Jumat, 05 Desember 2008

Tentang Garut

Sudah empat kali kami sekeluarga berkunjung ke Garut. Berkunjung ini berarti menginap di hotel, menjelajahi kotanya dan menimati makanannya. Kunjungan pertama hanya menginap semalam saja, dalam rangka perjalanan liburan ke Pangandaran dan Yogyakarta beberapa tahun yang lalu. Adalah salah satu temanku yang saat itu menyarankan agar kami mampir di Cipanas – Garut saja ketimbang di Lembang atau di kota Bandung yang selalu macet itu. Kunjungan ke-2, ke-3 dan ke-4 memang direncanakan : “ayo kita liburan di Garut”. Sebelum kunjungan tersebut aku mencari info dulu di internet dan juga dari teman2. Nah, inilah ceritaku tentang Garut dan sekitarnya. Kalo aku menyebutkan nama hotel ataupun restoran, aku harus bilang bahwa aku sama sekali enggak dibayar (oleh mereka) dan tidak bermaksud mempromosikannya. Kalo kebetulan ada yang jadi tertarik karenanya… ya.. syukur2 aja sih…. kan berarti aku ikut membantu meningkatkan citra pariwisata di dalam negeri.

Kabupaten Garut itu terletak di sebelah Timur-Tenggara Kabupaten Bandung dan tetangga lainnya adalah Kabupaten Tasikmalaya (di sebelah Timur dari Kab. Garut) dan Kabupaten Cianjur di sebelah Barat-Selatan Kabupaten Garut. Bandung-Garut itu hanya berjarak sekitar 65 km. Dari Jakarta sampai di ujung jalan tol Cipularang, langsung aja nyambung ke jalan lingkar luar Bandung (bila enggak mampir ke Bandung) dan hanya kurang dari satu jam lagi tambahan perjalanan, sampailah kami di Garut. Kalo dari rumah kami di Jakarta (eh… Pamulang itu Kabupaten Tangerang deng…, bukan Jakarta) berangkat sekitar jam 6 pagi, trus masuk jalan tol Bintaro-Pondok Indah trus nyambung jalan tol Cikampek - Cipularang maka sekitar jam 9-10 pagi udah sampe deh di Garut. Enggak jauh, kan !

Selama tahun 2007 nama Garut kerap terbaca di koran dan majalah nasional, bukan pariwisatanya melainkan Bupatinya, dengan kalimat-kalimat yang hampir sama atau senada : “Bupati Garut, dinonaktifkan, diduga keras melakukan tindak pidana korupsi”, dsbnya. Disebutkan juga bahwa uang milyaran rupiah itu, yang ditengarai, ditilepnya dari anggaran APBD sudah dibelikan beberapa rumah mewah serta beberapa mobil mewah termasuk mobil Kemiri .. eh … Camry… dan berbagai barang2 konsumtif lainnya. Memang itu baru dugaan, kasusnya baru sampai di pengadilan (dan banyak tuh terbaca di koran… kasus2 serupa, enggak Cuma Bupati Garut saja) namun aku sempat berucap heran : Ck… ck… ck….. kok enggak sabaran amat ya si Bupati itu, segitu kepengennya punya “banda” sampe2 Anggaran Pendapatan & Belanja Daerah pun digunakan untuk beli barang2 keperluan pribadi yang “hanya sekedar” rumah dan mobil. Norak banget ya ! Mungkin si Bupati perlu belajar banyak dari rakyatnya, misalnya pengusaha dodol Garut “picnis” yang terkenal itu, yang musti berpayah-payah bertahun-tahun… berakit-rakit ke hulu… sebelum mampu membeli rumah maupun mobil mewah idaman hati. Para pejabat itu mustinya kudu belajar bersabar dan menghilangkan keinginan untuk cepet2 (dibilang) kaya, mereka musti menghilangkan sifat seneng menerobos/mengambil jalan pintas. Lagian, kaya dari hasil korupsi, apa bagusnya coba ?

Ngomongin Garut memang selalu teringat dodol, penganan manis legit, berbahan dasar ketan, dengan bungkus warna warni. Garut is dodol. … and dodol is “picnic”. Julukan terkenal Garut lainnya (selain kota dodol) adalah “Switzerland van Java”. Aku belum pernah ke Swiss, cuma sekedar lihat pemandangan Swiss dari film dan foto2 di majalah, namun melihat pemandangan kota Garut yang dikelilingi gunung (Gunung Papandayan, Gunung Cikuray, Gunung Guntur, Gunung Karacak,… apa lagi ya…) dan banyak danau-danau, mungkin bener juga julukan “Switzerland van Java” itu, minus saljunya, tentu saja. Kekayaan alam selain pemandangan pegunungan dan danau adalah adanya sumber air panas, khususnya di daerah Cipanas, sedikit di luar kota Garut. Nama Cipanas mungkin berasal dari bahasa sunda yaitu “ci” (dari kata cai, yang berarti air) dan panas. Ada beberapa daerah di Jawa barat dan Banten dengan nama Cipanas. Aku gak tau, apakah di Cipanas Puncak ada juga sumber air panas, selain Istana Cipanas, pasar, serta mobil pribadi, bis dan angkot yang berduyun-duyun memenuhi jalanannya ? Di Gunung2 yang mengelilingi Kabupaten Garut dan Kabupaten Bandung ada beberapa sumber panas bumi yang dimanfaatkan sebagai Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (Geothermal) seperti Darajat dan Kamojang.

