Senin, 27 Juli 2009

Tentang Suramadu

Saat liburan anak sekolah di awal Juli kemarin, aku dan suami mengambil cuti, dan kami pun melancong ke bagian timur pulau Jawa : Surabaya, Malang, Bromo dan sekitarnya. Tiket Surabaya-Jakarta pp sudah dipesan sejak dua-tiga minggu sebelumnya, hotel di Surabaya dan di Malang juga sudah dipesan melalui telpon. Hotel-hotel tersebut (aku peroleh infonya melalui internet) meski mencantumkan alamat e-mail untuk pemesanan kamar namun e-mail alias surel (surat elektronik) dariku belum juga dibalas hingga mendekati hari “H” sehingga terpaksa aku susulin dengan menelponnya untuk memesan kamar. Ya sudahlah…. Yang penting kami mendapatkan hotel bintang tiga, yang cukup bagus, bersih dan tidak terlalu mahal.


Kami terbang menggunakan pesawat berlogo singa pada Jum’at pagi dan sesampainya di Surabaya, setelah check in di hotel, kami mengunjungi kerabat dekat yang tinggal di Surabaya, yang kemudian mengajak kami berkeliling kota pahlawan dan….. melintasi jembatan Suramadu… menyeberang ke Pulau Madura. Ceritaku yang ini hanya soal si Suramadu saja, untuk yang Bromo dan sekitarnya, aku ceritain lain kali.


Ini adalah jembatan pertama yang menghubungi pulau ke pulau di Indonesia, pulau Jawa dan pulau Madura, namun dinamai Suramadu, singkatan Surabaya-Madura, bukan Jawamadu atau Surabangkal (kota terdekat di Madura, di ujung jembatan, adalah kota Bangkalan). Mungkin karena Suramadu terdengar lebih manis, ya ! Suramadu belum lama diresmikan pemakaiannya oleh Presiden SBY, sekitar pertengahan Juni (yang “diprotes” oleh Megawati, katanya yang memulai pembangunan jembatan adalah dia – saat jadi presiden – namun yang meresmikannya adalah SBY. Ya … apa mo dikata… masa’ diresmikan sekarang oleh Ibu Mega, yang bukan lagi presiden, pun bukan gubernur ?), jadi saat kami melintasinya, umur si jembatan baru 2 mingguan. Walau belum “seumur jagung” (umur jagung itu sekitar 3-4 bulan) bahkan baru seumur “aqiqah”, si jembatan ini sudah mengalami vandalisme dan pencurian baut dan mur. Kasian sekali ya… ! kabarnya pihak PU memutuskan untuk mengelas semua baut dan mur pada jembatan agar tidak mudah dicuri. Heran juga … buat apa sih baut dan mur jembatan sehingga dicuri gitu ? Buat suvenir ? Kalo mo dijual (sebagai besi kiloan ?) kan enggak seberapa, padahal akibat dari pencurian itu kan bisa membahayakan pemakai jembatan. Keterlaluan.


Kami melintasi jembatan Suramadu sekitar jam 4 sore. Sungguh cantik jembatan ini, mengingatkanku pada jembatan Golden Gate di San Fransisco sana. Yah…. Jembatan Ampera yang melintasi sungai Musi juga indah sih, tapi si Suramadu ini sungguh lebih indah. Berikut aku kirim foto2 Suramadu dan “pembanding”nya yaitu Golden Gate. Terpaksa sedikit “narsis” ya… karena ada terlihat aku di foto tersebut, maklum, rasanya rugilah bila tidak sekalian berpose di sana. Sayangnya aku enggak punya foto2 jembatan Ampera di Palembang, atau jembatan Sungai Siak (di Pekan Baru), atau jembatan Sungai Mahakam (yang melalui kota Samarinda) meskipun pernah melintasinya dalam perjalanan dinas ke kota2 tersebut.

Golden Gate sudah berumur seratus tahun (aku gak tau sih persisnya, tapi itu adalah jembatan kuno), mudah2an sih jembatan Suramadu juga terpelihara dengan baik sehingga cucu2ku kelak akan bisa mengunjunginya (dan aku bisa bilang : duluuuu…. Nenek mengunjungi Suramadu saat baru diresmikan….. ini ada foto nenek dengan bapakmu di atas jembatan …dulu kami dimarahin polisi karena berhenti di pinggir jembatan buat berfoto…. dulu belum banyak bangunan di sekitarnya…. duluuuuu baut dan murnya suka dicuri orang, dsbnya).

