Jumat, 05 Desember 2008

Tentang Timur dan Barat

”Jangan sampai generasi muda kita dipengaruhi budaya barat” ..... begitulah yang sering kita dengar atau kita baca (atau kalimat lain yang senada dengan itu deh) bila membicarakan soal ketelanjangan, pornografi, seks bebas dan sejenisnya.

Betulkan ketelanjangan dan seks bebas itu dari ”barat” ?

Tentu saja aku enggak akan melakukan analisa budaya atau apa. Wong aku bukan budayawati. Aku cuman kepikiran aja ... kenapa candi-candi di negara kita atau di negara Asia lainnya, yang dibangun sebelum abad ke-10 Masehi, juga memuat lukisan2 pada batu atau patung2 yang menggambarkan ketelanjangan dan juga soal ’hubungan badan’. Pun buku/lukisan ”Kama Sutera” berasal dari Timur (India) jauh sebelum majalah ’porno’ sejenisnya itu terbit di negara barat (baca : Eropa dan Amerika). China juga punya buku/lukisan serupa yang konon bahkan sudah berusia ribuan tahun (eh.... kitab Tantra itu dari China atau dari Tibet ya ?), pun ada Serat Centhini (nulisnya gimana, sih ?) yang ciptaan pujangga keraton Jawa.


Lukisan2 maupun patung2 di gereja2 kuno di negara2 Eropa memang sebagian menampilkan ketelanjangan, juga penggambaran ”hubungan badan” tapi ya... mereka enggak sekuno Candi2 Hindu/Budha maupun Kama Sutera, kan ? Michael Angello, Auguste Rodin, Leonardo Da Vinci dan kawan2nya itu melukis dan membuat patung pada abad belasan Masehi. Kebudayaan Eropa (pasca Kerajaan Romawi kuno dan Yunani kuno, maksudku) memang tumbuh setelah usai periode ”perang salib” dan hancurnya kerajaan2 Islam di abad ke-13. Amerika (Serikat) malah baru nongol di abad ke-18, setelah ”ditemukan” oleh Columbus. Timur itu jauh lebih tua dari Barat.

Dengan semboyan ”Gold, Gospel and Glory” negara2 Eropa menyerbu dan menjajah negeri2 Timur (dan Afrika) di abad2 ke-15 hingga menjelang pergantian milenium ini. Mereka kemudian menemukan bahwa negeri yang sumber daya alamnya kaya raya di belahan timur bumi ini punya budaya yang berbeda (atau mereka menganggapnya ”tidak berbudaya”) dan di beberapa tempat penduduknya bahkan masih ”telanjang” dalam arti sebenarnya (gak pake baju atau celana, gitu loh !) termasuk di Bali yang perempuannya masih memamerkan buah dadanya, bahkan sampai tahun 1950-an (lihat deh bukunya Ni Pollok tentang perjalanan hidupnya dengan Le Mayeur atau lukisan2/patung2nya Antonio Blanco maupun hasil karya pematung/pelukis asli Bali, sampai saat ini). Eropa, yang saat itu dianggap sebagai pusat budaya dunia, datang ke timur, sembari berdagang, sembari bawa meriam, tipu muslihat, ’de vide et impera’ dan juga sembari membawa model baju yang ”ala Eropa” serta sembari membawa agama Nasrani.


Di Eropa, pada saat itu, pakaian (wanitanya) tertutup rapat (liat deh film2 barat yang ber-setting abad ke-18, atau model baju ”gaya Victoria”, atau foto2 noni Belanda di Batavia, misalnya), perkawinan masih dianggap penting, seks bebas masih tabu, peran para pendeta/ahli agama masih besar, dll. Bandingkan dengan di Jawa, misalnya, pada saat yang bersamaan, para perempuannya sehari-hari umumnya hanya berkemben (kain yang hanya menutupi sebatas dada, ”off shoulder”, gitu ! Tanpa beha pula). Di Papua pun (sampai sekarang).... para lelaki masih banyak yang berkoteka, perempuannyapun ”no bra” dan hanya menutupi bagian bawah badannya dengan rumbai2. Pernah liat gak... patung (yang katanya) Tibuwana Tunggadewi, Sang Ratu .... pakaiannya itu ketat, tanpa penutup bahu dan memperlihatkan sebagian keranuman buah dadanya... jaaauuhhh sebelum Marilyn Monroe berpose sejenis itu. Tau juga kan... pakaian tradisionalnya India (sari ?) dimana bagian perut dan puser kaum perempuannya terlihat, dipamerkan .... dan mereka sudah memakai pakaian itu berabad-abad yang lalu .... jaaauuuuhhh sebelum Madonna dan juga Britney Spears memamerkan perutnya yang rata dan puser seksinya itu di panggung, di video klip, di tivi dan di majalah.

