan. Yang pasti, kalo para istri dimadu atau suaminya selingkuh.. maka berat badannyapun pasti menurun dengan sendirinya ! Gara2 nelangsa. (Aku enggak mau lah… kalo musti kurus gara2 yang beginian. Ogah, deh !).

Pasti ada yang pernah baca artikel atau tulisan soal inner beauty alias kecantikan dari dalam. Maksudnya tentu bukan “jeroannya” yang cantik tapi kepribadian yang baik. Katanya kalo kepribadian kita bagus maka kecantikan akan terpancar dari dalam diri kita. Aku sih enggak terlalu percaya ama pendapat ini. Memang sih kalo orangnya cantik tapi kepribadiannya jelek kita jadi kesel, benci dan males menghadapinya (atau sebal melihat wajahnya) … tapi kan itu gak menyebabkan hidungnya jadi keliatan pesek, misalnya. Secara fisik dia tetep cantik (meski menyebalkan). Begitu juga sebaliknya…. Kalo secara fisik dia gak cantik tapi hatinya mulia… apa trus badannya jadi kelihatan lebih langsing… bibirnya jadi kelihatan indah merekah ? Ya enggaklah !! Fisik itu gak bisa berubah (kecuali dengan operasi plastik). Madam Theresia yang luar bisa berbudi dan mulia hatinya itu tetep gak bisa dibilang cantik meski inner beauty-nya berlimpah-limpah. Baik, menyenangkan.. iya, cantik sih enggaklah ! Trus si penyanyi dangdut spesialis kawin siri itu…. Angel Lelga (betul ni nulisnya namanya ?) meski dia dibilangin tukang morotin harta, tukang bohong, anak durhaka dan sebagainya… apa trus dia jadi kelihatan enggak cantik, enggak sexy ? Ya enggaklah ! Dia tetep cantik… sexy…. Meski inner beauty-nya rendah… Yang sebel melihat dia kan cuman para istri terutama yang punya suami pengusaha kaya ! Inner beauty itu lebih sebagai nilai tambahan aja, bentuk fisik tetep aja jadi acuan utama bagi seseorang untuk dibilang cantik atau tidak cantik.

Gendut versus umur versus kesehatan. Nah, kalo membahas soal yang ini … terasa lebih adil karena kalo gendut cuman dikaitkan dengan cantik atau enggak cantik maka terasa “bias gender” ……. kan cuman perempuanlah yang dituntut untuk tetap cantik, menjaga penampilan (baca : tetep langsing). Secara umum, semakin bertambah umur, seseorang (baik laki2 atau perempuan) akan mengalami proses penuaan (akibat perubahan metabolisme), yang ciri2nya antara lain berat badan bertambah, perut membuncit juga rambut beruban, membotak dan sebagainya. Tentu aja sih.. ada juga yang tetep kurus meski udah bertambah tua. Suamiku, misalnya, tetep aja berat badannya enggak bertambah secara signifikan meskipun (bener deh… sumprit !) makannya lebih banyak daripada aku. Itu udah bawaan orok, barangkali. Sekeluarga mereka gak ada yang gendut, tapi toh dia tetep mengalami proses penuaan juga …. rambutnya memutih dan menipis (dan tetep item… kata temen2ku ! Eh, tua dan item itu enggak ada hubungannya, ya… hihihii).

Soal kesehatanpun jelas, orang yang gendut lebih rentan terhadap beberapa penyakit dibandingkan dengan yang kurus. Aku pernah baca bahwa lingkar pinggang itu berpengaruh terhadap penyakit jantung koroner. Semakin lebar lingkar pinggangnya semakin besar kemungkinan terserang penyakit jantung. Sekali lagi, selalu aja ada pengecualian, ada juga orang yang kurus ternyata berpenyakit jantung koroner atau berkolesterol tinggi dan sebagainya. Peningkatan berat badan ini katanya sebanding dengan penambahan umur, sampai tahap tertentu (dibilang “tertentu” karena pada umur 60-an, tubuh mengalami penurunan masa otot sehingga badan kembali mengecil tapi enggak seperti masa muda … karena disertai dengan proses keriput, dll). Enggak ada obat yang cespleng untuk menahan proses penuaan. Yang ada adalah : ada yang prosesnya cepat ada yang lebih lambat.

Semua orang pada umumnya mengalami kenaikan berat badan seiring bertambahnya usia, termasuk para artis. Lihat deh … artis2 tahun 70-an atau 80-an, meski udah dijaga mati2an….. tetep aja kelihatan lebih gendut dibandingkan saat masa jaya2nya. Jangan dikira mereka (termasuk temen2 cewekku) tidak melakukan sesuatu untuk mempertahankan badannya, ‘aset’nya itu, meski tetep aja mereka kelihatan (lebih) tua dan (lebih) gendut dengan bertambahnya usia. Siapa sih yang bisa mengalahkan umur (kecuali para dokter yang melakukan berbagai operasi plastik dan suntikan2 kosmetik).

Jadi kalo aku lebih gendut daripada dua puluh tahun yang lalu… ya.. wajar aja sebetulnya, apalagi aku enggak pernah pake acara berusaha menjadi kurus segala. Belum pernah ! Suamiku itu, secara tegas menolak segala proposal yang kuajukan sehubungan dengan penurunan berat badan, misalnya akupungtur, obat2an (yang katanya bisa menurunkan sekian kilo dalam sebulan), diet dengan jadual dan jumlah makanan tertentu, suplemen dari herbal, dll. Enggak… enggak boleh … katanya ! “Kamu tuh mo nurut ama suami atau lebih mementingkan pendapat orang lain ?” (supaya lebih kurus). Menurut suamiku, wajar aja lah… kalo ibu2 itu bertambah gendut. Kalo misalnya aku ingin berdiet, enggak makan makanan tertentu karena disuruh dokter supaya sehat, itu boleh (tapi bukan gara2 kepengen kurus). Kalo aku berolah raga supaya lebih sehat, juga boleh banget (tapi bukan supaya jadi kurus, katanya !). Kalo aku berobat dengan akupungtur, dengan herbal, atau apapun supaya jadi sehat… pun boleh (tapi bukan supaya jadi kurus). Yah…. aku sih nurut aja apa maunya juragan satu ini. Artinya… aku tetep gendut2 aja… sehat2 aja (Alhamdulillah) dan juga berusaha …. happy2 aja.


Jakarta, 9 Maret 2007
Salam,
Nuning


Pernah dimuat :
From: Nugrahani
Sent: 09 Maret 2007 14:20
To: 'Mimbar Bambang Saputro'; mimbar-list@yahoogroups.com
Subject: RE: [mimbar-list] Berjibaku menjadi kurus.
_____________________________________
From: Mimbar Bambang Saputro [mailto:mbambangse@yahoo.com.au]
Sent: 09 Februari 2007 8:50
To: mimbar-list@yahoogroups.com
Subject: [mimbar-list] Berjibaku menjadi kurus.

Masih ingat filem Ghost, yang adegannya main lempung ala Kasongan –Bantul. Bukannya menggiatkan industri Kasongan dalam negeri yang lesu darah, alih-alih para cewek, tua muda ikutan rambutnya dicepak ala Demi Moore. Ujung-ujungnya para barbir menuai rejeki.
Belakangan muncul filem Pirates of Caribbean – Death's Man Chest , tetapi gaya bajak laut Jhony Deepnya sih paling dibajak pada penjual sulap dan akrobat jalanan di pelataran toko di Australia dengan memakai celak hitam di matanya, berambut keriting gimbal dan mengenakan topi bajak laut.
Yang diluar dugaan adalah pemunculan si kerempeng artis Inggris Keira Knightley, dengan tubuh bak baru keluar Rumah Tahanan Militer bertahun-tahun, dia malah menjadi pusat perhatian. Tulang pipi yang menonjol dibilang menyihir, tulang bahu yang mengintip bagai kelereng dibilang sexy, mata yang sayu dipuji sebagai penuh pesona. Lha namanya mode. Si bintang filem naik tulangnya.
Lain halnya dengan Ponomarenko Jones,46, Warga Inggris ini baru kehilangan anak perempuannya Sophie yang Desember 2006 lalu meninggal pada usia 19 tahun dengan berat 25,4 kilogram. Usut punya usut mendiang Sophie amat terpesona akan penampilan "tulang-tulang berserakan" bintang pujaannya sehingga berniat melakukan diet kelaparan agar memperoleh tubuh seceking Kelra. Orang bilang Icon Ukuran Nol. Dua tahun dia menyoba diet sampai mati kelaparan.
Disalahkan bikin anak orang lain mati, jelas Keira jadi gusar. Ia mengatakan bahwa tulang berselimut kulit adalah bawaan orok, dia makan apa saja yang ia sukai, ia bahkan tidak pernah ke Gym. Percaya nggak percaya. Lalu dia mengusung pengacaranya agar melakukan somasi terhadap barang siapa sengaja atau tidak sengaja membahas kekurusannya.
Lalu publik menayangkan foro Keia saat sebelum bermain di filem Bajak Laut tersebut. Ternyata badannya belum se-ethiopia saat ini. Berarti cewek yang mengalami masalah dysleksia (kesulitan membaca dan menulis) diam-diam masih memproklamasikan usaha mengorting berat badan sampai sekurus-surusnya dalam tempo sesingkat-singkatnya. Baik dengan teknik Anoexia atau Bulimia (yang satu tidak makan, yang lain makan tapi makan dimuntahkan).
Penganut mahzab kurus setengah mati sudah banyak selain Keira, sebut saja Victoria Beckham, Nicole Richie, Marie-Kate Olsen,l Nicole Kidman, Callsta Flockhart, Paris Hilton.
Tapi masih ada group lain yang ikut dalam perang campuh ini, yaitu para ahli kesehatan dan psikolog. Sebut saja Dr. Fursland dari Australia. Orang yang memuntahkan makanannya kembali adalah orang yang tidak bahagia. Sembilan puluh persen korbannya adalah perempuan dan 10 persen diantaranya berakhir dengan bunuh diri atau serangan jantung.
Menurut ahli kesehatan bagian yang di"makan" ini bahasa tabib jalanan yang mungkin berbakat montir kopling, adalah ginjal dan hati. Disamping karena tulang tetap tumbuh pada usia 20-an, mereka kehilangan pasokan gizi sehingga cenderung menderita osteoporosis alias keropos tulang.
Ahli psikologi ikutan nimbrung, orang yang mampu kurus berlebihan, justru merasa dirinya superior karena mampu menahan sakit dan lapar dibandingkan orang lain yang normal. Merasa mirip petapa yang mendapat energi pencerahan usai puasa. Lapang jalan menuju Nirwana. Ini urusan mirip spiritual, sekali yakin, sulit dibelokkan.
Liz seorang pakar kesegaran tubuh mengaku mulai sulit makan dan sering memuntahkan makanan saat usia 18tahun…" mereka mengatakan eating disorder. Jadi tidak ada urusannya dengan citra kurus seorang selebritis.
Bahkan menjadi kurus namun mampu mengemban tugas menjadi pemain filem yang berat, memerlukan kemampuan "self control" yang tidak main-main– dan itu yang harus dicontoh, bukan malahan disalahkan menjadi penyebab kematian seseorang.
Benar kata pepatah "no pain no gain…"
===============================================================