Kabarnya, yang paling merana dengan adanya jembatan ini adalah para pemilik kapal feri dan para pekerjanya. Tentu saja tak banyak lagi yang menumpang kapal bila sudah ada jembatan untuk menyeberang dari Surabaya ke pulau Madura.


Suramadu itu panjangnya sekitar 5400-an meter, cukup panjang untuk sebuah jembatan (terpanjang di Indoensia ?) dan yang membuatnya menjadi bersejarah adalah tersambungnya pulau Jawa dengan pulau Madura. Satu-satunya jembatan yang menghubungkan pulau ke pulau. Sebelum Suramadu ada, tentu orang harus menumpang kapal (Feri) bila ingin ke Madura. Aku jadi terkenang, saat masih mahasiswa, sekitar tahun 1985-an, aku pernah berkunjung ke Madura. Waktu itu memang cuman jalan2 aja, ikutan pamanku yang sedang punya proyek perbaikan jalan di Madura. Kami (dan juga mobil dinas pamanku) naik Feri yang namanya “Puteri Koneng” (masih ingat karena namanya agak unik) dan kemudian melanjutkan perjalanan darat ke kota Bangkalan, terus ke Sumenep dan nginap sehari di sana, trus besoknya balik lagi ke Surabaya, naik si “Puteri Koneng” itu. Tak ada yang kuingat… apa yang menarik di Pulau Madura, cuman ingat ada banyak pohon salak di ‘base camp’ tempat pamanku kerja. Udara yang sangat panas dan bahasa yang tidak kumengerti sama sekali.


Tarif masuk jembatan Suramadu adalah tiga puluh ribu rupiah. Iya… inilah bedanya Suramadu dengan jembatan2 lainnya, yaitu mempunyai “pintu tol” , kita harus membayar untuk melintasinya. Kalo tidak menengok ke kiri kanan dan melihat ada air (laut) maka rasanya sama saja dengan melintasi jalan tol lingkar luar Jakarta atau jalan tol Cipularang. Tarif tol Cipularang itu “hanya” 37 ribu rupiah padahal jauuuhhh sekali (tol Cipularang itu lebih dari 40 kilometer ?) dan pada beberapa bagian juga merupakan “jembatan” yaitu bila melintasi antara bukit ke bukit atau sungai. Barangkali, bila dihitung per kilometer, maka Suramadu ini adalah yang termahal ?


Menginjak pulau Madura, kami menuju kota Bangkalan dan mencari mesjid untuk sholat Ashar. Mesjid agung Bangkalan cukup megah. Gak lama kami di Bangkalan, menjelang magrib kami menuju Suramadu lagi dengan harapan bisa melihat kerlap kerlip lampu di Suramadu, seperti kami saksikan di tivi dan di koran/majalah saat peresmian jembatan ini. Namun sayang sekali, sebagian besar lampu dimatikan sehingga suasananya gak begitu terang, dan enggak sebagus yang kami bayangkan. Mungkin untuk penghematan ya… sehingga lampu hanya dinyalakan khusus untuk presiden dan beberapa hari setelah peresmian saja. Kecewa deh.


Para penglaju sepeda motor dan mobil, yang bolak-balik Surabaya-Madura adalah yang paling bahagia dengan adanya jembatan ini. Bayangkan mereka bisa tetap tinggal di Madura dan bekerja di Surabaya dan sekitarnya, atau sebaliknya.

Berikut adalah cerita tentang seorang pengendara motor yang melintasi Suramadu :

Malam itu sepulang dari Surabaya, di rumahnya di Bangkalan, Busairi dengan bangga bercerita tentang pengalamannya yang dicegat polisi di Surabaya karena tak mengenakan helm tapi kemudian berhasil lolos.

SEPEKAN setelah jembatan Suramadu diresmikan, Busairi dengan sepeda motornya menyeberangi Selat Madura. Sendiri dia berangkat dari Bangkalan, Madura, menjelang magrib. Sore itu, selain hanya ingin mencoba jembatan baru itu, Busairi juga ingin tahu, berapa lama waktu tempuh dari Bangkalan ke Surabaya jika bersepeda motor. Dia karena itu tak menghiraukan lampu-lampu jembatan Suramadu yang menyala terang yang tampak indah dari kejauhan. Sepeda motornya terus dikebut, hingga sekitar 20 menit kemudian dia sudah tiba di ujung Suramadu di Surabaya.