Seksi mana ya... perempuan dengan ’tank top’ atau dengan kemben ? Perempuan dengan ”sari” India atau dengan celana sepinggul dan kaos ketat pendek ?

Dengan melihat bukti2 tersebut (patung2, pakaian, buku2, dll) sepertinya ”ketelanjangan” itu ...... aslinya dari timur deh, bukan dari barat !


Ada juga pakar yang bilang bahwa ketelanjangan itu berbeda dengan pornografi. Walah... walah.... susah amat dong... bikin definisinya, batas2nya. Kecuali ketelanjangan milik anak2... yang semua pasti setuju kalo itu bukan pornografi (kecuali bagi sebagian kaum terkutuk – penyuka anak2, pedofilia). Ketelanjangan bagaimana yang enggak disebut porno ? Sampe nenek2 deh... definisinya gak bakalan ketemu. Bahkan di berbagai belahan dunia, bagian tubuh dari ”perempuan” yang mana yang bisa membuat ”greng” juga berbeda-beda, dari jaman ke jaman pun berbeda. Kata perempuan aku kasih tanda petik karena konon cuman tubuh perempuanlah yang bikin gara2, bikin orang jadi porno.....! Misalnya, kalo di India tuh ngeliat puser itu gak bikin nafsu atau kalo di Bali jaman dulu .. ngeliat dada tanpa beha itu gak ngaruh, enggak dibilang porno, tapi kalo pas ngeliat paha cewek... baru deh cowok2nya pada gedubrak gedubruk.


Minggu lalu aku baru aja menamatkan buku karangannya Arthur Golden yaitu ”Memoirs of Geisha” yang mengisahkan perjalanan hidup seorang Geisha bernama Sayuri-san (waktu kecil namanya Chiyo-chan) dan kisah percintaannya dengan ”Sang Ketua”. Aku juga udah nonton filmnya (film indah yang menggambarkan keadaan kota Kyoto jaman dulu) namun, seperti biasa, aku lebih suka baca bukunya ketimbang nonton film, meski seneng sih... liat aktingnya aktris cantik China, Gong Li, yang memerankan si judes, jahat, Hatsumomo dan hmm.. hmm... si muda jelita Ziyang Ziyi yang memerankan Sayuri-san. Membaca buku ini, mau gak mau, ingatanku melayang pada buku triloginya Ahmad Tohari, yang salahsatunya berjudul ”Ronggeng Dukuh Paruh” yang mengisahkan perjalanan hidup Srinil sang primadona Ronggeng (dan percintaannya dengan Rasus, kekasihnya semasa kecil). Aku trus kepikiran..... ada gak ya... budaya semacam Geisha atau Ronggeng di dunia ”barat” sana ? Atau itu cuman ada di ”timur” ? Jangan2 ”budaya timur” itu sebenarnya lebih permisif, lebih membolehkan hubungan seksual di luar pernikahan ?


Aku gak tau kapan asal kata ”timur” mulai digunakan untuk negara2 di Asia dan kata ”barat” untuk negara2 Eropa dan juga Amerika. Akupun bukan ahli budaya. Aku cuma membayangkan...... ketika para penjajah Eropa itu datang ke negara2 Asia (dan Afrika), ”budaya barat” yang mereka bawa bukanlah ketelanjangan, seks bebas ataupun pornografi. Mereka justru membawa cara berpakaian, budaya berpakaian, yang rapi jali, menutup rapat seluruh tubuh, baik untuk perempuan maupun laki2nya. Justru ”budaya timur”lah yang (saat itu) telanjang, menganut seks bebas (dalam arti tanpa perkawinan ”ala barat”) dan ”porno”.


Jadi saat itu (aku membayangkan) justru para orang tua di negara2 baratlah yang risau dengan ”budaya timur” dan para pemuka masyarakat dan ahli agama di barat sana, saat itu, sibuk berkoar-koar, mewanti-wanti : ”jangan sampai generasi muda kita dipengaruhi budaya timur !”