Tentang Beijing

Jangan membayangkan Beijing (dulu ditulis Peking) seperti di film2 silatnya Jet Lie atau Jacky Chen (di sana terkenal sebagai Chen Lung, bukan Jacky Chen) atau bintang lain karena ternyata Beijing itu hampir gak beda ama Hongkong atau Singapore. Kota ini bersih, banyak gedung2 tinggi, apartemen2 menjulang, jalan2 raya yang lebar dan deretan mobil berikut kemacetannya meski sesekali (bukan di jalan Utama) terlihat juga sepeda dan becak/rickshaw di pinggir jalan di sebelah kanan. Percaya deh, jumlah sepeda di Beijing (sekarang) enggak sebanyak jumlah motor di Jakarta dan enggak keliatan sepotongpun motor merek “Beijing”! (eh, aku tuh ngeri banget deh melihat begitu banyaknya motor yang berkeliaran di Jakarta). Berkunjung ke Beijing saat musim semi (bulan Mei kemarin) juga memberikan pemandangan bunga2 yang indah bermekaran di sepanjang jalan dan taman.

Kota kuno ini – didirikan jauh sebelum Masehi, saat Indonesiapun belum lahir, terbagi dalam 16 distrik, berpenduduk hampir 20 juta jiwa, 2 juta diantaranya adalah penduduk yang bermigrasi setiap hari dari pinggir ke tengah kota. Di sana tanah adalah milik negara (land reform diterapkan dengan sangat ketat) sehingga sangat jarang pekerja yang memiliki rumah berikut tanah. Meski tinggal di pinggir kota mereka umumnya hanya memiliki sepotong apartemen. Peruntukan tanah di sana amat ketat, tanah untuk pertanian, misalnya, gak akan dibeli oleh seseorang untuk jadi rumah pribadi. Diatur jelas dan “keras” yang mana tanah untuk pertanian, perkebunan, pabrik, perumahan, dll. Ya.. kalo gak gitu gimana mereka mampu ngasih makan penduduknya yang lebih dari semilyar itu. Mereka itu udah lama swasembada pangan loh ! Beijing memiliki 7 jalan lingkar luar dengan total panjang hampir 400 kilometer dan jaringan kereta bawah tanah serta bis kota. Kayaknya gak masalah deh dengan angkutan umum di Beijing.

Tentu gak lengkap kalo ke Beijing tanpa mengunjungi sejumlah bangunan kuno namun tetap terawat baik seperti Forbidden City, sejumlah museum di sekitar Lapangan Tian’anmen, Temple of Heaven, tempat minum teh dan menonton opera (aku lupa nama gedungnya), dan bila agak ke luar kota kita bisa mengunjungi Summer Palace, museum/makan Terakota dan tentu saja The Great Wall. Sayang sekali karena terbatasnya waktu, gak semua tempat menarik itu bisa kita kunjungi. Kepengen banget ke sana lagi. Tentu aja aku berusaha difoto di tempat2 menarik itu dan setelah di Indonesia aku print dan kupajang di kamar kantorku. Pak Luthfi, bosku, mengomentari foto2ku itu, katanya kok kayak orang lagi ikut tour bukan lagi kunjungan dinas (kami diundang oleh Petrochina - Oil company, untuk mengunjungi pusat riset mereka : RIPED). Aku jawab : lah... kalo foto2 di ruang meeting atau di laboratorium atau di ruang pengolahan data gitu apa bagusnya, coba ! Kan sama aja dimana-mana. Selama 6 hari itu hanya 1,5 hari saja, yaitu Jum’at-Sabtu (dan setiap sore-malam hari) yang bisa kami manfaatkan untuk melihat hal menarik lainnya di luar jadual agenda rapat yang resmi, karena itu enggak bisa yang jauh2 dari Beijing.

Mendengar nama Lapangan Tian’AnMen pasti deh yang teringat adalah “pembantaian” demonstran (mahasiswa) penentang pemerintah China dengan panser2 angkatan bersenjata. Bayangan kengerian itu masih ada ketika kami menginjakkan kaki di sana. Lapangan ini sangat luas, katanya bisa menampung sekitar 1 juta orang. Aku lupa tanya apa yang 1 juta itu sembari berdiri atau jongkok atau tiduran. Di sekeliling lapangan ada sejumlah museum termasuk museum sang Ketua Mao dengan fotonya yang berukuran raksasa, gedung parlemen dan Forbidden City. Forbidden City itu gak cuma luas dan besar tapi juga indah.Tempat itu disebut forbidden karena terlarang bagi orang biasa (dulu). Sebetulnya ini bukan ‘city’ tapi ‘palace’ alias istana kaisar, namun sangking luasnya dibilang ‘city’. Memasuki istana kuno yang baru dibuka untuk umum tahun 80-an ini serasa kita diajak kembali ke masa lalu dan membayangkan kehidupan para kaisar yang glek-glek-nyam-nyam itu, dan juga kehidupan kaisar terakhir China di film “Pu Yie - The Last Emperor”. Sebagian dari istana indah ini sedang dipugar, saat ini.

Istana musim panas, Summer Palace, terletak agak di luar kota Beijing, di pinggir danau yang juga merupakan salah satu sentra industri mutiara (mutiara dari China berasal dari budidaya kerang air tawar / danau, bukan dari kerang dasar laut seperti di Jepang atau di Indonesia). Di dekat istana ada kuil Budha yang bagus dan megah. Meski Sidharta Gautama itu berasal dari India/Nepal, ternyata kuil2 Budha yang besar dan megah lebih banyak dijumpai di luar India, termasuk di China. Meskipun demikian jangan berpikir orang China itu beragama Budha atau Kong Hu Chu (Confusius) karena umumnya rakyat di China, saat ini, tidak beragama alias atheis dan mereka tidak ragu2 untuk mengakui itu : tidak percaya pada Tuhan. Aku pernah baca artikel yang menerangkan bahwa sebetulnya Laotse, gurunya Kong Hu Chu, itu bukan orang China asli melainkan berasal dari negeri “barat” dan dipercaya beliau adalah Nabi Luth, yang saat itu, sekian ribu tahun sebelum Masehi, diutus Tuhan mengunjungi negeri2 timur (saat Sodom dan Gumorah dihukum oleh Allah) dan orang2 China kesulitan mengeja “Luth” sehingga menjadi “Laotse”. Kan memang pada setiap suku bangsa pasti ada “Utusan” dariNya untuk menyembahNya dan supaya menjalankan perintah2Nya. Pun Sidharta Gautama dipercaya adalah juga salah satu UtusanNya, salah satu nabi, ada yang bilang bahwa beliau adalah Nabi Zulkifli.

Summer palace sekarang ini menjadi tempat berkumpulnya orang tua. Saat kami ke sana, Summer Palace, ada banyak manula yang berkumpul, ada yang berolah raga semacam Taichi, ada yang main lempar2 bola, ada yang nyanyi2. Menyaksikan begitu banyak orang tua yang kumpul2 di Summer Palace ini... aku percaya deh kalo penduduk China itu lebih dari 1 milyar ! Pemandangan semacam ini (orang tua berkumpul sesama mereka dan melakukan kegiatan bersama) adalah hal yang jarang kita liat di Indonesia atau negara lain (kecuali di Jepang). Aku pikir ini bagus juga. Asyik kan... kalo kita bisa tetep kumpul, ngedugem bareng temen2 sebaya ketika kita udah tua nanti. Seorang teman suamiku yang orang Jepang pernah bilang bahwa meskipun dia sekolah dan kerja di manca negara, ketika tua nanti dia ingin menghabiskan waktunya di Jepang karena negara itu amat memeperhatikan kesejahteraan para manulanya (aku sediiihhh... banget ngeliat anak2 Indonesia yang menderita busung lapar. Jangankan mikirin para manula, anak2 penerus bangsa ini menderita kelaparan. Bagaimana pula mo mikir sekolah, wong buat makan aja gak ada). Di salah satu trotoar di pinggir Summer Palace banyak pedagang kaki lima dan salah satu ada yang menjual kuas besar (souvenir) untuk menulis huruf China. Lucunya salah satu pedagang kuas begitu melihat kami langsung menulis di trotoar dan katanya .... Indonesiya.... Sukalano.... Sukalano... sambil menunjukkan tulisannya dan mengacungkan jempol. Rupanya Indonesia dan Presiden Sukarno masih melekat di hati orang China khususnya generasi tuanya.

Temple of Heaven adalah bangunan megah berbentuk payung raksasa, dengan lantai yang terbuat dari potongan2 marmer raksana, tempat dilakukannya acara sesembahan untuk para Dewa, sejak jaman sebelum Masehi. Seperti di banyak tempat di belahan dunia, para raja itu selain memonopoli kehidupan di dunia juga berkehendak memonopoli akherat sehingga selalu ada tempat (yang megah, besar, indah) dimana para pendeta yang katanya memahami bahasa ‘langit’ itu membimbing para raja untuk melakukan berbagai upacara, supaya selamet dunia akherat. Ada upacara penyembelihan hewan qurban yaitu sapi muda dan ada serangkaian upacara yang cukup rumit (diceritain cukup rinci ama guide kami). Para raja/kaisar China itu sebelum melakukan upacara juga diharuskan berpuasa selama 3 hari dengan tidak memakan makanan tertentu. Rupa2nya berpuasa itu sudah dianjurkan sejak jaman dahulu kala, dari berbagai agama/kepercayaan.

Patung2 dan berbagai lukisan serta ukiran di Temple of Heaven ini seperti juga ditemukan di Summer Palace maupun di Forbidden City menunjukkan bahwa merekapun mempercayai sesuatu di ‘langit’ yang mengatur kehidupan dunia, adanya kehidupan akherat serta percaya adanya mahluk2 lain selain manusia seperti dewa2, jin/setan berikut binatang2 ganjil (temanku Brahmantyo yang rada2 paranormal itu bilang bahwa patung2 binatang ganjil itu juga dijumpai di tanah Jawa dan memang merupakan peliharaannya para jin/setan. Hhhiiii). Hanya saja mereka tidak menghubungkan acara2 itu dengan Allah yang Esa dan merekapun bukan pengikut agama Ibrahim kecuali di beberapa tempat di bagian barat-barat daya China.

Akhirnya, kesampaian juga .... kami menginjak-injak salah satu dari tujuh keajaiban dunia : Tembok Besar China. Bangunan itu tampak bagai ular raksasa, meliuk-liuk mengikuti punggung perbukitan. Tak bisa dipungkiri bahwa bangsa China sudah menguasai teknologi pembuatan bangunan sejak ribuan tahun yang lalu. Bila Borobudur disusun dari batu2 berukir tanpa semen maka bangunan2 di China yang jauh lebih tua umurnya dari Borobudur ini sudah mengenal semacam semen. Ukiran memang tidak ada di Tembok China tapi di bangunan kuno lain semisal istana maupun kuil2, ukiran2 dan lukisan2 di atas batu, tembok dan kayu itu menunjukkan tingginya kebudayaan China sejak ratusan-ribuan tahun yang lalu. Tembok besar ini konon panjangnya mencapai lebih dari 6400 kilometer, dibangun pada jaman pemerintahan kaisar Shin Shi Huang Ti. Bila panjang Jalan Raya Daendless dari Anyer ke Panarukan yang ‘cuma’ 1000 kilometer itu udah memakan begitu banyak korban dari rakyat.... gimana juga yang 6000 kilometer dan berbentuk bangunan pula. Tidak cuma panjang, tembok ini juga cukup lebar, kami bisa berdiri bersisian ber-8 atau 10 pada salah satu bagian tembok, meski enggak semua sama lebar.

Kami tidak menyia-nyiakan kesempatan langka ini dengan menaiki tangga ... menelusuri sebagian keciiil dari Tembok Raksasa ini. Dari salah satu tempat pengintaian di puncak bukit... tampak kota Beijing. Perbukitan dimana tembok dibangun di atasnya (batuannya adalah gamping kalkarenit, kata Brahmantyo yang juga geologist)itu mengelilingi bagian barat-utara kota Beijing. Tembok ini dibangun selama ratusan tahun, oleh beberapa dinasti kaisar, yang katanya bertujuan untuk menahan serangan orang2 Mongol (ingat sejarah, sebelum Masehi, ada raja Mongolia yang amat gemar berperang, namanya Timur Leng, orang barat menyebutnya Tamerland, beliau dan keturunannya ini yang menakuti kaisar2 China, rupanya). Kayaknya sih itu para kaisar China lebih ke parno deh... (parno, bahasa gaul untuk paranoid) takut ama serangan Mongolia padahal kota Beijing sendiri di bagian barat dan utaranya udah dibatasi oleh pegunungan yang begitu keras batuannya dan ditutupi oleh hutan lebat... kenapa harus dikasih tembok yang segitu gedenya, segitu panjangnya dan dibangun ratusan tahun pula. Kasian bener rakyat yang jadi pekerjanya ya ! Yah, yang namanya rakyat emang selalu jadi korban para kaisar/penguasa aja dari dulu sampe sekarang. Istana kaisar, Forbidden City itu berlapis-lapis, selain dikelilingi oleh tembok dalam kemudian tembok luar istana, parit yang cukup lebar, juga ada tembok di pinggir kota yang nyaris mengelilingi istana, barulah ada The Great Wall ini, semuanya katanya untuk menahan serangan musuh. Bener2 parno deh ! Ternyata yang “menghancurkan” kekuasaan kekaisaran yang nyaris tanpa batas itu bukanlah kekuatan dalam bentuk fisik melainkan dalam bentuk ideologi : Komunis !

Setelah cukup lelah menaiki tembok raksasa bersejarah itu kami mampir ke restoran gak jauh dari tembok besar. Bangunan 3 tingkat ini merupakan sentra industri kerajinan dari tembaga (enamail factory) dimana dibuat guci berbagai ukuran dan bentuk juga piring2 hiasan, terletak di lantai pertama. Di pabrik ini kami dikasih tau gimana guci atau piring2 itu dibuat, yang meski dari tembaga, guci itu gak kalah halus dibandingkan dengan yang dari keramik. Aku membeli sepotong guci kecil dan piring hiasan kecil, untuk oleh2. Restoran besar terdapat di lantai tiga, memiliki ruangan khusus untuk muslim, ada musolanya dan... terpampang foto AA Gym di sana. Surprais juga ngeliat foto ulama terkenal kita itu ... beribu kilometer dari tanah air, di negeri komunis sosialis. Mungkin sih alasan disediakannya mushola bukan religius tapi adalah bisnis, dan bahwa negara2 Islam (Malaysia, Indonesia, Brunei, negara2 Arab) adalah pasar yang menjanjikan untuk pariwisata negaranya. China itu kan memang pandai menjual, pandai berbisnis.

Selama 6 hari di China, Alhamdulillah, kami selalu medapatkan restoran muslim yang bagus, bersih dan enak (soal makanan kan memang aku taunya cuman enak dan enak sekaleee). Tau kan.... orang China itu yang mengajari seluruh dunia memasak, termasuk orang Italia (melalui Marco Polo). Ada tiga hal dimana seluruh dunia diajari oleh bangsa China yaitu masakan, pengobatan dan bisnis. Orang Yahudi juga merupakan pionir bisnis di seluruh dunia tapi enggak terkenal ada masakan Yahudi atau pengobatan ala Yahudi. Mungkin seni perang juga dari China dan Chinalah yang menemukan bubuk mesiu. Mestinya seni bangunan juga karena The Great Wall, Forbidden City, Summer of Palace, Temple of Heaven adalah bangunan2 yang sudah berusia ratusan-ribuan tahun. Juga kertas pertama kali diciptakan oleh bangsa China. Yang jelas, kemanapun kita pergi ke seluruh dunia, sampai saat ini, kita akan selalu berhadapan dengan orang China untuk urusan masakan, pengobatan dan bisnis/dagang.

Sebelum berangkat ke China seorang temen se kantorku pesen supaya aku gak sembarang memasuki WC umum karena orang China juga terkenal joroknya tapi syukurlah selama di sana aku gak pernah menemukan WC yang kotor. Mungkin karena selalu makan di restoran muslim maka WC-nya selalu bersih ? Jika kita menyebut WC dengan kamar mandi, orang Perancis bilang toilet dan orang Amrik bilang rest-room maka orang China bilangnya wash-room. Lebih masuk akal ketimbang rest room atau water closed dan lebih dekat dengan istilah Indonesia : kamar mandi (China : kamar cuci).

Yang paling berkesan adalah acara makan siang bersama pengundang kami dari Petrochina dan juga BGP (salah satu oil services company dan juga mengundang kami mengunjungi Pusat Riset mereka dan makan siang bareng). Di restoran dengan hidangan halal itu sudah disiapkan satu meja makan bundar dan untuk bos rupanya dikasih tanda di depan mejanya, dengan bunga. Para pelayan selalu berada di sekitar meja kita, melayani. Aku mendapat kehormatan duduk disebelah bos dan....... diambilin makanan dari sumpit sang bos ! Rupanya itulah bentuk keramahtamahan bangsa China ; sumpit itu digunakan untuk mulut kita dan untuk mengambil makanan di depan kita. Coba deh, kalo di rumah kita ambil makanan di meja dengan sendok yang bekas dipake ke mulut kita... pasti dimarahin ama ibu kita ! Hidangan datang silih berganti, mulai dari pembuka (beberapa jenis), makanan utama (beberapa jenis) dan penutup (beberapa jenis) dan tanpa nasi. Karena semuanya enak dan enak sekali ... lupalah aku dengan nasehat Nabi : berhentilah makan sebelum kenyang ! Aku betul2 kekenyangan ! Oh, ya... tentu aja sebelum makan ada semacam kata2 pembukaan, terima kasih dan ‘toast’. Karena kami (aku dan Brahmantyo), menolak minum sampanye atau anggur maka toast itu dilakukan dengan gelas berisi jus jeruk !

Pada salah satu restoran, saat kami bersiap untuk makan, hidangan itu dipamerkan dulu pada kami, trus dibawa lagi ke dalam dan (ternyata) makanan itu dibagi-bagi dalam mangkuk/piring kecil barulah dihidangkan ke kami. Aku sempet bingung…. Loh.. kok dibawa masuk lagi… !

Kami sempat makan malam di restoran namanya Dinasty, yang juga menyajikan musik dan tari2an yang katanya berasal dari China belahan barat-selatan. Memang lain dengan musik China karena ini lebih bernuansa Timur Tengah, lengkap dengan rebana, gitar arab dan tari perut ! Ada-ada aja... katanya ini “budaya muslim” tapi memamerkan perut, dan para pemusik dan penari itu cantik2 dan ganteng2... mungkin karena campuran antara China dengan bangsa Persia/Arab. Ada komentar juga “makanannya sih halal… tapi tariannya tuh enggak halal”.. hahahahhaa…

Rasanya gak seru kalo gak ngomongin belanja atawa shopping di Beijing. Kami tinggal di hotel di tengah kota, dekat dengan pusat perbelanjaan (Wang Fu Jing Street) sehingga memudahkan kami untuk belanja oleh2. Kami juga dibawa oleh ‘guide’ ke sentra industri resmi untuk guci/piring (kerajinan tembaga), sutera, mutiara, jade, teh, dan di sana harganya cukup mahal dan gak bisa ditawar, namun karena disainnya bagus dan mutunya dijamin aku membeli juga, beberapa. Bila mau yang harganya cukup murah (dengan barang yang terlihat hampir sama dengan yang mahal) kita bisa ke pasar maupun ke mal namun harus menawar mati2an dulu. Ada cukup banyak pasar (market) yang berisi barang2 suvenir, yang khusus untuk para wisatawan berbelanja.

Dalam hal tawar menawar ini aku mengandalkan temanku Marike, dari Petrochina Indonesia yang emang udah sering ke Beijing dan udah tau harga. Mula2 aku merasa ‘takut’ ketika dia menawar 1/5 dari harga semula tapi... dikasih tuh ! Gile bener ! Tapi jangan coba2 deh... udah menawar trus kita tinggal ngacir ke tempat lain dan menawar barang yang sama, bisa2 si pedagang semula me-maki2 kita. Meski kami gak ngerti bahasanya... jelas sekali kalo dia marah2 (Marike cuek aja tuh... katanya biarin ajah !). Kalkulator adalah barang penting untuk menawar di pasar tapi banyak juga kok pedagang yang udah bisa berbahasa Inggris ‘pasar’. Yang jelas aku gak berani kalo harus belanja ke pasar sendirian karena gak tau harga dan para pedagangnya itu agresif sekali ! Pasar dan toko di Beijing umumnya tutup jam 9-10 malam jadi kami punya cukup waktu untuk beli oleh2 (karena acara resmi di kantor kan mulai dari jam 9 pagi sampai jam 4 sore). Memang memuaskan berbelanja di Beijing terutama karena harganya yang murah. Meskipun demikian aku ternyata gak perlu nambah tas dan enggak ‘over weight’ (Alhamdulillah, belum pernah). Rupanya nafsu belanjaku masih berkategori normal aja, ya !