Ternyata kata Garut itu berasal dari nama orang, persisnya nama Gubernur Belanda jaman duluuuu yaitu Holke van Garut. Jadi kalo nanti kita ketemu orang Belanda yang bernama keluarga “van Garut”, maka itulah keturunan si penjajah yang namanya dijadikan nama kota Garut.

Cipanas - Garut terletak di kaki Gunung Guntur, hanya sekitar 1-2 km sebelah Barat Laut kota Garut (kalo kita dari arah Bandung maka Cipanas dicapai lebih dulu sebelum Garut kota). Ada banyak sekali hotel di Cipanas, baik yang berbintang, resort/bungalow, maupun kelas melati. Untuk amannya sebaiknya memang pesen tempat dulu (melalui telpon) sebelum datang karena saat musim liburan, hotel2 terutama yang bintang 3, fully booked. Untuk kelas Melati, kami senang nginap di Hotel Tirta Alam karena murah (cuman 150 ribu per malam), bersih, dan di kamar mandinya tersedia bak mandi besar dengan air panas yang nyaman dan terus menerus mengalir. Untuk kelas hotel berbintang /resort maka bungalow di Hotel Kampung Sumber Alam adalah favorit kami. Entah mengapa nama2 hotel di Garut banyak menggunakan kata-kata “alam”, gitu. Kami juga pernah nginap di Hotel Danau Daniza (danau di Daniza ini adalah danau buatan) dan juga sempat singgah di Hotel Resort Kampung Sampireun, tempat dimana sekumpulan bungalow (rumah2 mungil) di pinggir danau. Sejauh yang aku tau, Kampung Sampireun (dalam bahasa sunda, sampireun berarti mampir) adalah yang termahal dan musti dipesan 2 bulan sebelumnya karena cuma tersedia 19 bungalow. Mahal, terkesan eksklusif, menyendiri (enggak berkelompok seperti hotel2 lainnya) dan “menguasai” sebuah danau (asli) yang indah, tenang. Katanya banyak bule2 dan keturunan China yang nginap di situ. Hmm… ! Enggak heranlah kan mereka duitnya banyak.

Hotel Kampung Sumber Alam Cipanas (anakku sering menyebutnya Kampung Sumberdaya Alam, hehehehe…), terletak di kaki gunung Guntur, menyediakan cukup banyak kamar dengan berbagai kelas dan favorit kami adalah bungalow bertipe “yunior suite” seharga 900 ribu rupiah semalam. Bungalow kami tersebut memiliki dua kamar tidur (salah satunya di atas, di loteng), ruang tamu, ruang makan, kamar mandi (dengan bak mandi dan WC, tentu saja) serta – ini yang istimewa - ada kolam “yacuzi”, kolam rendam air hangat, di halaman belakang, yang dua krannya terus menerus mengalirkan air panas (panas beneran) dan dingin, ukurannya cukup lebar dan dalam sehingga nyaman untuk berendam air hangat-panas, sampai ke leher, untuk kami sekeluarga. Kami juga bisa memancing di sini, enggak perlu jauh2, cukup di teras bungalow saja karena bungalow2 ini berdiri di atas kolam dangkal dengan teratai putih, merah jambu, dan banyak ikannya (tau gak… bunga teratai itu mekar di pagi hari dan saat siang terik mereka menguncup lagi ?). Kayaknya ikan2 di situ sudah beradaptasi sehingga dapat berenang (iyalah…) di air yang hangat cenderung panas itu. Saat pagi dan menjelang malam maka tampak uap air mengepul dari air hangat di kolam dan “sungai” kecil di antara kolam dan bangunan.