Kemajuan teknologi, terutama teknologi komunikasi sangat mempengaruhi dunia (barat maupun timur) di abad ke-21 ini, termasuk juga dalam urusan sandang. Tak dapat dipungkiri ”barat”lah (baca : Eropa) yang memelopori kemajuan teknologi ini dan diikuti oleh muridnya yang canggih : Amerika dan kemudian oleh Jepang. Bila dulu cuma ada teknologi 2 dimensi (lukisan, buku) atau paling banter 3 dimensi (patung) maka sejak abad ke-20 udah jamannya teknologi 4 dimensi + (4D+ itu artinya : 3D + waktu + gerak) dengan munculnya film, internet, dll. Aku menulis ini terinspirasi oleh kehebohan akan terbitnya majalah ”Playboy” versi Indonesia, awal tahun 2006 ini (sebetulnya, majalah ”Playboy” udah ketinggalan jaman deh ! Lah..... cuman teknologi 2 dimensi gitu !). Buku Kama Sutera sudah tergusur oleh Film (sejenis) Kama Sutera. Mungkin di masa mendatang akan muncul teknologi 5D, hologram, misalnya, yang langsung muncul begitu kita pencet sesuatu, tanpa perlu tivi atau komputer atau bioskop (serem juga ya... kalo tau2 muncul hologram porno). Dengan penguasaan mereka (Barat) terhadap teknologi komunikasi maka buku2, majalah, koran dan film2 barat lah yang ”memonopoli” tayangan media di seluruh dunia. Wajar aja kalo kemudian pakaian ”model barat”lah yang sekarang jadi panutan di seluruh dunia. Model barat itulah yang sekarang dibilang ”porno”, seksi dan sebagainya dan budaya barat ini yang dituding menyebarkan pornografi, ketelanjangan, seks bebas.


Mana yang lebih mempengaruhi cara berpakaian orang2 di timur (atau di Indonesia, misalnya) : budaya barat atau budaya Islam ? Di Indonesia Islam lebih dulu hadir ketimbang barat dan jangan lupa sebelum Islam dan Barat datang, di negara kita sudah lebih dulu ada agama Hindu dan Budha (selain animisme/dinamisme) berikut pengaruh budaya India – dimana asal agama Hindu dan Budha. Aku gak bisa bilang bahwa ”barat” itu berarti agama Nasrani (lah.. wong Nabi Isa pun orang ”timur”) dan ”timur” itu gak berarti Islam atau Arab (kan India dan China juga di timur). Barat mula2 datang ke Indonesia lebih karena perdagangan, karena bisnis, meski juga diikuti oleh penyebaran agama Nasrani. Para pendeta (misionaris) juga mengiringi perjalanan para penjajah itu ke timur dan ke seluruh dunia. Islam di Indonesia juga datang dari perdagangan, yaitu dari pedagang Gujarat dan China.


Mestinya sih... soal pakaian seksi itu gak berhubungan dengan agama. Aku rasa gak ada satupun agama di dunia ini (agama ”samawi”, maksudku) yang membolehkan kaum perempuannya memamerkan aurat. Lihatlah para biarawati Nasrani, mereka kan juga menggunakan baju panjang dan sejenis penutup rambut. Lihatlah juga pakaian para perempuan Yahudi penganut Taurat. Artinya, soal menutup aurat itu bukanlah monopoli agama Islam. Juga... gak ada satu jua agama di dunia ini yang membolehkan hubungan seks di luar pernikahan. Ingat... pada kitab Taurat, kita suci paling tua, yang diberikan kepada nabi Musa, sudah dicantumkan larangan berzina (hubungan seks di luar pernikahan) sebagai salah satu dari 10 perintah Tuhan (The Ten Commandement). Kalaupun masyarakat barat sana (sekarang) adalah penganut paham seks bebas, memamerkan aurat, dll, itu bukan karena mereka Nasrani tapi karena mereka itu sekuler atau bahkan atheis (kalo liat di kamus sekuler adalah ”hal-hal keduniawian” dalam arti enggak bawa2 agama dalam kehidupannya, sedangkan atheis itu tidak percaya adanya Tuhan) dan/atau cuman percaya ama ilmu pengetahuan aja. Jadi ini bukan diskusi agama nasrani vs Islam. Ini kepengen ngomongin pakaian, ketelanjangan, pornografi, antara budaya barat dan timur dan juga pengaruh agama Islam.