Dia berhenti. Busairi menoleh ke belakang memandangi Suramadu dan berdecak kagum sembari membetulkan rambut pendeknya yang berantakan diterpa angin. Dia memang tak mengenakan helm. Sejurus kemudian, dia sudah terlihat mengarahkan sepeda motornya ke Kenjeran tapi Busairi tak sadar seorang polisi lalu lintas telah membututinya.

Singkat cerita, polisi itu menyetop sepeda motor yang ditumpangi Busairi. “Selamat malam mas,”sapa polisi itu.
“Malam Pak,”sahut Busairi.
“Bisa lihat SIM dan STNK?”tanya si polisi.
“Lo ada apa ini?”Busairi balas bertanya.
“Anda tidak mengenakan helm,”kata polisi.
“Sampean ini gimana, mosok ndak tahu saya.”
“La Bapak siapa?
“Lo ndak tahu sampean? Saya ini anggota dik,”kata Busairi. Matanya melotot.
“Waduh kalau begitu maaf Pak, lain kali tolong kenakan helm,”jawab si polisi.
“Ya sudah, kali ini saya kasih maaf sampean.”

Malam itu sepulang dari Surabaya, di rumahnya di Bangkalan, Busairi dengan bangga bercerita tentang pengalamannya yang dicegat polisi di Surabaya karena tak mengenakan helm tapi kemudian berhasil lolos. Arifin yang juga anggota Anshor dan ikut mendengarkan cerita Busairi lalu bertanya, “Kok bisa?”
Busairi menjawab, “Gampang Pin, jawab saja anggota. Pasti beres.”

Malam minggu berikutnya, giliran Arifin ingin yang mencoba menyeberangi Suramadu. Dia juga mengendarai sepeda motor dan berdasarkan cerita Busairi, Arifin pun tidak mengenakan helm. Tiba di Kenjeran, Arifin dan sepeda motornya mengalami nasib yang sama dengan yang dialami oleh Busairi: dicegat polisi.

“Malam mas,”kata polisi.
“Malam Pak, ada apa kira-kira ya?”tanya Arifin.
“Coba lihat SIM dan STNK,”pinta polisi.
“Sampean jangan macam-macam, saya juga anggota,”jawab Arifin.
Mendengar jawaban Arifin, polisi itu tak mau digertak. “Maaf Pak, anggota dari kesatuan mana?”tanya polisi.
“Lo saya ini anggota Anshor,”jawab Arifin lantang.

====================

Jakarta, 24 Juli 2009

Salam,

Nuning

Dimuat di :

From: mimbar-list@yahoogroups.com [mailto:mimbar-list@yahoogroups.com] On Behalf Of Nugrahani
Sent: 24 Juli 2009 16:57
To: mimbar-list@yahoogroups.com
Subject: [mimbar-list] FW: Suramadu

Tentang Mahesa Jenar

Sudah bertahun-tahun aku jadi anggota mimbar-list yang dulu menggunakan alamat “gajahsora.net” sembari aku gak tau… siapa sih Gajah Sora itu. Norak banget ya…. hehehehe. Aku kan enggak pernah tinggal di Yogya, enggak pernah baca harian Kedaulatan Rakyat, dan enggak pernah baca karya2 S.H. Mintardja, meski tau bahwa beliau menulis Api di Bukit Menoreh dan tau juga ada website-nya. Aku dulu malas membacanya karena mengira itu cuman cerita silat yang enggak habis2 dan udah kuno dan enggak menarik. Ketidaktahuanku (atau kebodohanku) berakhir ketika sekitar 2-3 minggu yang lalu suamiku membawakan aku tiga buku tebal @ 5 cm, berjudul “Naga Sasra dan Sabuk Inten” karya S.H. Mintardja terbitan Kedaulatan Rakyat, cetakan ke-4 (disebutkan cetakan pertama adalah pada tahun 1966). Buku klasik ini diperoleh suamiku dari seorang temannya yang tinggal di Yogyakarta.

Langsung saja…. Aku terbenam dalam pesona cerita itu…. meski hanya sempat kubaca saat malam hari dan Sabtu-Minggu saja, dalam waktu sekitar dua minggu, habislah ketiga jilid itu. Hari Minggu kemarin adalah lembar terakhir yang aku baca dimana sepasang keris itu, Naga Sasra dan Sabuk Inten, bersama dengan kyai Sangkelat, diserahkan kepada yang “mendapatkan wahyu” yaitu Mas Karebet alias Jaka Tingkir alias Putut Karang Tunggal, yang kemudian terbukti menggantikan Sultan Trenggana dan memindahkan ibukota kerajaan dari Demak ke Pajang. Sang tokoh utama, Mahesa Jenar, akhirnya menikah dengan idaman hatinya yaitu Rara Wilis alias Pudak Wangi, cucu dari Ki Ageng Pandan Alas alias Ki Sentanu, danyang Gunung Kidul yang terkenal dengan ilmu pedang tipisnya dan nyanyian Dandhang Gula.

Aku kesengsem berat pada Mahesa Jenar (Rangga Tohjaya) terbayang kerennya… betapa tegap badannya, ngganteng, dengan pakaian jawa (jaman dulu) yang sederhana, berwarna hijau dan sekuntum melati di telinganya. Dia sakti meskipun masih muda dan punya senjata rahasia yang dasyat yang terpusat pada telapak tangannya yaitu Sasra Birawa. Terbayang : memusatkan segenap indra, mengatur pernafasan …. satu tangan ke atas bagai hendak menggapai langit, satu tangan menyilang di dada, satu kaki ditekuk dan …. dilepaskanlah telapak tangan itu… dan hancurlah batu sebesar gajah atau dinding tebing karang (apalagi badan manusia, kecuali lawannya itu juga memiliki ajian sakti lainnya sebangsa Alas Kobar, Gelap Ngampar, trus apa ya namanya… ajiannya perguruan Ki Ageng Sora Dipayana yang ada Saketi-saketi-nya ? atau ajiannya mas Karebet yaitu Aji Lembu Sekilan).

Tokoh2 lainnya pun tak kalah mempesona seperti Kebo Kanigara (adik dari Kebo Kenanga yang adalah ayahnya Mas Karebet dan putra dari Ki Ageng Pengging alias pangeran Handayaningrat dari Majapahit) dan puterinya Endang Widuri, Arya Salaka dan ayahnya Gajah Sora, kakeknya Ki Ageng Sora Dipayana, pamannya Lembu Sora dan sepupunya Sawung Sariti, Penembahan Ismaya alias Pangeran Buntara alias Pesingsingan (sepuh), Ki Ageng Pandan Alas, Rara Wilis, Sarayuda, Titis Anganten si sakti dari Banyuwangi, Pasingsingan-2 dan -3 (Radite dan Anggara), Wirasaba, Dalang Mantingan, Penjawi, Jaladri, Bantaran, Ki Wanamerta, Wulungan.

Tokoh2 sakti dari dunia hitam pun digambarkan dengan begitu hebat : Sima Rodra (suami istri dan ayah) dari Lodaya, Bugel Kaliki si bongkok gila dari Gunung Cerme, Pasingsingan-1 (Umbaran) dan muridnya Lawa Ijo dan gerombolannya dari Gunung Tidar, Jaka Soka alias ular laut dari Nusakambangan dan gurunya Kyai Nagapasa, Uling Kuning dan Uling Putih dari Rawa Pening dan gurunya Sura Sarunggi.

Mungkin buku itu perlu dilengkapi juga dengan peta supaya kita bisa membayangkan dimana Banyu Biru, Pangrantunan. Pamingit, perbukitan Telamaya, Rawa Pening dan seberapa jaraknya dari Demak, Gunung Kidul (kalo Banyuwangi dan Gunung Cerme udah tau lah posisinya dimana), juga dimana letak Karang Tumaritis. Ataukah nama2 tempat itu hanya fiktif saja ?

Aku tau sih… ini hanya cerita fiksi saja, dengan latar belakang sejarah pada masa kerajaan Demak, pada awal masuknya agama Islam di Jawa dan disisipi beberapa tokoh adalah nyata seperti Sultan Trengana, Jaka Tingkir, Syeh Siti Jenar, dll. Aku gak tau apakah sepasang keris sakti itu, Naga Sasra dan Sabuk Inten, adalah juga sekedar fiksi / dongeng atau bener2 ada ?

Duh…. Sedap sekali rasanya membaca buku ini (ada banyak kata2, ungkapan2 bahasa Indonesia yang sudah jarang dipakai lagi namun tetap enak dibaca) dan betapa naksirnya aku sama Mahesa Jenar.
S.H. Mintardja benar2 penulis hebat, ya !

Jakarta, 26 Mei 2009
Salam,
Nuning
============================================================
Dimuat di :
From: mimbar-list@yahoogroups.com [mailto:mimbar-list@yahoogroups.com] On Behalf Of Nugrahani
Sent: 26 Mei 2009 17:31
To: Mimbar Bambang Saputro; mimbar-list@yahoogroups.com
Subject: [mimbar-list] Mahesa Jenar