Satu tips bila ingin memancing yaitu jangan menggunakan ‘pelet’ atau umpan yang diberikan (gratis) saat kita menyewa alat pancing ataupun pelet yang dibeli di toko, karena ikan2 di situ tampaknya udah bosan dengan makanan sejenis itu dan dengan kompak menolak untuk memakannya. Sampai seharian – dengan umpan itu - enggak bakalan dapat ikan seekorpun. Capek deeehhhh. Lebih baik beli aja umpan, yang dijual tersendiri di tempat pemancingan atau minta tolong pada OB / bell boy untuk membelinya. Asyiklah, memancing di teras bungalow dan meski kami bukan pemancing “profesional”, dalam 2-3 jam, bisalah terpancing 4 ikan mas yang cukup besar. Karena kami enggak begitu suka ikan (katanya sih bisa minta digoreng di situ) dan juga karena “enggak tega” maka ikan2 itu kami cemplungin lagi ke kolam setelah memeriksa luka di mulutnya - akibat mata pancing, bila tidak terlalu parah.

Hampir semua hotel besar di Cipanas ini punya kolam renang namun menurut kami, kolam renang di Kampung Sumber Alam ini yang paling nyaman, segar, hangatnya pas, enggak berbau belerang seperti di Ciater- Lembang. Bila terbiasa berenang di kolam yang penuh dengan kaporit sehingga mata menjadi merah, maka berenang di kolam hangat di sini terasa sungguh menyenangkan. Bila malas berenang maka berendam sajalah di jacuzi “pribadi” di belakang bungalow, juga menyenangkan. Mudah2an air di sana tetap terjaga kemurniannya sehingga bila kami berkunjung lagi, bisa kembali menikmatinya.

Di Garut enggak cuman ada dodol ! Sayangnya tidak banyak brosur pariwisata dan peta2 yang tersedia di hotel dan tidak banyak informasi pariwisata Garut di internet. Informasi kami peroleh melalui petugas hotel dan di jalan2 yang kami lalui menuju tempat pariwisata, pun kami mengandalkan peribahasa “malu bertanya sesat di jalan” (dan rajin bertanya malu di jalan ?) karena tak banyak papan petunjuk arah. Untungnya selama ini kami belum pernah “disesatkan”, setiap orang yang kami tanya selalu menunjukkan arah yang benar dan mereka ramah, murah senyum, khas Parahyangan (katanya Bimbo/Taufik Ismail, Tuhan itu menciptakan Parahyangan sembari tersenyum, sehingga alamnya indah dan orang2nya pun murah senyum). Kami mengunjungi Situ Cangkuang, Situ Bagendit (situ dalam bahasa sunda berarti danau), industri kulit, industri batik Garut, kawah Gunung Papandayan, Pamengpeuk dengan pantai2nya Sayang Heulang dan Santolo dan Kampung Naga. Berikut aku kirimkan juga cuplikan2 foto, dalam file terpisah (lihat attachment : Tentang Garut- Foto, dan dapat langsung dibuang saja bila tidak berkenan. ‘Size’nya, sekitar 860-an KB, enggak sampai 1 MB, sih). Kami mengambil banyak foto tentu, namun yang ditarok di situ cuman cuplikannya saja.

Situ Cangkuang tak jauh, sekitar 2-3 km ke arah Barat Laut, dari kota Garut (kalo dari Cipanas jalan ke Utara sedikit). Di tengah danau ada pulau (sebetulnya bukan pulau karena bagian daratannya tidak semua terpotong air, hanya dikelilingi air sehingga terasa seperti pulau), kami menyeberangi danau dengan rakit, dan di tengah pulau tersebut ada situs bersejarah, Candi Cangkuang, yang menurut catatan pada papan, berasal dari kerajaan Hindu (Galuh atau Siliwangi ?) pada abad ke-8 Masehi, ditemukan pada tahun 1966 dan dipugar pada tahun 1976. Di sebelah Candi, ada makam Eyang Mbah Dalem Arif Muhammad yang adalah salah satu penyebar agama Islam di Garut dan sekitarnya. Kelihatannya pra penyebar agama Islam di sini tidak serta merta menghancurkan candi2 yang adalah peninggalan kerajaan Budha ataupun Hindu. Selain Candi, di situ juga ada Kompleks Rumah Adat Kampung Pulo, yang terdiri dari 7 buah rumah (jumlah rumah enggak boleh ditambah, katanya), rumah panggung dari papan dan bilik (gedek) dengan warna kuning–putih. Semua rumah berbentuk dan berukuran sama, berwarna sama dan enggak tau kenapa musti berjumlah 7.