Aku gak tau apa alasan para penyebar agama Islam di Indonesia...... mereka menyebarkan agama (sembari berdagang dan tanpa menggunakan meriam atau pedang dan tanpa ”de vide at impera”) namun tidak menyebarkan model ”pakaian Islam” (yang dimaksudkan model ”pakaian Islam” adalah model baju – untuk perempuan - yang tidak ketat, tidak memperlihatkan lekuk tubuh, tidak menerawang serta menggunakan jilbab / penutup rambut yang berjurai sampai ke dada). Mengapa mereka tidak menghapuskan pakaian ”tradisional” Indonesia ? Sekali lagi... Aku nih ngomongin soal pakaian aja loh... bukan soal ”moral” (apalagi syari’at, aqidah, dll) dari agama Islam yang diajarkan oleh para penyebar agama Islam di Indonesia. Aku cuman kepikiran....Kenapa ya... para ”Wali Songo” dan penyebar agama Islam lainnya, dulu itu tidak menghapus model kain kebaya, misalnya. Padahal, tau kan ... kebaya itu umumnya ketat dan memperlihatkan bentuk badan, apalagi kebaya yang pake model ”kutubaru”.... jelas2 menonjolkan buah dada (kalo memang menonjol) dan leher yang jenjang. Kain yang menyertai kebaya untuk menutup bagian bawah tubuh itupun tampaknya menonjolkan bentuk bokong (bahasa Jawa untuk –maaf- pantat) perempuan Jawa/Sunda/Bali. Para penyebar agama di Pulau Jawa itu juga tidak melarang ”konde” ..... yang berjenis-jenis itu (untuk menggantikannya dengan jilbab, misalnya). Juga tari2an ”tradisional” tetap tidak difatwakan untuk dilarang meski jenis pakaian untuk tari itu kan... tidak menutup ”aurat”.


Keliatannya, penyebaran agama Islam di Nusantara ini, yang terutama dilakoni oleh para pedagang dari Gujarat dan juga dari Tiongkok (Laksamana Ceng Ho yang ”kelenteng”nya ada di Semarang itu adalah seorang muslim, loh) juga mempengaruhi ”gaya” penyebaran agama Islam. Mereka (para penyebar agama Islam di Indonesia) memang tidak ”sekeras” mereka yang berasal (langsung) dari negara2 Arab. Mereka lebih lembut dan membiarkan saja ”local genius” alias kearifan lokal dari masing2 daerah dalam menggunakan busana tradisional maupun dalam berkesenian.


Sarung dan peci bukanlah model pakaian Islam, itu budaya melayu. Jilbab rasanya tidak dikenal di khasanah busana tradisional Indonesia, yang ada adalah selendang. Selendang digunakan sebagai pelengkap busana sehari-hari sebagai penutup (sebagian) rambut (lihatlah model busana para perempuan Betawi, Jawa, Sunda, Padang, Aceh, Palembang, dan daerah2 lain di Indonesia yang hampir selalu mengenakan selendang). Selain itu selendang juga digunakan sebagai perlengkapan busana tari terutama tari2an Jawa, Bali dan Sunda Pernah liat gak tarian Merak dari sunda (Jawa Barat).... wuih.... selendangnya indah sekali.


Seperti diketahui, Indonesia sangat kaya dalam hal budaya sandang. Ada berjenis-jenis batik, kain tenun, songket dan sebagainya, dari berbagai daerah di Indonesia. Juga ada berjenis-jenis penutup kepala / rambut seperti peci, selendang, blankon dan berbagai jenis konde, berbagai jenis sanggul, dan sebagainya.

Di Makassar baju ”bodo” yang kainnya tipis menerawang itu tetap dipakai (setidaknya dalam upacara adat) meski mereka mayoritas beragama Islam. Di Sumatera Barat yang mayoritas juga beragama Islam, kaum perempuannya menggunakan selendang atau penutup kepala namun bukanlah jilbab. Pernah lihat (setidaknya di gambar2) ..... penutup kepala wanita khas dari Tanah Minang, yang berbentuk dua kerucut di atas kepala itu dan tetap memperlihatkan leher si pemakai. Sewaktu masih sd, aku pernah liat fotonya (dan filmnya di tahun 80-an) pahlawan nasional Cut Nyak Dien, juga foto Cut Muetia, para pahlawan perempuan Aceh.... dimana mereka semua tidak mengenakan jilbab (kalo Cut Memey, Cut Tari, Cut Keke.. mah... udah pasti deh). Tarian Seudati dari Aceh yang terkenal itu tidak ditarikan dalam pakaian model ”Islam” meski memang tidak mengumbar aurat (aku belum liat lagi deh.... tari2an tradisional Aceh setelah di sana diterapkan ”hukum Islam”). Pakaian tradisional Aceh (setidaknya yang aku liat di buku sewaktu aku masih sd) mirip dengan busana tradisional daerah tetangganya di Sumatera dan dengan sanggul yang dibentuk tinggi, bertingkat, tidak dengan jilbab. Kemarin aku liat di koran, ada spanduk besar di Banda Aceh, bertuliskan : ”perempuan yang berpakaian ketat itu sama dengan setan” (hiiiiiii ....sereeemm, banyak setan dimana-mana !). Provinsi Aceh sekarang sudah mewajibkan semua perempuan dewasa di sana berjilbab dan berpakain ”longgar”, enggak boleh ketat atau menerawang atau memperlihatkan bentuk badan. Tentunya kita enggak bisa melihat lagi sanggul gaya Aceh maupun pakaian tradisional Aceh seperti dulu.