Soal jam kantor, ada hal yang menarik. Ternyata umumnya penduduk China itu adalah penggemar tidur siang ! Mereka masuk kerja jam 8 atau jam 9, kemudian istirahat siang dari jam 12 sampai jam 3 siang, trus masuk kantor lagi dari jam 3 sampai jam 6 sore atau sampai malam. Katanya mereka selalu membutuhkan tidur siang sekitar 1 jam, setelah makan siang, supaya segar dan bisa kerja sampai malam. Namun, untuk perusahaan2 Internasional seperti Petrochina, kayaknya jam kerja dengan acara “tidur siang” ini enggak berlaku, terutama di kalangan manajernya, mungkin karena mereka sudah terbiasa dengan jam kerja internasional.

Pemerintah China tampaknya serius menangani industri pariwisata maupun industri kerajinan rakyatnya. Hebat, memang. Dari negara yang begitu tertutup, dalam waktu singkat sang tirai bambu dibuka dan menjelma jadi negara industri yang maju.

Begitu juga dengan industri migas. China mempunyai cukup banyak lapangan minyak dan gas dan salah satu lapangannya memproduksikan tak kurang dari satu juta barel minyak per hari, sama dengan produksi minyak seluruh Indonesia, dan China juga punya lapangan gas raksasa. Mereka sudah berswasembada dalam migas tapi kebijakan pemerintah China, 10-15 tahun terakhir ini adalah ‘go international’ baik untuk perusahaan migas negara yang menanam investasi di negara lain maupun untuk perusahaan penyedia jasa (services company) dalam bidang migas. Mungkin mereka berpikir : ayo kita habisin dulu migas di negeri lain sebelum migas di negeri kita habis. Saat ini mereka sedang menegosiasi harga pembelian gas dari Indonesia (dan simpanan gas mereka, disayang-sayang). Sejauh ini China belum punya perusahaan swasta dalam bidang migas, semuanya perusahaan negara. Perusahaan Negara China itu antara lain Petrochina, CNOC, CNPC, Sinopec dan untuk services antara lain adalah BGP, dll. Mereka juga punya pusat riset yang cukup canggih di bidang migas dengan sejumlah besar peneliti, doktor lulusan amrik dan eropa, kerjasama erat dengan Universitas dan terutama didukung oleh “industri hulu” yang murah dan andal, perangkat keras (harware) dan perangkat lunak (software) adalah buatan negeri sendiri, dll. Industri hilir juga maju pesat, aku belum melihat satupun “pom bensin” (gas station) lain selain “Sinopec” – milik pemerintah - di Beijing dan sekitarnya.

Beda banget ma indsutri migas Indonesia. Udah puluhan tahun tapi belum juga punya pusat riset migas yang “terpakai” di industri (masih sedikit lah, Lemigas misalnya ??), belum punya pabrik untuk bikin geophone atau kabel(karena lebih murah membeli aja ?), boro2 bikin “rig” sendiri. Belum punya perangkat lunak yang dikembangkan sendiri, apalagi hardware-nya. Padahal dari sisi kemampuan anak bangsa untuk membuat software…. gak jauh lah dibandingkan dengan kolega dari berbagai bangsa. Liat aja perangkat lunak buatan mahasiswa (S1 dan S2) kita… wuih.. canggih2, cuman ya itu… belum ada yang mengembangkannya sehingga menjadi industri yang siap di pasaran. Udah puluhan tahun ada industri migas di Indonesia tapi kita masih juga jadi pengguna, masih jadi pembeli yang baik, masih tergantung pada teknologi asing (dan modal asing). Tentu aja semua itu tergantung pada keinginan pemerintah. Kita sebetulnya juga punya Pertamina dan Medco dan Elnusa. Perusahaan2 di China itu didukung penuh oleh pemerintahnya sehingga bisa maju dan berkembang dan saat ini sudah mampu menjadi saingannya perusahaan migas (dan services company) dari negara “maju” baik dari Amerika, Eropa maupun Australia.


Jakarta, 20 Juni 2005.
Salam,
Nuning



Pernah dimuat (sebagian tulisan) di :
-----Original Message-----
From: Nugrahani
Sent: Monday, June 20, 2005 2:54 PM
To: 'Saputro, Mimbar'; mimbar-list@gajahsora.net
Subject: Beijing