Situ Bagendit agak sedikit di luar kota Garut, ke arah Utara, mungkin sekitar 4-5 kilometer. Danau ini cukup luas, kata si tukang rakit, luasnya sekitar 150 ha. Rakit, seperti juga di Situ Cangkuang, dijalankan dengan menggunakan sepotong galah / bambu panjang, yang ditekan ke dasar danau dan kemudian di dorong. Suamiku sempat mencobanya : “berat juga”, katanya. Ada banyak rakit tersedia dan uniknya… ada satu-dua rakit yang diparkir di tengah danau dan dijadikan warung terapung, jadi kita dapat berakit mengelilingi danau dan mampir di warung terdekat, makan/minum di sana. Anakku memesan pop mie dan minum teh botol di warung terapung itu. Saat aku masih esde, di buku “Bahasaku” tercantum cerita tentang Legenda Situ Bagendit dan si Mang tukang perahu dengan senang hati menceritakannya kepada kami : Alkisah, jaman dahulu kala, di kampung ini hiduplah seorang nenek tua yang kaya raya namun terkenal pelit. Pada suatu hari datanglah Abah Baged, yang sebetulnya adalah orang sakti namun menyamar sebagai orang sakit dan miskin, yang minta sedekah pada si pelit Nyi Endit. Tentu aja enggak dikasih, bahkan setetes air minumpun enggak dikasih ! Karena jengkel, si Abah Baged bilang bahwa karena dia enggak dikasih air minum setetespun maka dia akan kasih air yang banyak pada si Nyi Endit dan kemudian si Abah menancapkan tongkatnya ke tanah di dekat rumahnya Nyi Endit. Nyi Endit kemudian mencabut tongkat itu dan dari bekas cabutan tongkat keluarlah air… air…. dan air.. yang terus mengalir… membanjiri hartanya si Nyi Endit (rumah, perabotan, emas permata, sawah. ladang, ternak dan sebagainya). Si Nyi Endit itu tetap tidak mau meninggalkan harta bendanya, tidak mau mengungsi, sehingga akhirnya tenggelam bersama seluruh harta bendanya. Jadilah danau yang kemudian dinamai Situ Baged- Endit, gitu deh ceritanya !

Kawah Gunung Papandayan, sebelah Barat Daya kota Garut (kalo dari Cipanas ke arah Selatan) dapat dicapai dengan bermobil sampai ke dekat kawah dan kemudian dilanjutkan dengan berjalan kaki menelusuri puncak gunung hingga mencapai bibir kawah. Ada beberapa kawah namun kami hanya mencapai satu kawah saja. Bau belerang terasa begitu kami tiba di puncak. Tampak sisa2 letusan gunung Papandayan tahun 2002 (??) yang lalu. Bagus sekali pemandangan di sekitar kawah ini. Terkadang uap putih menyembul dari lubang kawah. Kami enggak berani terlalu dekat bibir kawah karena kuatir tau2 keluar gas beracun seperti yang belum lama terjadi di kawah Gunung Salak (dan menyebabkan kematian 2 orang pelajar). Di Gunung Berapi manapun memang musti hati2, jangan nekat, dan sebaiknya tidak mencapai kawah pada saat hari gelap.

Di Kota Garut, tempat yang bisa dikunjungi adalah pusat industri rakyat seperti industri kerajinan kulit, industri batik Garutan dan tentu industri dodol Garut. Di sentra industri kulit (sori, aku lupa nama daerahnya apa), kami membeli 3 jaket kulit, dua langsung dipilih dari yang terpajang di toko sedangkan untukku musti dipesan dulu karena enggak ada yang ukurannya pas dengan badanku. Maklumlah, enggak standard. Jaket kulit van Garut ini bagus beneran loh… gak kalah deh mutu maupun disainnya dengan yang dipajang di toko2 di mal/dept. store, sedangkan harganya jauh di bawah harga di departemen store, bistro ataupun outlet. Untuk jaket yang dipajang di sana, bisa diperoleh dengan harga 350-500 ribu, tergantung disainnya (untukku, karena pesanan khusus, harganya 650 ribu). Katanya kulit yang baik untuk dibuat jaket adalah kulit domba karena lebih halus. Jaket kulitku ini, dikirim ke rumah (dengan sedikit tambahan ongkos kirim) dan sudah kupake saat aku field trip ke LuangPing Basin, Chengde, China Utara, bulan Oktober 2007 kemarin, dan ternyata cukup mampu menahan dingin (saat itu suhu di Chengde mencapai kurang dari 10 derajat Celcius) dan tetap gaya (ya.. gayanya berjaket kulit, gitu). Tentu saja… ada teman yang “menuduh” bahwa jaketku ini buatan luar negeri… hehehehehe… ! Sayang sekali, selain ke Chengde itu aku belum punya kesempatan lagi untuk memamerkan jaket Garutku itu. Soalnya kalo cuma di daerah puncak-Bogor, meskipun malam hari ... pake jaket tipis juga udah cukup. Sebetulnya enggak cuman jaket yang dihasilkan oleh industri kulit ini tapi yang mutunya paling baik ya.. jaketnya, untuk sepatu atau tas rasanya sih kalah deh dengan di Bandung atau di Tanggulangin-Surabaya atau di Tajur dekat Bogor itu.

Aku juga membeli beberapa helai kain batik Garutan. Kewajiban berbatik setiap hari Jum’at di kantor2 pemerintah tampaknya berdampak baik pada industri batik nasional. Tau kan.. bahwa batik itu punya “gaya” tertentu yang berbeda pada setiap daerah ? Batik Solo beda dengan baik Pekalongan, atau dengan batik Jambi atau Kalimantan dan batik Cirebon pun beda dengan batik Garut. Saat ke Malaysia aku sempat juga melihat industri batik di sana (yang katanya sudah dipatenkan itu) dan kayaknya sih tekniknya sama atau hampir sama aja dengan di Indonesia, hanya berbeda motifnya saja, beda gaya saja. Yang jelas batik Indonesia amat beragam, dibanding Malaysia yang cuman satu ragam saja.

Kami mampir ke toko yang khusus menjual oleh2 Dodol Picnic, namanya toko Prima Rasa, di jalan Cileduk (sama ya.. namanya dengan daerah di Jakarta). Ada banyak lah toko2 di sepanjang jalan yang menjual berbagai oleh2 Garut (enggak cuman dodol, loh !). Anakku sulung itu seneng dengan kerupuk kulit tapi melihat kerupuk kulit dipajang di toko jaket bersama dengan produk industri kulit lainnya, dia menolak membelinya. Katanya nanti serasa makan sepatu… hahahahha… !

Apa Garut cuman punya gunung, sawah dan air panas ? Enggak ! Pantai2 di selatan Garut ternyata indah dan bersih. Kami memutuskan ke Pamengpeuk, selatan Garut, berbatas Samudera Indonesia, dengan berbekal peta. Melalui internet kami punya daftar hotel2 di Pameungpeuk tapi saat kami hubungi via telpon dari Jakarta (mereka gak punya alamat e-mail), mereka bilang silakan datang langsung aja, gak perlu pesen2 tempat dulu. Iya deh. Kami bermobil , dari kota Garut menuju Selatan, melalui pegunungan (barisan Pegunungan Jawa Barat Selatan) dengan hutan2 yang masih cukup lebat, diselingi perkebunan Teh Cisaruni, Neglasari. Suasana kebun teh, dan jalannya yang berliku mirip dengan di puncak (Bogor-Cianjur) tapi jauh lebih sepi dan tanpa “tenda-tenda biru” di sepanjang jalan, tanpa hotel2 , tanpa vila2, tanpa restoran2. Sekitar 2,5 jam perjalanan, sampailah kami di Pamengpeuk, yang ternyata kota kecil, kota kecamatan. Nama pantainya berbeda dengan nama kotanya, ada dua pantai yang biasa dikunjungi : pantai Sayang Heulang dan pantai Santolo. Kedua pantainya bersih dan ombaknya bagus seperti pantai2 selatan lainnya : Pelabuhan Ratu, Pangandaran, Parang Teritis. Kata seorang penduduk, pengurus hotel, pantai2 di Garut Selatan ini tidak kena Tsunami seperti di Pangandaran tapi terkena dampaknya yaitu sepinya pengunjung.

Di pantai Santolo ada pelelangan ikan, lebih berperan sebagai pelabuhan nelayan, namun ada semacam air terjun kecil di laut dekat pantai, yang seolah memisahkan lautan, airnya bertingkat, namanya Cilaut Ereun. Untuk bermain di pantai yang landai dan bermain ombak (bila sedang tidak terlalu besar) maka pantai Sayang Heulang lah tempatnya. Hotel2 dan restoran juga lebih banyak di pantai Sayang Heulang. Sayangnya kami tidak bisa terlalu lama di sana, disebabkan, karena…. kami tidak bisa menemukan hotel yang “sesuai”. Aku kasih tanda petik karena anakku yang kecil, 9 tahun, tidak bisa BAB (buang air besar) di wc selain wc duduk, dan kamarnya juga harus bersih serta terang, enggak mau yang lampunya agak remang2. (heran juga, padahal emaknya mah… kalo lagi di lapangan… “bab” di sungai juga oke…. tidur di base camp atau di flying camp juga oke, hehehehehe… ! ). Jadi setelah berkeliling ke kota Pemengpeuk (dengan daftar hotel dari internet itu), pantai Sayang Heulang dan pantai Santolo, kami gagal mencari hotel yang sesuai dengan tuntutan si bungsu ini. Dia menolak masuk hotel…. lari ke halaman… Boro2 mo nginap ! Ampun2 deh ! Terpaksa malam itu juga kami pulang ke Garut, nginap di Cipanas lagi. Padahal rencana semula adalah nginap di pantai. Mudah2an nanti ada lah satu hotel bintang tiga di sana, dengan kamar hotel dan fasilitas yang “standard” sehingga kami gak usah bolak-balik seharian : Garut-Pamengpeuk. Bagaimanapun, menyenangkan sekali duduk di pinggir pantai, jalan2 di pasir sembari kaki terkena ombak dan makan ikan bakar serta ayam goreng yang lezaaat sekali di pantai Sayang Heulang dan juga menyaksikan tenggelamnya sang surya ; bola kemerahan yang perlahan-lahan hilang ditelan air !