Aku pernah membayangkan ... gimana ya... kalo di Indonesia ini diterapkan semacam “Hukum Islam” seperti di Aceh sekarang ? Apakah nantinya cuman ”budaya arab” yang boleh berlaku ? Enggak ada lagi pakaian daerah / tradisional..... karena dianggap haram dan ”sama dengan setan” (kan busana daerah maupun busana tari tradisional itu ”ketat” dan memperlihatkan lekuk tubuh). Semua perempuan Indonesia harus menggunakan busana longgar tertutup dari ujung rambut sampai ujung kaki, kecuali wajah dan telapak tangan. Pasti tukang bikin konde gak laku lagi. Aji Notonegoro gak bisa lagi menawarkan kebaya indah bordirannya yang harganya jut-jut itu. Gak akan keliatan lagi leher jenjang... dada penuh... bentuk bokong indah... bahu mulus plus ketiak ‘kimpling’ para perempuan Indonesia dalam balutan busana Jawa/Sunda/Bali. Enggak boleh lagi ada tari2an daerah. Kebayang ... tarian Bali dimana penari perempuan mengenakan busana longgar dan jilbab, tentunya gak boleh ’goyang’ terlalu hot ... meski musiknya dinamis... cuma keliatan gerak jari tangan dan gerak matanya aja. Yang namanya tarian pergaulan tradisional, semisal tayub, goyang dombret, bakalan punah. Para penari Serimpi gak bisa lagi diintip bagian di belakang mata kaki, di atas tumit (yang katanya menunjukkan “kehebatan” seksual perempuan) karena itupun merupakan bagian dari ‘aurat’ dan harus ditutup kaos kaki. Budaya Indonesia akan lenyap ?


Yah.....mungkin gak perlu terlalu dikuatirkan juga sih soal itu ..... kan ada pepatah yang bilang : bila satu pintu tertutup maka pasti ada pintu lain yang terbuka. Pasti para seniman Indonesia nanti akan mencari jalan lain untuk mengekspresikan dirinya.... mereka akan membuat busana tradisional yang indah, yang sesuai ”syariat Islam”. Mungkin akan ada model jilbab Jawa, jilbab Menado, dll. Pula... nanti akan muncul seri baru dari tari2an Pendet, Serampang 12, Serimpi, Pakarena dan lain2 lain yang dibawakan dengan menggunakan busana ”model Islam” atau tari Serimpi yang hanya diperankan oleh para pria saja, dsbnya. Eh.... Ini OOT deh... ”out of topic”. Aku cuman membayangkan saja. Sori yeee.


Islam memang lebih dulu masuk ke Indonesia ketimbang ”barat” dan (tentu saja) mempengaruhi cara hidup orang2 Indonesia, namun kelihatannya tidak banyak atau sedikit saja mempengaruhi cara berbusana di sini. Memang sih... kalo gak ada Islam, mungkin sekali Indonesia masih ”telanjang” (dan permisif dalam hal seks bebas). Namun dalam hal pakaian sehari-hari, menurutku, ”budaya barat” lebih berpengaruh atas cara berpakaian orang2 di Indonesia (dan di seluruh dunia). Orang2 Islam di Indonesia lebih banyak menggunakan pakaian ”model barat” daripada pakaian ”model Islam”, setidaknya sampai hari ini. Soal busana tradisional yang indah itu (yang ”tidak islami” itu), memang gak praktis deh, ribet, .... terutama kalo dipake buat sehari-hari, kecuali beberapa, seperti pada saat upacara adat, saat menari atau saat upacara perkawinan, kematian, dll.


Baratlah yang sekarang ini membuat timur berpakaian, mengajari timur (dan seluruh dunia) berpakaian melalui ekspansinya, penjajahannya, kemajuan teknologinya namun barat jugalah, melalui kemajuan teknologi informasi, yang membuat timur dan seluruh dunia (kalo mau ikut2an) menanggalkan pakaiannya, memamerkan bahunya, dadanya, pusernya, seks bebasnya, dll. Kembali telanjang, ”back to nature”, kembali ke timur ?



Jakarta, 14 Februari 2006
Salam,
Nuning.


Pernah dimuat :
From: Nugrahani Pudyo
Date: 2/20/2006 10:36:53 AM
To: mimbar-list@gajahsora.net
Subject: Tentang Timur dan Barat

Tidak ada komentar: