Senin, 27 Juli 2009

Tentang Mahesa Jenar

Sudah bertahun-tahun aku jadi anggota mimbar-list yang dulu menggunakan alamat “gajahsora.net” sembari aku gak tau… siapa sih Gajah Sora itu. Norak banget ya…. hehehehe. Aku kan enggak pernah tinggal di Yogya, enggak pernah baca harian Kedaulatan Rakyat, dan enggak pernah baca karya2 S.H. Mintardja, meski tau bahwa beliau menulis Api di Bukit Menoreh dan tau juga ada website-nya. Aku dulu malas membacanya karena mengira itu cuman cerita silat yang enggak habis2 dan udah kuno dan enggak menarik. Ketidaktahuanku (atau kebodohanku) berakhir ketika sekitar 2-3 minggu yang lalu suamiku membawakan aku tiga buku tebal @ 5 cm, berjudul “Naga Sasra dan Sabuk Inten” karya S.H. Mintardja terbitan Kedaulatan Rakyat, cetakan ke-4 (disebutkan cetakan pertama adalah pada tahun 1966). Buku klasik ini diperoleh suamiku dari seorang temannya yang tinggal di Yogyakarta.

Langsung saja…. Aku terbenam dalam pesona cerita itu…. meski hanya sempat kubaca saat malam hari dan Sabtu-Minggu saja, dalam waktu sekitar dua minggu, habislah ketiga jilid itu. Hari Minggu kemarin adalah lembar terakhir yang aku baca dimana sepasang keris itu, Naga Sasra dan Sabuk Inten, bersama dengan kyai Sangkelat, diserahkan kepada yang “mendapatkan wahyu” yaitu Mas Karebet alias Jaka Tingkir alias Putut Karang Tunggal, yang kemudian terbukti menggantikan Sultan Trenggana dan memindahkan ibukota kerajaan dari Demak ke Pajang. Sang tokoh utama, Mahesa Jenar, akhirnya menikah dengan idaman hatinya yaitu Rara Wilis alias Pudak Wangi, cucu dari Ki Ageng Pandan Alas alias Ki Sentanu, danyang Gunung Kidul yang terkenal dengan ilmu pedang tipisnya dan nyanyian Dandhang Gula.

Aku kesengsem berat pada Mahesa Jenar (Rangga Tohjaya) terbayang kerennya… betapa tegap badannya, ngganteng, dengan pakaian jawa (jaman dulu) yang sederhana, berwarna hijau dan sekuntum melati di telinganya. Dia sakti meskipun masih muda dan punya senjata rahasia yang dasyat yang terpusat pada telapak tangannya yaitu Sasra Birawa. Terbayang : memusatkan segenap indra, mengatur pernafasan …. satu tangan ke atas bagai hendak menggapai langit, satu tangan menyilang di dada, satu kaki ditekuk dan …. dilepaskanlah telapak tangan itu… dan hancurlah batu sebesar gajah atau dinding tebing karang (apalagi badan manusia, kecuali lawannya itu juga memiliki ajian sakti lainnya sebangsa Alas Kobar, Gelap Ngampar, trus apa ya namanya… ajiannya perguruan Ki Ageng Sora Dipayana yang ada Saketi-saketi-nya ? atau ajiannya mas Karebet yaitu Aji Lembu Sekilan).

Tokoh2 lainnya pun tak kalah mempesona seperti Kebo Kanigara (adik dari Kebo Kenanga yang adalah ayahnya Mas Karebet dan putra dari Ki Ageng Pengging alias pangeran Handayaningrat dari Majapahit) dan puterinya Endang Widuri, Arya Salaka dan ayahnya Gajah Sora, kakeknya Ki Ageng Sora Dipayana, pamannya Lembu Sora dan sepupunya Sawung Sariti, Penembahan Ismaya alias Pangeran Buntara alias Pesingsingan (sepuh), Ki Ageng Pandan Alas, Rara Wilis, Sarayuda, Titis Anganten si sakti dari Banyuwangi, Pasingsingan-2 dan -3 (Radite dan Anggara), Wirasaba, Dalang Mantingan, Penjawi, Jaladri, Bantaran, Ki Wanamerta, Wulungan.

Tokoh2 sakti dari dunia hitam pun digambarkan dengan begitu hebat : Sima Rodra (suami istri dan ayah) dari Lodaya, Bugel Kaliki si bongkok gila dari Gunung Cerme, Pasingsingan-1 (Umbaran) dan muridnya Lawa Ijo dan gerombolannya dari Gunung Tidar, Jaka Soka alias ular laut dari Nusakambangan dan gurunya Kyai Nagapasa, Uling Kuning dan Uling Putih dari Rawa Pening dan gurunya Sura Sarunggi.

