Jumat, 05 Desember 2008

Tentang Cairo

Sejak tahun lalu kami merencanakan untuk berumroh sekeluarga dan untuk itu kami mengumpulkan informasi (selain ngumpulin dolar juga, tentu) tentang paket2 umroh di berbagai agen perjalanan. Setelah berunding, kami sepakat untuk menggunakan agen perjalanan yang sama ketika kami berhaji dua tahun yang lalu. Bukan apa2... cuman karena kami udah kenal aja sama pengurusnya, karena dari segi biaya maupun paket yang ditawarkan sih enggak beda jauh antara satu agen dengan lainnya. Kami mengambil paket umroh plus tur ke Bangkok dan Cairo tanggal 29 Juni sampai dengan 9 Juli 2005. Jadi kami ke Bangkok dulu trus ke Cairo, barulah ke tanah suci Medinah (3 hari) dan Mekah (4 hari). Kenapa mampir ke Bangkok dan Cairo ? Alasan utamanya adalah karena belum pernah dan sekalian jalan2. Di Bangkok kami cuman 1,5 hari dan sempat melakukan “city tour”. Soal Bangkok, nanti2lah aku ceritain di kesempatan lain. Ke Cairo ? Kapan lagi berkesempatan menginjak benua Afrika ? Sampai dengan Juli 2005 ini, Alhamdulillah, aku udah pernah mengunjungi benua Amerika (5 kali), Australia (2 kali), Eropa (3 kali), tentu saja Asia (Jepang, China, Hongkong, Singapore), hanya benua Afrika yang belum pernah kukunjungi (dan belum pernah ke kutub sih… gak tau apa ada pake tur ke Antartika atau Artik ?). Alasan lainnya adalah kepengen liat piramid sebagai salah satu “keajaiban dunia” setelah kami liat Borobudur dan bulan Mei kemarin aku ke Tembok Besar China.

Sebetulnya sih aku pengen banget ke Masjidil Aqso di Yerussalem - yang konon dibangun pertama kali oleh Nabi Sulaiman AS dengan bantuan para jin - tapi enggak ada satupun agen perjalanan yang bikin tur ke sana. Mungkin kuatir kena peluru Israel atau minimal kena lemparan batu dari para pemuda Palestina. Timur Tengah memang tanah yang tak henti2nya bergolak. Kalo berkesempatan untuk ambil paket umroh + tur, dua - tiga tahun lagi (Insya Allah, tergantung kumpulnya dolar, nih) kami berencana ingin mampir ke Turki (Istambul) dan / atau ke Yordania (Amman), yang mudah2an aman. Amin.

Aku cuman lagi kepengen cerita tentang Cairo.

Kami tiba di Cairo pada pukul 11 siang. Panas menyengat, itulah yang kami rasakan saat pertama kali mendarat di Cairo. Rasanya seperti kita sedang membuka oven di dapur, saat membuat kue. Panas, kering, menyengat. Bulan Juli adalah musim panas. Puncak musim panas di sini adalah awal Agustus dimana suhu udara bisa mencapai 52 derajat Celcius, saat itulah pohon kurma siap dipanen. Katanya kurma akan matang dengan bagus kalo suhu udara setidaknya 50 derajat. Bandingkan dengan Jakarta, yang paling panas aja, paling2 cuman sampe 33-35 derajat dan dengan kelembaban udara tinggi sehingga enggak terasa menyengat (kenapa ya... udah bulan Juli gini.. Jakarta kok masih aja diguyur hujan ... kapan mulai musim kemaraunya ?). Kami akan tinggal di Cairo selama 2,5 hari.

Bandara udara internasional Cairo itu gak bagus. Bandara Sukarno-Hatta jauuuuhh lebih bagus, lebih rapi dan lebih bersih. Bandara terletak agak di luar kota Cairo, seperti juga banyak bandara di kota2 besar dunia. Kota Cairo disebut Big Cairo karena besar dan luasnya, kalo gak salah terdiri dari 15 distrik ; Nasr City, Heliopolis, Maadi, Shubra, Ramsis, Tahrir, Zamalek, Agouza, Mohandessen, Dokki, Giza, Garden City, El Manial, Old Cairo dan Sayida Zaynab. Bila ada temen2 yang udah pernah membaca novel Ayat-ayat Cinta karangannya Habiburrahman El Shirazy, yang melukiskan kehidupan kota Cairo, tertulis bahwa tempat Fahri – nu boga lalakon tea – belajar mengaji pada Syaikh terkenal adalah di Shubra, utara Cairo sedangkan flatnya (kalo gak salah) di Tahrir, tengah Cairo. Universitas Al Azhar yang sudah berdiri di tahun 900-an itu (jadi umurnya udah lebih dari 1000 tahun) saat ini kampusnya terletak di selatan, di daerah Nasr City. Jaman dulu (kampus lama) terletak di Old Cairo. Sekarang di tempat itu cuman ada mesjid Al Azhar dan taman kota serta kantor Syaikh Al Azhar. Mesjid Indonesia terletak di Dokki. Mesir dan Indonesia adalah sahabat lama. Seperti diketahui Mesir adalah negara pertama yang mengakui kemerdekaan Indonesia. Presiden Sukarno dan Presiden Gamal Abdul Naseer bersahabat erat dan adalah pendiri gerakan Non Blok, bersama dengan presiden YB Tito dari Yugoslavia.

Sayangnya (atau untungnya) aku gak ngerasain panasnya Cairo seperti si Fahri. Fahri adalah nama sang Arjuna di novel “Ayat-ayat Cinta”. Filmnya sih enggak bakalan aku tonton. Ngapain ! Aku enggak terkesan sama sekali dengan AAC ini dan enggak terkesan juga ama si Fahri. Masa iya sih…. ada cowok yang segitu digila-gilainya oleh 4 cewek yang cantik2 dan semua cewek itu memperebutkannya, dengan berbagai cara untuk mendapatkan cintanya ! Ckk…cckk… ckkkk…. ! Salah satu dari keempat cewek itu (Noura) pake cara2 keji segala untuk mendapatkan cinta si Fahri yaitu memfitnah Fahri dan melapor ke polisi bahwa Fahri memperkosanya, dengan harapan Fahri akan terpaksa menikahinya atau setidaknya tidak menikah dengan cewek lain. Cewek lainnya lagi (Maria) sampai tersakit-sakit… dan nyaris mati kalo enggak dikawinin ama si Fahri, bahkan bersedia ganti agama (dari Kristen Koptik) dan jadi bini ke-2. Ampun2 deh, sampe segitunya. Cewek yang satunya lagi, namanya Aisyah…. Duh.. masa iya sih… segitu (digambarkan) begitu cantik luar biasa, kaya luar biasa … pun cinta luar biasa sama si Fahri sampai2 dialah melamar Fahri dan….bersedia dimadu pula, dalam rangka menyelamatkan hidup cewek lain (yaitu Maria yang sakit itu, yang obat sembuhnya cuman satu2nya yaitu dikawinin ama Fahri). Jadi si Fahri ni punya alasan untuk berpoligami ! Wong cewek2nya yang mau ! Kayaknya enggak realistis deh… cuman khayalan di negeri antah berantah dimana dialah, si Fahri itu, satu2nya lelaki, gak ada yang lain, tanpa saingan ! Di novel AAC gak pernah diceritain ada cowok lain yang ‘hebat’ selain si Fahri ini. Apa iya sih…. Fahri itu satu2nya cowok keren se Cairo, se Mesir ? Gak ada cowok lain di Cairo, ya ? Kalo aku jadi orang Mesir, aku jelas marah deh baca novel ini karena 3 dari 4 cewek yang memperebutkan Fahri itu adalah cewek2 Mesir (satu2nya cewek Indonesia ialah Nurul, yang mewek2 patah hati berkeping-keping karena Fahri menikahi Aisyah, tapi dialah satu2nya cewek yang realistis, gak begitu ‘gila’). Nah, Si Fahri yang mahasiswa Indonesia di Cairo itu, diceritakan sering naik Metro atau bis kota dan jalan kaki sehingga merasakan panasnya Cairo. Harus kuakui cerita AAC itu mengalir enak dan berhasil mendiskripsikan kota Cairo dengan amat baik. Aku membaca novel AAC yang berlatar belakang kota Cairo itu sebelum mengunjungi Cairo, jadi serasa ada yang aku “udah tau”. Mau gak mau aku ingat lagi pada novel itu saat mengunjungi Cairo.

Kami, dari bandara langsung dijemput bis besar ber-ac trus ke hotel yang juga ber-ac. Jadi panasnya kota Cairo gak terlalu terasa. Bis yang sama juga kami tumpangi ketika kami tur keliling kota, mengunjungi piramid, museum, dll. Saat kami tiba suhu udara di Cairo tak kurang dari 42 derajat Celcius. (Catatan : Cairo ternyata masih kalah panas, dibandingkan di Mekah dan Medinah yang mencapai 46 derajat ! Ampun deh.. panasnya ! Untungnya, di tanah suci, hotel yang kami tinggali cuman dipisahkan sepotong jalan aja dengan Mesjid Nabawi – Medinah, maupun Masjidil Haram - Mekah, jadi gak terlalu lama “menikmati” terik matahari. Karena menghindari panas itu maka kami melakukan umroh dan tawaf sunnah hanya pada malam hari. Itu sedikit cerita tentang cuaca saat kami umroh).

Di Cairo kami tinggal di hotel di daerah Giza, daerah turis. Selama di Cairo, kami ditemani Tour Guide bernama Sulaiman, pemuda lajang, berasal dari Sulawesi Selatan yang sudah 2 tahun menuntut ilmu di Al Azhar University, lancar berbahasa arab Mesir dan bahasa Indonesia (tentu) dengan logat Bugis. Selain Sulaiman, ada juga seorang local guide bernama Djamal, pemuda bertubuh tinggi besar, berkulit gelap dan berambut keriting, yang cukup lancar berbahasa Inggris.

Orang2 Mesir rupanya berjenis-jenis : ada yang berkulit putih, coklat dan hitam, ada yang tinggi dan ada yang pendek, ada yang berambut keriting, ada yang lurus2 aja (dan ada yang botak, tentu, hehehehe), ada yang bertampang arab dan ada yang bertampang Afrika (negro / nigger / Nigeria) serta ada yang tampangnya rada2 bule. Tau gak… kata Mesir yang disebut orang2 Indonesia itu itu berasal dari kata Misroh ! Negara2 Arab dan sebagian negara Afrika pun sampe sekaranng masih menyebutnya Misroh sedangkan negara Eropa (dan Amerika) menyebut negara ini dengan kata Egypt. Entah dari mana kata itu berasal.

Berbeda dengan di Arab Saudi, kaum perempuan di Mesir ternyata gak banyak yang berjilbab meski enggak juga mengumbar aurat sih. Sebagian besar berpakaian modern - modern maksudnya enggak seperti pakaian perempuan di Arab Saudi, yang cuma tampak matanya – (eh... atau yang ‘modern’ itu sebetulnya yang kayak di Arab Saudi ya...., dan yang mengumbar aurat itu ‘jahiliyah’ ?). Sebagian perempuan juga tampak menggunakan pakaian panjang berikut selendang yang cuma menutupi sebagian kecil rambut, mirip dengan pakaian se-hari2 ibu2 kita di daerah Sumantera Barat atau daerah lain di Indonesia.

Kayaknya sih, meski enggak ada yang nyuruhpun, perempuan2 di Timur Tengah dan sekitarnya akan lebih senang menggunakan pakaian yang menutupi seluruh tubuh dan wajah (kecuali mata), yang akan melindungi kulit mereka dari suhu udara yang begitu ekstrim (bisa cuman satu digit, pas puncak musim dingin dan bisa lebih dari 50 derajat, pas musim panas). Bahkan yang laki2 pun senang menggunakan penutup kepala, untuk mengurangi penguapan. Baik pada musim panas yang menyengat maupun musim dingin yang menggigit, di daerah sekitar Timur Tengah, memang lebih nyaman apabila menggunakan pakaian yang menutupi seluruh tubuh dan kepala. Saya merasakannya sendiri, karena berhaji ketika musim dingin dan berumroh saat musim panas.

Cairo dikenal sebagai sebutan “kota dengan seribu menara”. Di sana ternyata gak cuma mesjid yang punya menara tapi juga kuburan. Perjalanan hari pertama, dari bandara ke hotel kami di wilayah Giza, kami melewati daerah yang dikenal sebagai “kota makam” karena dikiri-kanan jalan dipenuhi kuburan. Uniknya kuburan di sana merupakan bangunan yang bertingkat (agak mirip ama kuburan orang2 China di Indoensia tapi yang ini lebih besar dan punya menara) dimana di bagian bawahnya (atau di bawah tanah) adalah kuburan/makam sedangkan di bagian atasnya katanya merupakan tempat tinggal. Penduduk miskin yang tidak mampu menyewa rumah, tinggal di atas kuburan tersebut sekaligus menjadi penjaga kuburan. Setiap bangunan kuburan biasanya untuk beberapa keluarga besar. Ide unik juga ya... lahan yang terbatas, penduduk banyak, gak mampu sewa (apalagi beli) rumah, ya... jadi satu deh.... yang hidup dan yang mati ! Hidup-mati bersama, berdampingan dengan damai (?? Serem gak ya ? Gak kedengeran tuh…. cerita tentang hantu pocong di Mesir ! Kalopun ada cerita/film seram dari Mesir pasti itu mengenai “mummy” bukan hanto pocong ! ). Katanya ada sekitar 2 juta penduduk yang tinggal di atas kuburan tersebut (iya... dua juta !). Tommy Suharto harus belajar dari sini... ketimbang dia menggusur kuburan Blok P di Kebayoran untuk bikin apartemen, mungkin dengan nasehat arsitek dari Cairo dia bisa bangun apartemen mewah di atas kuburan. Hihihhii ! Pemerintah kota Cairo katanya juga menyediakan lahan pemakaman untuk penduduk tidak mampu. Berapa sih jumlah penduduk Cairo ? Ternyata tak kurang dari dua puluh juta jiwa. Gak nyangka ya... ada kota yang jauh lebih banyak jumlah penduduknya dibandingkan dengan Jakarta.

Dengan total penduduk sekitar 70 juta jiwa, Mesir sebetulnya memiliki daratan yang cukup luas namun sebagian besar lahannya berupa padang pasir (yaitu sebelah barat, berbatasan dengan Libya) sehingga penduduknya tumplek blek di sekitar kota2 besar dan di sekitar aliran sungai Nil – yang mengaliri negeri Mesir sebelah timur, dari ujung selatan ke ujung utara. Mesir harus baik2 menjaga Sungai Nil, karena di situlah hidup mereka bertumpu terutama bidang pertanian (ingat Bendungan Aswan di hulu Sungai Nil ?). Sungai Nil berasal dari beberapa sumber antara lain dari Danau Victoria di Kenya dan juga dari daerah Aswan di Mesir. Mesir harus berbagi manfaat dari sungai terpanjang di dunia ini dengan beberapa negara yaitu Kenya, Sudan dan Ethiopia.

Bangunan2 di Cairo hampir semua enggak diplester dan enggak dicat warna-warni. Entah mengapa pabrik cat di sana enggak agresif menawarkan dagangannya... karena seluruh kota hampir tampak sama warnanya ... coklat kekuning-kuningan..... serupa warna pasir dan batu2, tanpa plester/tembok dan cat, kusam dan berkesan tua (memang Cairo itu kota tua, ya !). Mobil2 tampak berdebu. Tempat pencucian mobil rupanya enggak laku di Mesir. Mereka mungkin malas mencuci mobil karena dalam hitungan menit mobil2 tersebut sudah kembali diselimuti debu. Gak terlihat banyak bersliweran mobil2 mewah di jalan2 utama Cairo, enggak kayak di jalan Thamrin-Sudirman kita. Taxi di Cairo adalah mobil dengan cat hitam-putih (bukan kayak zebra loh, tapi cat hitam dengan aksen putih di sisi kiri kanan mobil). Katanya, kalo penduduk udah bosen dengan mobil pribadinya maka mereka mencat mobilnya dengan hitam-putih dan... jadilah taxi. Makanya jarang terlihat taxi yang bagus (kecuali yang jenis ‘limo’), umumnya mobilnya rada butut - maklum mobil tua, dan enggak ber-ac. Cairo enggak semacet Jakarta atau Bangkok, meski disesaki oleh 20 juta jiwa. Mungkin ini karena sarana transportasi umum jauh lebih baik dibandingkan dengan kedua negara tsb.

Saat ‘city tour’ kami melihat bangunan besar yang disebut benteng Saladin. Mudah2an masih ingat bahwa Sultan Saladin (nama aslinya Salahuddin Al Ayubi) adalah pahlawan perang salib, di abad ke 12, yang berhasil menaklukan kota Yerussalem. Aku ingat lagi akan nama Saladin ini pas nonton filn “Kingdom of Heaven” karena nama beliau selalu disebut-sebut di sepanjang film, meski cuman muncul sebentar aja. Film ini bagus banget, menurutku. Sultan Saladin juga memerintahkan membuat ‘jalur air’, untuk mengalirkan air dari Sungai Nil ke dalam Benteng, sepanjang 7 km. Sisa-sisa dari jalur air ini (serupa talang air, yang disangga tiang2 batu di sepanjang jalan) masih tampak di beberapa tempat hanya sudah tidak utuh lagi. Maklum, sejak abad ke-12. Benteng raksasa itu mengingatkan kebesaran Sultan yang mulia ini.

Kami juga sempat menziarahi makam Imam Syafii. Imam Syafii berasal dari Irak. Meski hidup cukup lama di Mesir, sekitar 10 tahun, dan meninggal di Mesir, Imam Syafii gak banyak punya pengikut di negeri Firaun ini. Sebagian besar pengikut Imam Syafii malah ada di Asia Tenggara (Indonesia, Malaysia), yang menerima Islam dari pedagang2 Gujarat (India), dari China dan dari Yaman. Seperti kita ketahui ada 4 Imam besar yang memiliki mazhab (aliran) masing2 yaitu Wahabi, Hambali, Maliki dan Syafii. Aku gak jelas bener apa mazhab Islamnya orang2 Mesir, katanya campuran dan setiap Imam punya pengikut di Mesir ini. Penduduk Mesir, 80 % beragama Islam, Kristek Koptik sekitar 15 % dan sisanya agama lain2. Makam Imam Syafii terletak di dalam mesjid yang cukup besar dan indah, atapnya adalah kubah besar yang penuh hiasan ukiran2 dari kayu. Selain makam Imam Syafii di mesjid itu ada makam2 yang lain yaitu makam dari Sultan Muhammad Kamil (Sultan yang memerintah di jaman Imam Syafii tinggal di Mesir), makam Abdullah bin Hakam dan makam Ratu Matahari, ibunda dari Sultan Salahuddin Al Ayubi. Ada jejak telapak kaki di lantai semen mesjid ini, yang dipercaya sebagai jejak tapak kaki Rosulullah SAW. Walahualam. Banyak peziarah yang berdoa sambil menangis di sekeliling makam Imam Syafii dan terlihat bertebaran kertas yang berisi doa/permintaan2 dari para peziarah yang diselipkan ke dalam kotak kaca yang mengelilingi makam sang Imam. Ada2 aja. Banyak pengemis di sekitar makam Imam Syafii ini. Soal pengemis dan minta doa di makam, mirip dengan di Indonesia.

Ada banyak mesjid indah di Cairo, salah satunya adalah Mesjid Alibasyah. Alibasyah adalah kakek dari Raja Farouk - raja Mesir terakhir yang digulingkan oleh tentara (dengan salah satu pemimpinnya : Gamal Abdul Nasseer) dan membuat Mesir jadi Republik, tahun 1940-an. Kabarnya sang raja Alibasyah ini memiliki istri sebanyak jumlah hari dalam setahun yaitu 365 orang. Kebayang aja.... setiap istri harus nunggu giliran... cuman dapet setahun sekali, cing ! Keerrriiiiiiinnggg !! Mesjid indah ini katanya mirip dengan mesjid biru di Turki, disebut juga sebagai mesjid marmer karena seluruh bangunannya dilapisi marmer. Juga disebut mesjid benteng karena letaknya berdekatan dengan benteng Salahudin.

Piramid. Kebayang gak sih.. kami mengunjungi piramid, bangunan tertua di muka bumi, yang diketahui dibangun lebih 2600 tahun sebelum Masehi yang artinya saat ini udah berumur lebih dari 5000 tahun ? Kami tinggal di Hotel Delta Pyramids (atau Hotel Kaoud) di Giza dan ketika kami membuka jendela kamar hotel, tampaklah sang piramid. Gak sabar rasanya kami menunggu saat ‘city tour’. Piramid Giza, akhirnya, kami kunjungi dalam naungan panas terik sore hari, terletak di suatu bukit pasir dimana tampak kota Cairo di sekelilingnya. Piramid2 ini sempat terkubur selama ratusan/ribuan tahun sebelum akhirnya ditemukan oleh arkeolog Perancis di awal abad ke-19. Hampir sama ya... dengan Borobudur yang terkubur ratusan tahun oleh letusan gunung Merapi dan ditemukan oleh orang Belanda (letusan dasyat Merapi ini juga yang menghancurkan kerajaan Mataram Hindu/Budha, dan setelah itu pusat kerajaan di Jawa pindah ke daerah Jawa Timur seperti kerajaan Kediri, kerajaan Majapahit, sebelum kembali lagi ke Jawa Tengah yaitu kerajaan Mataram – Islam). Aku enggak jelas benar apa yang menyebabkan piramid2 itu terkubur... kan gak ada gunung di Afrika utara. Mungkinkah banjir besar tahunan dari Sungai Nil yang menyebabkannya ?

Dari dekat, piramid tidak tampak seindah penampakannya dari jauh, karena batu2an penyusun piramid itu – ternyata - kasar. Bila Borobudur tersusun oleh batu2 padat yang dipahat halus membentuk lukisan2 indah maka batu2 penyusun piramid ini adalah batu2 ‘telanjang’ yang berbentuk persegi panjang raksasa, berukuran lebih dari 1 meter (mungkin 1,20 meter) panjang, dan sekitar setengah meter, lebar. Tidak ada pahatan2 lukisan. Kebayang gimana membuatnya.... pasir2 dari Sungai Nil dibentuk persegi panjang dengan ukuran yang sama, dipadatkan, kemudian dibawa dengan kendaraan beroda (orang kan susah mengangkut batu seberat itu, kecuali udah minum ramuannya Panaromix, dukunnya orang Galia – di komik Asterix) dan kemudian disusun berbentuk piramid dimana di dalamnya ada rongga2 untuk menyimpan mummy sang raja dan keluarganya beserta harta karun yang luar biasa. Berarti jaman dahulu kala itu para arsitek Mesir udah menemukan alat semacam katrol raksasa untuk mengangkat batuan2 besar dan berat sampai membentuk piramid dan udah punya alat ukur yang canggih sehingga kelurusan piramid itu tidak tercela dan mampu bertahan lama. Keringnya udara Mesir memang juga membantu keawetan bangunan2 di sana. Seperti juga Borobudur, Piramid tidak menggunakan semacam semen seperti Tembok Besar China, murni cuman tumpukan batu2 aja. Jalan masuk ke dalam piramid itu terletak pada posisi sekitar sepertiga tinggi di salah satu sisi piramid dan sangat kecil, harus berjongkok untuk melewatinya, sangat panas dan pengap sehingga kami urung memasukinya. Lagipula, kata guide, isi piramid itu udah kosong karena udah diangkut semua ke museum. Ketika kami tanya apa ada lorong2 rahasia, dll..... sang guide cuman ketawa aja. Dia juga membantah bahwa rakyat yang membangun piramid dibunuh semua agar rahasia tak terbongkar........ katanya itu semua cuman cerita di film !

Ada tiga buah piramid di Giza yaitu Cheops (2610 Sebelum Masehi), Chepren (2650 SM) dan Mangkara (2600 SM). Dari ketiga raja tersebut, Mangkara atau Mycerinos adalah yang paling dicintai oleh rakyatnya namun dia gak tega ama rakyatnya yang berjuang membangun piramid sehingga piramidnya tampak paling kecil. Jadi gak semua Fir’aun itu kejam dan jahat. Fir’aun atau Pharaoh (Faraoh, karena lidah orang barat sulit untuk menyebut Fir’aun) adalah sebutan untuk raja di Mesir, jadi bukan nama satu orang. Rupa2nya setiap raja Mesir yang naik tahta, hal yang pertama dilakukannya adalah membangun kuburan alias piramid untuk dia dan keluarganya (jadi dalam satu piramid itu ada beberapa makam, gak untuk satu raja aja) dengan kepercayaan bahwa dia harus membangun kehidupan di akherat, dengan cara mengawetkan jasadnya, membawa serta harta bendanya di dunia berikut tentara2nya (yang diwakili oleh banyaknya patung2 tentara di dalam piramid). Sungguh suatu kepercayaan yang ‘aneh’ kalo dipikir sekarang tapi bahwa di China (orang China sampe sekarangpun masih ada yang membawa serta pakaian, uang, dll ke dalam kuburan mereka) dan di belahan dunia lain .... kepercayaan itupun juga ada ...... jadi kita gak bisa bilang bahwa itu aneh. Mungkin jaman dulu itu... “tren”-nya ya... begitu. Mungkin itulah salah satu sebab mengapa kemudian Allah menurunkan Nabi2 dan Rasul, yang antara lain untuk memberitahukan kepada kita tentang kehidupan akherat dan mengikis ‘kepercayaan’ yang aneh itu. Bahwa bekal kehidupan akherat bukanlah raga kita dan harta benda nyata, tapi adalah amal ibadah kita (gitu kan ya... pak ustadz ?).

Spinx, patung singa berkepala manusia yang hidungnya rombeng itu, ada di dekat piramid Giza. Kecil aja, ternyata, gak begitu besar. Gak semua piramid dihiasi oleh spinx. Kenapa memilih bentuk spinx ? Guide kami menerangkan bahwa para raja itu kepengen kuat seperti singa namun cerdas seperti manusia. Iya deh ! Kenapa hidungnya rombeng ? Rupa2nya bagian tubuh (termasuk tubuh patung) yang paling sensitif, yang paling cepat rusak, adalah hidung !

Piramid enggak cuman ada di Giza tapi menyebar di sepanjang delta Sungai Nil. Yang banyak adalah di Luxor, sebuah kota di jalur Sungai Nil juga namun terletak di selatan Mesir. Butuh waktu beberapa jam untuk mencapai Luxor dengan naik bis sehingga kami harus menambah waktu 2 hari lagi (minimal) untuk bisa ke Luxor. Tentu aja karena tujuan utama kami ke Tanah Suci, acara tersebut tidak kami ikuti. Piramid Tutankhamun yang terkenal itu ada di Luxor.

Museum Mesir (Egyptian Museum) terletak di daerah Tahrir, kami kunjungi keesokan harinya. Di sana kita bisa menyaksikan tingginya peradaban Mesir di jaman sebelum Masehi. Gak cuman Mummy tapi juga segala perhiasan emas dan permata, yang selama ribuan tahun tersimpan di dalam piramid, patung2 yang indah2, kertas2 papirus bertuliskan huruf hieroglyph, gambar2, lukisan2... wah... sungguh menakjubkan... apalagi mengingat itu semua dibuat ribuan tahun yang lalu. Guide kami menerangkan gimana cara membuat paper/kertas untuk menulis (hieroglyph). Kami juga diterangkan cara membuat mummy, teknik mengawetkan mayat... dimana jenasah itu dibuang otaknya melalui hidung (hihihihi... rupa2nya kehidupan akherat itu enggak membutuhkan otak !) kemudian dibuang isi perutnya, kemudian tubuh tak berotak, tak berhati, tak berjantung dan tak berusus itu dilumuri cairan, dibalsam barulah dililiti kain. Mummy itu disimpan di kotak berongga (sakrofagus) kemudian dimasukkan lagi ke kotak yang lebih besar, lebih besar lagi dan seterusnya... sampai tujuh lapis kotak, barulah diletakkan di dalam salah satu rongga / ruang di dalam piramid.