Kampung Naga terletak di Kabupaten Tasikmalaya (bukan di Kabupaten Garut) namun karena merasa udah dekat, kami mampir juga ke sana. Lokasinya di daerah Neglasari, sekitar 15 kilometer dari kota Garut ke arah kota Tasikmalaya. Kampung Naga berada di pinggir jalan raya (Bandung-Tasikmalaya) namun minimnya papan petunjuk jalan menyebabkan kita musti bertanya dan nengok2 dulu ke kiri-kanan dan sempat “terlewati” (ternyata posisinya di sebelah kiri jalan, arah ke Tasikmalaya). Kampung ini adalah kampung adat artinya masih memegang adat istiadat jadul (jaman dulu) meskipun penduduknya menganut agama Islam. Satu bukti lagi bahwa penyebaran Islam (terutama di Pulau Jawa) tidak serta merta menghilangkan segala upacara adat yang –menurutku sih– lebih berbau Hindu atau animisme/dinamisme meski dibungkus dengan doa2 berbahasa arab/Islam. Apa istimewanya Kampung Naga ? Kampung ini berhasil (tetap) menjaga kelestarian alam (dan budaya) setempat.

Nama Kampung Naga berasal dari kata “kampung na gawir” yang artinya kampung di (pinggir) tebing dan disingkat saja menjadi Kampung Naga, jadi enggak ada hubungannya dengan binatang dongeng itu.

Setelah turun dari mobil, kami menuju lembah, tempat Kampung Naga berada, dan musti menuruni tangga, yang katanya Mang Cahyan –guide lokal– berjumlah 365, sama dengan jumlah hari dalam setahun. Tentu aja aku terengah-engah menuruni dan (apalagi) menaiki tangga sebanyak ini. Saat pulang, meninggalkan Kampung Naga, anakku dengan semangat menaiki tangga sembari menghitung… “satu, dua,…lima belas,… seratus dua puluh,… Buuu… udah nomer 286… “ katanya dengan santai sembari melihat ke bawah…. ke arahku, yang jadi ingat lagunya (alm.) Benyamin “… cik kicik bangke lemes… naik pohon .. eh.. naik turun tangga.. dengkul lemes… “. Belum lagi ingat lagunya Dewa : “sepaaaaruuhh nafaskuuu…”. Lah, nafas tinggal separoh gini. Sebagian anak tangga dan jalan bersemen katanya adalah sumbangan dari alumni Universitas Gajah Mada yang tahun 90-an mengadakan penelitian di sana.

Kampung ini dialiri sungai Cijolan (bener namanya Cijolan ?? Aku lupa mencatatnya !) yang mengairi dua wilayah : Kampung Naga Dalam dan Kampung Naga Luar (sebetulnya ada nama lain dari Kampung Naga Luar, tapi aku lupa – lagi2. Aku menyebutnya begitu, mengikuti penamaan Badui luar dan Badui Dalam, aja). Jumlah rumah di Kampung Naga Dalam enggak boleh berubah, jadi kalo ada penduduk berlebih maka harus ada yang keluar dan menjadi penduduk Kampung Naga Luar. Jadi yang Kampung Naga Dalam lah yang terpelihara keasliannya. Kampung ini di lembah, di pinggir sungai dan diapit dua gunung yang tidak boleh sembarang ditebang pohon2nya, tetap jadi hutan, resapan air dan juga penahan banjir. Pun sungai terpelihara kebersihannya, enggak boleh membangun rumah di DAS-nya (= daerah aliran sungai) seperti yang banyak dijumpai di sungai2 yang melintasi kota2 di pulau Jawa.

Sama seperti di Kampung Pulo di Situ Cangkuang, rumah2 di Kampung Naga juga seragam baik dalam ukuran maupun bentuk (di perumahan be-te-en atau di real estate kelas menengah, rumah2nya juga seragam, ya ! Tapi pasti bukan gara2 “memelihara adat istiadat”). Bentuk bangunan yang berbeda hanya mesjid (lengkap dengan beduk di satu sisinya), kamar mandi/wc, meeting room atau Balai Desa, tempat warga berkumpul, bermusyawarah dan ada semacam ‘rumah suci’, dimana selain warga tertentu, yang lain gak boleh masuk. Rumah semuanya menghadap Utara atau Selatan, berdempetan, berbentuk rumah panggung, dengan batu di bagian bawah/pondasi, dinding dari papan/kayu dan bilik/gedek dan beratap rumbia/ijuk. Aku baru tau ada tanaman “wajib” yang sangat berguna di Kampung Naga, dimana daunnya buat atap rumah (namanya combrang), bunganya dimakan (namanya rombe) dan buahnya juga dimakan (namanya honje). Sayangnya saat itu belum musim berbunga dan berbuah sehingga selain melihat pohonnya (yang tinggi berdahan besar) aku gak bisa liat bagaimana bunganya atau buahnya (dan mungkin ada nama lainnya kalo di Jakarta – kalo ada).

Setiap rumah mempunyai dua pintu di depan, satu pintu menuju ruang tamu dan kamar tidur sedangkan pintu di sebelahnya, yang dilapisi serat rotan, menandai ruang dapur sekaligus ruang makan. Bila seseorang memasak sambel goreng pete, misalnya, dapat dipastikan seisi kampung dapat mencium harumnya karena dapurnya di bagian depan rumah. Katanya pintu dapur tersendiri ini akan lebih memudahkan bila suatu ketika bila terjadi kebakaran. Iya juga sih. Mereka memasak menggunakan tungku dengan bahan bakar kayu/ranting pohon dan kayaknya sih enggak bakalan dapat pembagian gratis kompor gas dan tabung gas yang tiga kiloan itu loh ! Untunglah desa ini tidak bertambah besar, jumlah penduduk dipelihara, desa di sekitarnya saja yang boleh membesar dan boleh berubah. Sebagian memasak menggunakan minyak tanah yang bersubsidi itu. Kebayang aja… betapa banyak kayu bakar yang harus dikumpulkan, pohon yang harus ditebang, bila kita semua menggunakan tungku kayu.

Ada 126 kepala keluarga di Kampung Naga dengan jumlah penduduk sekitar 311 jiwa, diantaranya 75 anak2 di bawah usia 15 tahun. Setiap laki2 dewasa (di atas 15 tahun) selalu mengenakan semacam ikat kepala dari kain batik (jadi bukan peci, bukan blankon), seperti juga Mang Cahyan, yang mengantar kami keliling Kampung Naga, yang adalah penduduk asli Kampung Naga. Kaum perempuan tua, muda, berkain dan berkebaya sederhana, tanpa warna2 cerah. Katanya lepis dilarang di Kampung Naga, maksudnya tentu celana jeans, enggak cuman yang bermerek Levi’s (lah, aku juga melarang anakku pake lepis… abis Levi’s asli tuh mahal banget euy… ! Mending pake jeans merek lain ajah, toh jeans merek lokal juga mutunya bagus). Entah apa hubungannya antara si lepis dan Kampung Naga sehingga dilarang gitu.

Mata pencaharian penduduk selain bertani, berkebun, berternak adalah juga membuat kerajinan tangan semacam tas, topi/ikat kepala, dll. Ada juga yang buka toko kecil di depan rumah, menjual barang2 keperluan rumah tangga seperti beras, minyak goreng, sabun, shampoo, termasuk indomie dan Chiki/Chitos dan permen2 (kok makanan ringan “produk modern” dan berkategori ‘junk food’ itu enggak dilarang ya ?). Selain wajib mengaji, anak2 di Kampung Naga juga wajib bersekolah (di luar Kampung Naga). Mang Cahyan bercerita bahwa untuk sekolah di smp dia harus menenmpuh perjalanan 10 kilometer, berjalan kaki, setiap hari. Adakah yang sarjana ? Ya, ada, tapi di Kampung Naga Luar. Rata2 mereka (sekarang ini) adalah lulusan smp. Beberapa kaum tua, buta huruf latin, namun pintar membaca Al-Qur’an (tidak buta huruf arab).

Listrik boleh masuk desa, tapi hanya untuk beberapa lampu penerang jalan dan tivi hitam putih dibolehkan (kayaknya cuman bisa menangkap siaran TVRI dan TV daerah Jawa Barat aja) dan hanya satu di Balai Desa. Kenapa ya.. enggak boleh pakai tivi berwarna ? Gimana dengan radio ? Ada beberapa radio dan cuma untuk yang AM saja semacam RRI. Umumnya mereka menggunakan lampu teplok dengan minyak tanah itu. Kalo koran sih boleh, koran lokal, tapi majalah tidak boleh dan mereka tidak punya perpustakaan ataupun saluran internet. Mobil dan motor tidak dibolehkan masuk kampung (kecuali di Kampung Naga Luar, katanya). Bagaimana kalo ada yang melanggar, misalnya pake celana jeans, pake topi, enggak mau pake ikat kepala batik itu, atau yang cewek pake baju kaos atau “tank top” warna-warni, atau dengerin lagu2 rock dari band luar negeri ? Katanya sih.. ya… silakan tinggal saja di Kampung Luar !

Mereka menggunakan bersama-sama kamar mandi dan wc dan tempat bebersih yang umumnya “open air” (tanpa atap) itu sudah ditentukan lokasinya, gak boleh sembarangan. Yang penting, orang Kampung Naga selalu memelihara dan menjaga sumber air. Air dialirkan dari sumbernya (mata air) dengan memanfaatkan ketinggian lahan dan ditampung di bak-bak terbuka untuk digunakan bersama-sama. “Kearifan Lokal” semacam memelihara sumber air, memelihara hutan, memelihara sungai, inilah yang patut dipertahankan, patut ditiru ! Apakah hal-hal baik seperti ini tidak bisa sejalan dengan unsur2 “modern” semacam listrik, mobil, tivi berwarna, celana jeans, internet, dll ?

Kurang lengkap rasanya bila mengunjungi suatu daerah tanpa mencicipi makanannya. Tentu kami sudah beli oleh2 khas Garut, namun bagaimana “wisata kuliner” di Garut ? Di daerah Cipanas, ada pasar tradisonal yang juga berjualan berbagai makanan dan di sana beberapa kios/warung buka sampai jam 10-11 malam. Jadi kalo kepepet, pas laper ketika malam, bisa beli sate kambing atau sop di situ. Untuk sarapan, di seberang hotel Tirta Alam, ada warung pinggir jalan, yang setiap pagi berjualan bubur ayam dan nasi kuning. Enak dan murah. Untuk kelas resto, ada cukup banyak rumah makan dan restoran di kota Garut maupun di luar kota Garut. Aku enggak sempat mencatat semua nama2 rumah makan tersebut, kecuali beberapa. Ada resto “Mulih Ka Desa”, dimana kita makan di gubuk2 di pinggir sawah, di sana gurame goreng dan sambalnya asyik, ada resto “Layung Sari-2” yang nasi liwetnya sedap, atau nyobain makan di “Kampung Sampireun” juga boleh (tapi makanannya udah “disesuaikan” dengan lidah bule, agak kurang marem, menurutku) atau di hotel “Kampung Sumber Alam” restonya juga oke (tapi sarapannya gak oke banget deh, mending beli nasi kuning aja di pinggir jalan). Boleh dibilang enggak ada masalah deh dengan urusan perut di Garut ini. Ada satu nama yang unik, yaitu rumah makan “Sambal Cibiuk”. Info kami peroleh dari pegawai hotel (Kampung Sumber Alam), katanya sih gak jauh, sekitar 2 kilometer ke arah Situ Bagendit. Ternyata Cibiuk itu cukup jauh juga, kayaknya sih bukan 2 kilometer melainkan 5-6 kilo lagi, ke arah Utara kota Garut, namun perjalanan mencari makan siang itu terbayar lunas karena ayam goreng kampungnya yang gurih, sop kacang yang sedap dan sambal hijau (dari cabe rawit hijau, bawang, terasi dan tomat hijau yang ditumbuk kasar, disajikan bersama cobeknya) yang pedas dan mantap banget ! Pokoknya “mac news” deh !

Masih ada beberapa obyek pariwisata yang tidak sempat kami kunjungi misalnya (danau) Telaga Bodas, beberapa curug (bahasa Sunda berarti air terjun) seperti Curug Orok, dan lain-lain. Kami masih mau lagi lah… berlibur ke Garut dan Tasikmalaya, nanti.

Jakarta, 22 Januari 2008
Salam,
Nuning


Pernah dimuat :
From: Nugrahani
Sent: 22 Januari 2008 17:23
To: Mimbar Saputro; Mimbar List; 'Mimbar Saputro'
Subject: Garut yang bukan dodol



3 komentar:

SD ISLAM AL HIKMAH mengatakan...

salam kenal mba nuning....
kalo yang disebut 150 rbuan per kamar itu apa ada fasilitas mandi air panas setiap kamarnya...
trus kalo yang bungalow 900rb bisa dijejelin berapa manusia, aku pingin ngajak teman-teman plesir ke sana...

humam
gombong jateng

Unknown mengatakan...

Ma kasih mbak Nuning atas infonya tentang Garut, kebetulan kami sekeluarga ingin berlibur kesana...

Dewa Aji Panggalih mengatakan...

yang sekiranya paling wajib didatengi, yang mana ya?

Regards,
Dewa Aji
www.gloob-online.com