Mungkin buku itu perlu dilengkapi juga dengan peta supaya kita bisa membayangkan dimana Banyu Biru, Pangrantunan. Pamingit, perbukitan Telamaya, Rawa Pening dan seberapa jaraknya dari Demak, Gunung Kidul (kalo Banyuwangi dan Gunung Cerme udah tau lah posisinya dimana), juga dimana letak Karang Tumaritis. Ataukah nama2 tempat itu hanya fiktif saja ?

Aku tau sih… ini hanya cerita fiksi saja, dengan latar belakang sejarah pada masa kerajaan Demak, pada awal masuknya agama Islam di Jawa dan disisipi beberapa tokoh adalah nyata seperti Sultan Trengana, Jaka Tingkir, Syeh Siti Jenar, dll. Aku gak tau apakah sepasang keris sakti itu, Naga Sasra dan Sabuk Inten, adalah juga sekedar fiksi / dongeng atau bener2 ada ?

Duh…. Sedap sekali rasanya membaca buku ini (ada banyak kata2, ungkapan2 bahasa Indonesia yang sudah jarang dipakai lagi namun tetap enak dibaca) dan betapa naksirnya aku sama Mahesa Jenar.
S.H. Mintardja benar2 penulis hebat, ya !

Jakarta, 26 Mei 2009
Salam,
Nuning
============================================================
Dimuat di :
From: mimbar-list@yahoogroups.com [mailto:mimbar-list@yahoogroups.com] On Behalf Of Nugrahani
Sent: 26 Mei 2009 17:31
To: Mimbar Bambang Saputro; mimbar-list@yahoogroups.com
Subject: [mimbar-list] Mahesa Jenar

5 komentar:

halloPIM mengatakan...

Sewaktu aku SMP aku sempat baca buku cerita yg terbit berkala dan sangat ditunggu2 masyarakat waktu itu, termasuk kakak2 ku. Aku baca terputus2 krn buku itu jadi rebutan kesana kemari, jadi asal dapat saja. Setelah aku pensiun di tahun 2009, aku baru sempat menelusuri di internet dan dapatlah file lengkap yg bisa diunduh. Kubaca lagi cerita itu dari awal, ternyata setelah saya menjadi sempuh terasa cerita itu indah sekali, lebih indah dari jaman nalar say masih SMP. betul2 karya yg hebat dari sh.mintarja. Kemudian cerita itu saya share di milis paguyuban karyawan dan ex karyawan dan mereka sangat menyukainya,bahkan ketagihan spt halnya kaka saya yg saya kasih printout nya.

Unknown mengatakan...

Seleet jemek

Wong Bojong... mengatakan...

Betul sekali, buku Nagasasra Sabuk Inten memang karya yang indah. Saya sudah lama tahu kisah ini (namun tidak secara utuh) dari ketoprak dan sandiwara radio era 80-an. Baru tahu kisahnya secara utuh setelah membaca novelnya secara online yang ternyata memang luar biasa indah dan bikin jatuh cinta. Membayangkan sosok Mahesa Jenar yang "njawani" dengan karakter ksatria yang jujur, berbudi luhur, lugu manakala berhadapan dg wanita dan tentu saja sakti mandraguna saya menjadi semakin yakin bahwa seperti itulah sosok ideal dalam filosofi jawa.

Tentang tempat-tempat yang mbak sebutkan itu memang benar adanya karena jelas SH. Mintarja sudah pasti melakukan riset sebelum menuliskan kisah ini. Banyubiru dan Pamingit adalah dua tempat yg berada di daerah seputaran Ambarawa. Pangrantunan, ini yang banyak orang tidak tahu karena memang jarang sekali disebut. Tapi ada yang menggambarkan bahwa daerah ini merupakan sebuah wilayah antara pelabuhan Bergota di Semarang sampai di tepi Kali Krasak (perbatasan Yogya-Magelang).

Unknown mengatakan...

Aku mengagumi jalannya cerita mahesa jenar yang penuh liku" falsafah kehidupan pada masa itu.dan lihaynya.bpk.SH.Mintardjo.mengolah bahasa .merupakan..hal yang perlu diacungi jempol.#

Unknown mengatakan...

tapi disebut Pangrantunan itu berseberangan dengan Gunung Tidar lho, apa bukan sekitar Borobudur dan Salaman ya?