Mummy Tutankhamun adalah yang paling terkenal karena ditemukan dalam keadaan lengkap, belum dijarah sehingga seluruh isi piramidnya bisa diboyong ke museum dan bisa disaksikan sekarang ini. Tutankhamun adalah Fir’aun muda, naik tahta pada usia 9 tahun, mati dibunuh (diracun) pada usia 19 tahun. Tiga negara sudah melakukan penelitian untuk melukiskan kembali (rekonstruksi) wajah Tutankhamun yaitu tim Inggris, tim Amerika dan tim Perancis-Mesir. Aku sempat membaca dan menyaksikan foto wajah hasil rekonstruksi sang Fir’aun muda ini (dengan teknologi terbaru seperti radiologi, dll) dan ketiga tim memberikan tampilan (foto) yang tidak jauh berbeda. Tim Perancis - Mesir yang memberikan foto yang paling ngganteng, menurutku. Tapi yang di museum ya... cuman melihat mummy-nya aja (dan membayangkan wajahnya yang masih amat belia terbungkus dalam balutan kain itu). Katanya banyak isi piramid yang sudah diangkut oleh para penjajah (Perancis dan Inggris) dan saat ini menghuni museum2 di negara2 tersebut, seperti juga peninggalan sejarah kita yang banyak tersimpan di museum Belanda.

Khan El Khalili adalah nama pasar tempat penjualan suvenir2 khas Mesir yang terletak di dekat mesjid Al-Husein dan dekat universitas Al-Azhar (lama) yang kami kunjungi pada sore hari. Mata uang Mesir adalah Pound, aku lupa lagi 1 dolar Amerika itu berapa pound yang jelas jauh lebih sedikit dibandingkan menukar 1 dolar Amerika dengan rupiah kita. Malam hari kami sempatkan makam malam di atas kapal bernama Nile Crystal, yang menelusuri sungai Nil. Dari atas kapal kami bisa melihat pijaran lampu2 dari hotel2 dan mal2 di sepanjang sungai Nil. Aku merasakan yang namanya Kofta, daging kambing yang dicincang halus dan dibentuk menjadi semacam sosis. Aku pertama kali tau tentang Kofta ini ya... di bukunya “Ayat-ayat Cinta” itu. Selain makan malam yang cukup lezat, kami juga disuguhi atraksi kebudayaan Mesir yaitu tari perut dan juga tarian lainnya, antara lain, laki2 yang mengenakan baju / rok lebar kemudian berputar-putar, mirip tarian para Darwis dari Istambul. Tentang tari perut... wah.. para bapak tuh yang terpesona. Aneh juga ya… mengambil paket makan malam dengan pertunjukan tari perut pada pake Umroh ini. Tari perut adalah kebudayaan Arab, bukan Islam atau tidak identik dengan Islam (mestinya). Untunglah kami mengambil paket tur ini sebelum kami memulai umroh sehingga yang terbawa ke rumah adalah ibadahnya, umrohnya. Bayangkan kalo tur ini dilakukan setelah umroh.... jangan2 yang terbayang di tanah air nanti adalah perut dan pinggul sang penari yang meliuk-liuk…. bukan Ka’bah !

Lalu bagaimana dengan umroh-nya ? Aku sampai hari ini belum sanggup menceritakan indahnya, nikmatnya pengalaman batin saat berhaji dan berumroh. Sulit dilukiskan dengan kata2.

Jakarta, 22 Juli 2005
Salam,
Nuning.

==================================

Pernah dimuat (sebagian) di :
-----Original Message-----
From: Nugrahani
Sent: Friday, July 22, 2005 4:57 PM
To: 'mimbar-list@gajahsora.net'
Subject: tentang Cairo

1 komentar:

Anonim mengatakan...

Ijin COPAS Mba Nuning buat Tugas perckapan arab